Bab 1 - Lost

64 8 0
                                    

"Ya ampun!" Suara pekikan seorang pemuda seketika membelah kesunyian malam. Hal yang ada di depan matanya kini bukan lah sesuatu yang biasanya dapat ditemukan. Apalagi tempatnya berada sekarang adalah perbatasan hutan yang menghubungkan desa terpencil. 

Pohon-pohon pinus di sepanjang tepi hutan menyembunyikan kehidupan yang tak terhitung jumlahnya, sementara sinar bulan yang tembus melalui dedaunan menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menawan.

Pepohonan itu memagari area padang rumput hijau yang berbukit-bukit. Menjadi tempat yang cocok untuk hewan-hewan ternak merumput. Di sekitar sana banyak peternak yang membangun kandang-kandang luas untuk kuda, lembu, dan domba. Lebih jauh lagi, dapat terlihat bangunan-bangunan berdinding batu yang menjadi hunian warga desa. Rumah-rumah berdinding batu itu dibangun berdekatan, tetapi di setiap perbukitan yang berbeda memiliki jarak yang berjauhan. Seperti membentuk koloni-koloni pada setiap bukit.

Pemuda itu bergeming sesaat, menyaksikan seonggok tubuh gadis tanpa busana yang terbaring tidak sadarkan diri. Wajahnya tertutup oleh rambut cokelat, sementara sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Kebanyakan tampak garis-garis merah seolah tergores ranting dan duri tajam. Belum lagi, hal yang membuat si pemuda merasa terkejut adalah keadaan gadis itu tampak mengenaskan. Ia sepertinya seorang tunadaksa, yang tidak memiliki kaki kanan.

Pemuda itu tidak pernah menyangka akan melihat hal mengerikan seperti ini. Haruskan ia menolong? Kepalanya tertoleh ke kanan dan kiri, memeriksa keadaan untuk memastikan apakah ada suatu ancaman atau tidak?

Rasa kecurigaan dan kekhawatiran membuat si pemuda ragu. Niat awalnya, ia hanya ingin berjalan-jalan malam di sekitar bukaan hutan. Berupaya menghilangkan rasa bersalah dan menenangkan dirinya atas kegagalan operasi yang dilakukan hari ini. Sebagai seorang dokter hewan, ia memang harus punya mental yang kuat ketika menghadapi kematian atas pasiennya yang tidak dapat diselamatkan. Namun, bukan itu yang menjadi masalah. Si pemilik hewan lah yang marah dan menghujatnya sebagai dokter hewan tidak kompeten dan tidak dapat dipercaya. 

Pemuda itu mengerti atas rasa kehilangan dan kepedihan yang didera pelanggannya. Namun, hal itu bukan sesuatu yang dapat dikontrol olehnya. Kematian adalah takdir. Meski begitu, tetap saja si pemuda memiliki andil saat takdir itu terjadi, dan si pemilik kuda tidak terima atas kegagalan dokter yang telah berupaya menyelamatkan hewan kesayangannya. Untuk itu ia butuh ketenangan, dan hutan selalu memiliki daya tarik untuknya. Sayangnya, ia tidak pernah menyangka jika kini akan dihadapkan dengan masalah yang cukup sulit lagi.

Terdorong oleh naluri, si pemuda bergegas memeriksa gadis asing itu saat tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Ia mengangkat lengannya untuk kemudian mencari denyut nadi yang berharap dapat dirasa, lalu memeriksa jalur napas lewat hidungnya yang terasa sangat lemah.

Dia masih hidup. 

Pemuda itu telah menyimpulkan. Artinya masih ada harapan untuk menyelamatkan si gadis. Buru-buru pemuda itu menanggalkan mantelnya dan menyelimuti tubuh si gadis agar lebih hangat dan terlindungi. Setelah itu, pemuda tersebut menggendongnya untuk diberi pertolongan pertama. Ia berjalan menyusuri padang rumput sambil mewaspadai kondisi sekitar. Jika ini jebakan, berarti ia memang sedang tidak mujur. Meski begitu, ia tetap mengambil keputusan yang cukup beresiko.

Bila hari ini aku tidak dapat menolong kuda milik Tuan Dahl, setidaknya gadis ini harus kuselamatkan.


***


"Jangan mengganggunya di situ. Kemari lah, Chessy." Suara pemuda itu terdengar ramah dan lembut, disusul oleh ngeong kucing dan diiringi bunyi tertawa yang rendah.

"Mari kita tunggu sebentar lagi," kata pemuda itu sambil menuangkan teh panas ke dalam cangkir porselen hingga membuat udara di sekitarnya menghangat. 

For The Verdant HeartWhere stories live. Discover now