# 05

323 37 3
                                    

Ini bukan Bumi yang ada di cerita sebelah. Namanya memang sama, tapi beda orang. Lupa ganti soalnya.

Happy reading tiger's!

.
.

Hari libur, hari dimana untuk bermalas-malasan sebagai pelajaran rebahan seperti kita. Anan pun sama, bisa berdiam diri tanpa keluar kamar selain acara makan.

Menghidupkan gamenya, Anan mulai merebahkan diri diatas kasur. Dihari libur seperti ini, Anan bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bermain gadget.

Anan dibebaskan, karna tidak ada yang melarang.

Sibuk dengan gamenya, beberapa pesan mulai masuk melalui pesan singkat. Mengangkat satu alisnya, Anan membaca salah satu pesan dari Ravi, kakak tirinya.

Abang Ravi (?) ;
Siap-siap, bro. Gue jemput didepan kamar setelah 30 menit dari sekarang.

“Ngapain?”
Bingung, namun Anan tetap menurut. Memakai baju santai lantas membuka pintu yang sudah ada Ravi didepannya. “Mau kemana?”

“Time with your brother. C'mon, bro!”

Ravi menarik tangan Anan. Keduanya melewati ayah Bumi yang bersantai diruang tamu. Alis pria baya itu menekuk, sejak kapan mereka saling akrab? Bahkan kemarin saat Ravi tiba, dia lupa mengenalkan Ravi kepada Anan.

“Berbahagialah, Anan..” lirih Ayah Bumi berbisik pelan. Menatap nanar punggung kedua anaknya yang mulai menghilang dari pandangan.

***

“Ngapain kesini?”

Anan menatap aneh kearah Ravi. Taman, Anan suka taman. Selain Tala, ternyata Ravi mengerti apa yang Anan suka.

Bocah itu suka hal-hal yang berbau ketenangan.

“Biar lo leluasa buat lari-lari. Lo kan anak kecil. Dah, sana, gih, lari. Gue tunggu disini.” Ravi menepuk kepala Anan dua kali. Si empu memandang horor, apa tadi? Anak kecil? Ck, yang benar saja.

“Gue bukan--”

“Sut sutt. Anan oke? not gue. Pakai bahasa yang lo nyaman, Anan. Jangan sok pake bahasa gaul. Gue nggak suka.” suara Ravi terdengar berat. Si pemuda kecil itu lantas mengangguk pelan. Takut-takut jika Ravi akan marah nanti.

Tidak bohong, Anan begitu senang. Bocah itu berlari meninggalkan Ravi begitu saja. Berlari kesana kemari bak anak kecil yang baru bisa berlari. Dari ujung taman, Ravi hanya tersenyum tipis.

Anan ternyata masih kecil, kalau kata Ravi.

Bocah itu dipaksa dewasa oleh kenyataan ini.

“Maaf, Nan. Ini sebagai tanda maaf ayah buat lo, adek. Gue memang nggak bisa jadi ayah, tapi gue berusaha jadi kayak apa yang pengen lo lakuin sama ayah, Nan.” monolog Ravi tersenyum kecut. Omongan ayah Bumi semalam selalu menghantui pikirannya. Ravi bahkan belum mengistirahatkan matanya sejak ungkapan sang ayah tadi malam.

“Anak ayah cuma satu, kamu, Ravi.”

“Abang! Sini!” lamunan Ravi buyar. Mengangguk, Ravi berlari saat tau Anan melambaikan tangan mungilnya dipinggir taman.

“Kenapa?”

“Mau ini.. boleh?”

Ravi menoleh. Menatap gerobak es krim dengan berbagai aneka es krim tersedia. Tersenyum, lantas mengangguk mengiyakan, “Boleh. Pilih yang lo mau.”

Anan tersenyum, tangan kanan kecil itu menerima es krim dari Ravi. Pemuda kecil itu sangat antusias. Lalu, tangan Ravi bergerak mengusak rambut Anan terlihat berantakan.

“Bocah. Kalo makan hati-hati, Anan.” Anan menurut, bahkan anteng saat tubuhnya diangkat tiba-tiba oleh Ravi. Membawa mereka menuju mobil saat matahari mulai terbenam.

Terima kasih, Ravi. Dengan begini, semoga Anan sedikit bisa melupakan sifat brengs*ek ayah Bumi. Ravi marah, perlakuan ayah Bumi memang pantas dibilang keji. Apa salah bocah manis yang ada di pelukannya saat ini? Mengapa semesta seolah tidak membiarkannya bahagia. Apa kebahagian sekecil biji jagung pun seolah tak sudi mendekap tubuh ringkih Anan dengan begitu erat?

“Gue bakal jaga lo, Adik.”

***

“Dari mana tadi?”

Anan tersenyum hangat. Netra nya menatap ayah Bumi dengan tatapan penuh haru. Ini bukan mimpi kan? Jika iya, jangan bangunkan Anan. Ia masih ingin berlama-lama mengingat momen ini.

Momen berharga semasa Anan hidup.

“Kembalikan, ayah. Anan sama abang.” Ravi mendengus, kala ayah Bumi malah mendekap tubuh Anan erat. Tangan besarnya terangkat mengusap rambut belakang sang putra.

“Ravi..” teguran ayah Bumi saat si sulung masih berusaha mengambil Anan. Tambah sulit, saat tangan Anan malah mengalungkan dileher ayah Bumi.

“No.. mau ayah.” Ravi menggeleng, dia benar menolak. Siapa yang tau akan sifat manusia. Bisa jadi setelah ini ayah Bumi akan memukul Anan, nantinya setelah dia pergi. “No abang, kali ini aja.” mohon si kecil begitu mengharap. Berusaha agar Ravi mau dan mengerti posisinya kali ini.

Mau tak mau, Ravi mengangguk pelan. Kakinya melangkah mengikuti ayah Bumi dari belakang. “Jangan dinakalin atau aku bakal marah, ayah.” ancaman itu terdengar mengerikan ditelinga Anan. Berbeda, si pria baya malah terkekeh geli.

“Dia putra saya.”

“Dia adik Ravi.”

Anan hanya diam. Kejadian ini akan selalu ia ingat. Mengerjap beberapakali saat tangan ayah Bumi tak henti mengusap rambut halus Anan. Ia bingung, ayah Bumi kenapa? Kemana hilangnya sifat datar itu? Sifat kasar dan tak mau disentuhnya.

“Anan, ayo. Pilih abang atau pria tua itu!” Ravi mendesak. Anan menatap polos, pipi sedikit gembil itu ditekan menggunakan dua jari ayah Bumi, “Jelas dia memilih ayah.”

“Abang! Dia pilih abang!”

Cup! Tak ambil pusing, ayah Bumi mencium pipi Anan. Melihat bocah itu hanya terbengong membuat pria baya itu menahan gemas. Lalu ayah Bumi bangkit, menghindarkan Anan dari jangkauan Ravi. “Tidurlah, Ravi. Saya akan menemani Anan malam ini.” setelahnya, ayah Bumi meranjak meninggalkan Ravi begitu saja.

“Ini gue nggak salah denger kan?!” Ravi berteriak senang. Tangannya bahkan sampai memukul udara. Ia memang tidak tau alasan ayah Bumi berubah drastis. Tapi yang pasti, Ravi juga ikut senang saat Anan senang. “Lo harus terimakasih sama abang lo yang tampan ini, bayi.”

Iya, Anan itu bayi. Dia cengeng dan apapun itu dia selalu menangis hanya karna ayah Bumi saja.

Tbc ..

Ananka ; Best SonWhere stories live. Discover now