Bab 49 ; Batas

86 10 0
                                    

Merillia melempar sepatu hak tinggi yang ia kenakan ke arah Diva, ia menangkapnya dengan baik.
"Bawa itu, aku bisa turun sendiri." Merillia bersiap, kakinya sudah berdiri di ambang jendela, siap untuk melompat. Diva meletakkan sepatu Merillia di rumput, lalu mengejeknya, "Jangan bermain lady, sangat lucu jika ada berita seorang lady kecelakaan karena jatuh dari jendela."
"Oh ya? Kalau begitu aku akan menjawab jujur pada mereka bahwa kaulah yang memiliki ide ini." Merillia melompat dengan percaya diri sejauh yang ia bisa. Sejatinya ia memang tak terlalu pintar melompat, ia hanya ingin terlihat baik-baik saja di mata Diva.
Merillia menatap Diva di bawah, mata emasnya menatap yakin wajah Diva yang datar itu, seolah berkata, tangkaplah aku.
"Hup!"
Merillia memejamkan matanya, satu mata dibukanya, menatap wajah Diva yang menatap dirinya dekat. Itu pertama kalinya Merillia menatap wajah si laki-laki dari dekat. Mata merah menyala yang sebelumnya pernah membuat dirinya bergidik ngeri seperti tetesan darah itu kini terlihat seperti bunga peony merah yang mampu membuat siapapun terlena akan kecantikannya. Rambut hitamnya yang dulu ia lihat seperti kegelapan, kini terlihat seperti langit malam yang sejuk.

"Jangan menatapku seperti itu. Turunkan aku."
Diva diam saja menurut, lalu menurunkan Merillia pelan-pelan. Merillia bisa merasakan kakinya berpijak pada rumput yang berembun, rasanya dingin, meski tak sedingin salju di musim dingin. Melihat embun yang tak sedikit, Merillia tahu udaranya lembap, ia sudah siap jika ia sakit setelah ini.
"Apa lady mau memakai sepatu?"
"Tidak. Aku akan bertelanjang kaki." Merillia menatap bulan yang kini kembali menampakkan dirinya.
"Kupikir itu bukan ide bagus, pakailah." Diva menyodorkan sepatu miliknya, sepatu boots hitam kokoh yang sedikit lebih tinggi di atas mata kaki. Merillia menatap benda itu, alisnya berkedut.

"Hei, berhenti membuatku kesal! Siapapun bisa tahu kalau sepatu boots itu tidak cocok kukenakan. Aku menolak."
"Huh? Ini bukan soal cocok atau tidak cocok, kakimu bisa kotor lady." Diva bersikeras meminjamkan sepatunya.
"Aduh maksudku bukan begitu. Kau lihat rok gaun ini kan? Orang-orang akan tertawa melihat kolaborasi gaun dengan sepatu boots."
"Tidak akan ada yang tertawa lady, disini hanya ada kita berdua." Diva menggelengkan kepala, kembali menyodorkan sepatunya.
"Oh ya? Kalau begitu hantu yang akan tertawa melihat pakaianku."
"Apakah semua perempuan seperti ini? Ayolah lady, persetan dengan kecocokan pakaian. Kau itu cantik, pakaian apapun cocok di badanmu itu. Kalau ada yang tertawa melihatmu memakainya aku yang akan memukulnya lebih dulu... hei, tunggu!" Diva bingung melihat Merillia tiba-tiba berbalik, berlari menyusuri jalan setapak taman. Ia dengan cepat mengenakan sepatunya lalu berlari mengejarnya.
Merillia berlari. Kakinya bisa merasakan jalan setapak yang sedikit berdebu, atau bahkan daun kering yang tak sengaja ia injak karena tak terlihat. Perasaannya berputar-putar, degup jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, wajahnya memerah mendengar perkataan Diva tadi.
Apa-apaan itu tadi? Aku sangat malu.
Bodoh. Tidak boleh.

"Lady!" Diva berlari mengejar. Larinya cepat, Merillia menengok ke belakang, mendapati Diva yang hampir mendekat. Ia kembali berlari lebih cepat.
"Yang sampai gazebo duluan dia yang menang!" Merillia berteriak spontan. Ia takut wajahnya yang memerah malu itu dilihat, langkahnya dipercepat. Diva di belakang terkekeh, lalu menjawab "Baiklah! Yang menang boleh meminta hadiah apapun."
"Siapa takut!" Merillia kembali menyahut, berlari sekuat tenaga. Tak lama kakinya sakit, menginjak batu kerikil membuat larinya sedikit melambat. Diva maju menyalip Merillia dengan cepat, membuat gadis itu kembali berlari tak mau kalah.
.
.
.

Merillia berdiri terengah-engah di jembatan gazebo. Ia kalah. Rasanya sedikit memalukan, padahal ia sendiri yang membuat kompetisi ini. Diva duduk dengan santai menatap Merillia yang baru datang.
"Aku menang." Katanya.
Merillia menatap wajah Diva yang selalu datar itu. Rasanya sangat kesal. Sudah kalah lari, belum lagi kakinya sakit menginjak kerikil. Ia merasa sedikit kecewa dengan dirinya sendiri.
Sepertinya... aku... perlu... latihan fisik... lagi...
Setelah ulang tahun Avie... aku akan... latihan... lagi...

Once Again, I Will Protect My LandWhere stories live. Discover now