Bab 47 ; Selang Waktu

337 24 0
                                    

Seorang gadis dengan rambut merahnya yang menyala tengah duduk di balkon kamarnya, ia membaca surat yang kini ada di genggamannya itu. Ekspresi wajahnya seketika berubah dengan alisnya yang miring, lalu berubah lagi menjadi senyuman kecil. Setelah surat itu diletakkan kembali, ia mengambil kertas dan pena bulu, mulai menulis. Gadis itu bernama Merillia Bethovel, dan ia sudah beranjak 18 tahun.

Teruntuk Grand Duke Novale di Utara,
Apa yang ingin anda lakukan di selatan? Tak ada penjelasan sama sekali di surat yang anda kirim. Aku tak masalah kau kemari, tapi saranku tak usah mampir ke dukedom Bethovel karena tak ada siapapun disana. Ku ulangi, tak ada siapapun disana kecuali anda ingin bertemu dengan kepala pelayan kami. Aku akan sibuk sementara ini.
Tertanda, Merillia Bethovel.

Dasar, apa yang ingin ia lakukan, tiba-tiba berkata bahwa ingin pergi ke selatan? Apa ia memang masih suka bermain di umur segini?
"Permisi lady, Duke sudah menunggu anda." Dame Evie memanggil.
Merillia menoleh, lalu beranjak sembari membawa surat itu. "Baiklah."

Sudah lama sejak kejadian Merillia dengan putri Sherria waktu itu. Seiring berjalannya waktu, Merillia dan Diva mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka biasa berkirim surat singkat, atau terkadang Diva mampir sebentar setelah berkunjung dari istana raja. Berkat berhasilnya Merillia mempertahankan pertunangannya dengan Diva, tidak seperti kehidupan sebelumnya, perang dengan kekaisaran utara berhasil dicegah, untuk saat ini. Tidak hanya itu, ada banyak hal yang sudah terjadi. Dorotha, sang adik pergi akademi di timur melanjutkan pendidikannya, Diva juga sudah dilantik menjadi Grand Duke saat ia berumur 17 tahun. Tentu saja kedepannya juga akan terjadi banyak hal.

"Dame, tolong sampaikan surat ini pada Grand Duke Diva Novale di Utara." Kata Merillia menyerahkan surat yang sudah distempel itu. Dame Evie menerimanya, lalu mereka berjalan kembali ke pintu utama. Suara pintu yang terbuka itu seolah menghubungkan mereka ke sisi dunia yang lain, hamparan mawar bertebaran di kebun depan dengan pohon-pohon rindang di dekatnya. Langit biru cerah dengan burung gereja yang sesekali lewat seolah mengucapkan 'selamat pagi' padanya. Duke menoleh, menatap putrinya yang sudah tiba.
"Selamat pagi ayah." Merillia berjalan mendekati Duke yang berdiri di dekat kereta kuda.
"Ya. Ayo kita berangkat, ke ibu kota."

Perjalanan dimulai. Cuaca cerah hari itu membuat Merillia semakin bersemangat.
"Merry, kau tak takut bertemu dengan para tetua?" Tanya Duke yang melihat putrinya terlihat ceria.
"Duh ayah, untuk apa aku takut? Mereka cuma orang tua yang suka ribut." Kata Merillia.
"Jangan berkata seperti itu."
"...Maaf ayah, aku tak sengaja." Merillia menutup mulutnya.
Aku sudah hafal watak dan perilaku mereka satu-persatu, siapa sangka kehidupan sebelumnya sangat membantuku dalam beberapa hal.

Hari itu adalah hari yang penting bagi Merillia. Karena hari ini Duke akan berkumpul dengan para tetua di ibu kota untuk membahas dirinya yang akan melanjutkan tugas sang ayah sebagai pemimpin. Meski dari luar Merillia terlihat bersemangat, nyatanya ia gugup setengah mati, di kepalanya terbayang banyaknya lontaran pertanyaan dari para tetua serta paragraf demi paragraf jawaban yang cocok.
Bagaimana jika aku gugup?
Bagaimana jika aku tidak berani angkat bicara saat mereka marah, seperti di kehidupanku yang dulu?
Bagaimana jika—

Tak terasa kereta kuda telah melewati pemukiman, pemandangan digantikan dengan hamparan rumput hijau dengan peternakan kecil. Merillia tersenyum menatap jendela, merasa sedikit tenang.
"Bukankah lapangan bunga itu indah Merry?"
Merillia menoleh, menatap hamparan bunga dan pohon yang tak jauh dari sana. Teringat di benaknya beberapa tahun lalu, ia dan Diva duduk makan siang disana, lalu membuat mahkota bunga dari bunga-bunga yang mereka petik.
Sudah lama ya...
Oh ya aku ingat saat Diva malah memetik bunga ia malah memetik bunganya saja, buka tangkainya ppft—
"Merry?" Duke menatap putrinya yang masih menoleh ke jendela sambil tertawa kecil. Merillia yang merasa terpanggil dengan cepat menoleh.
"Ya... ayah benar. Bethovel itu indah."
"Sebentar lagi kita akan melewati benteng, pemandangannya juga tak kalah bagus." Lanjut Merillia.
.
.
.

Once Again, I Will Protect My LandWhere stories live. Discover now