# 02

389 46 0
                                    

Happy reading tiger's!

.
.

   Anan tersenyum manis, tangan kecil itu melambai kemudian mempercepat jalannya. Diujung lorong sekolah itu, ada Gentala Mahari, sosok penting bagi Anan. Anan juga telah menganggap Tala sebagai abangnya sendiri.

Jika Anan kesusahan, ada Tala yang akan membantu.

Awal pertemuan mereka sih cukup dibilang tidak baik. Waktu itu, Anan tidak sengaja mengambil sepatu Tala, bocah itu sangat usil, Anan pikir sepatu itu milik Aksara Raja, salah satu temannya. Tapi malah salah orang dan berakhir kena amukan maut dari Tala.

“Kak Tala! Turunin gue.” kesal Anan. Tubuhnya tiba-tiba melayang saat Tala dengan bebas menggendongnya bak karung beras. Semua orang tertawa gemas, mereka memang sangat serasi untuk dijadikan adek-kakak sesungguhnya.

“Diem, cil. Gue ada nasi goreng buatan bunda. Katanya sih spesial buat si bujang manisnya ini.” Tala terkekeh diakhir kalimat.

“Aaa bunda ya, bilang terimakasih buat bunda, ya, kak Tala.” Anan tersenyum, bocah itu menatap minat kotak bekal dari Tala saat mereka sudah berada diruang OSIS.

“Makannya pelan-pelan, bocil. 'kan jadi berantakan kayak bocah.” ucapan Tala terdengar sindiran.

“Gue nggak bocah tau!” kesal Anan menatap berang. Melihat Tala tersenyum tengil membuat dirinya duduk memutar membelakangi Tala.

“Kan, bayi besar gue ngambek.”

“Jangan ngomong. Gue marah, gue ngambek dan gue nggak mau ngomong sama kakak.”

Tala tersenyum. Baginya, ini yang dia mau dari Anan. Sifat Anan, semoga tetap seperti ini, ya, Nan. Sudah terhitung seminggu lamanya, sifat Anan menjadi pendiam.

Hal itu juga membuat Tala uring-uringan setengah mampus.

Mungkin juga, ini efek dari ayah Bumi. Iya, Tala cukup mengenal baik pria baya bernama Bumi Raharja, pria berjaya di bidang industri dari masa umurnya muda sampai di titik ini.

Ayah Bumi, ayah buruk untuk Anan.

Tala mengusap surai belakang Anan, si empu mendongak sembari mengerjapkan matanya bingung, “Janji sama gue, tetep kayak gini ya, Anan? Jangan pernah berubah..”

“..Dan jangan pernah jadi orang lain.”

***

“Nan! Lo mau main nggak?”

Anan tersenyum tipis sembari menggeleng. Anan hanya bisa menatap mereka tanpa ikut bergabung. Anan lemah dan Anan hanya bisa menyusahkan mereka.

“Nggak usah sedih. Ada gue disini.”

Anan menoleh, Tala tersenyum sembari mengusap rambutnya. Anan menutup kedua matanya, merasakan perasaan hangat ketika berada didekat Tala.

Tala tau cara membuat Anan tetap tersenyum.

“Kenapa kak Tala bisa disini? Ini masih pelajar, sana. Gue nggak mau punya kakak bodoh.” sarkas Anan membuat sang lawan bicara menoleh, “Kasar, siapa yang ngajarin, hah?” Tala sentil kening Anan main-main.

“Aksara. Dia selalu bilang kalo Anan jangan bodoh kalo lagi cerita soal ayah.”

Tala mengepalkan tangannya, lagi, ini tentang ayah Bumi. Sudah berapa banyak luka yang ayah Bumi toreh di hati Anan? Lihat kali ini, tatapan Anan begitu kosong saat berucap Kalimat tadi.

Seolah ini memang sudah hal lumrah bagi seorang Ananka Bagaskara.

“Mending lo tebak, siapa yang bakal menang kali ini.” Anan tersenyum, Tala tau caranya menjaga hati Anan. Melihat Tala yang seperti ini membuat Anan takut ..

..takut menyusahkan Tala terus menerus. Semakin Tala mengerti caranya untuk memperlakukan Anan dengan baik, semakin banyak pula Anan menyusahkan Tala, nantinya.

“Kak Tala..”

“Apa?”

“Jangan selalu ngertiin perasaan gue, gue bakal lemah dan nyusahin kakak terus. Ini nggak enak.” jujur Anan menunduk dalam. Matanya memejam, bersiap mendapatkan amukan dari Tala

Alih-alih marah, Tala malah memeluk tubuh ringkih itu. Mendekap erat menyalurkan kehangatan, “ Gue merasa nggak dirugikan akan kehadiran lo, Anan. Gue bahagia, dan gue nggak mau jauh dari lo. Cukup sekali dan jangan terulang lagi.”

***

“Ayah kerja, bi?”

“Enggak, Nan. Bapak belum keluar dari semalam.” Anan mengangguk, lantas pamit menemui ayah bumi di kamarnya. Kaki mungil itu berlari, masih dengan seragam lengkap, Anan membuka pelan pintu kamar ayah bumi.

Tadi .. dia sudah mengetuknya terlebih dahulu.

“Ayah?”

Ayah bumi menoleh, posisinya saat ini ayah bumi duduk di sofa menghadap jendela. Membelakangi Anan dan menatap halaman rumah dari atas sini. Di atas pahanya juga terdapat laptop dan beberapa kertas bertuliskan huruf-huruf kecil.

“Ayah udah sembuh?” Anan duduk di samping ayah Bumi. Menatap penuh sembari kepalanya miring ke kanan,  “Anan maaf, tadi lupa pamit sama ayah,”

“Dulu Anan cuma pamit bibi dan pak Adi.” lanjut Anan tersenyum tipis.

“Pergi.” Ayah bumi enggan menatap si buah hati. Jari besar itu sibuk mengetik diatas keyboard. Kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat ayah Bumi jauh lebih tanpa.

“Ayah tampan.”

Lagi, ayah Bumi hanya melirik sekilas.

“Kenapa Anan manis? Sedangkan ayah tampan. Anan kan pengen tampan seperti ayah.” Anan memajukan bibirnya. Tidak berbohong, Anan memang beneran manis, berbeda dengan ayah bumi yang maco.

“Mirip bundamu.”

Anan tersenyum haru, ini tidak mimpikan? Ayah Bumi menjawab celotehan Anan. Pertahanan ayah Bumi.. perlahan runtuh. Pelan, tapi bertahap. Itulah prinsip Anan saat ini.

Anan yang butuh bersabar, sedikit lagi, mungkin.

Tbc ..

Ananka ; Best SonWhere stories live. Discover now