AI-44. Ujian Sang Mualaf

110 12 4
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Jika hidupmu tidak pernah sepi dari badai pelik yang bernama ujian, maka renungilah salah satu ayat ini. "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? (Q.S Al-Ankabut : 2)"

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

Setelah absen dari tugas mengajarnya selama lebih dari satu pekan, pagi ini Zainab kembali menjalankan rutinitasnya untuk mengabdi ke sekolah setelah sebelumnya mengabdikan diri pada suami dan orang tuanya di rumah. Dengan diantar oleh Arzan, mereka berkecimpung dengan pengguna jalan lain menggunakan kendaraan pribadi.

Tadinya Arzan berniat untuk sekalian mengajak Ibunya untuk berangkat bersama. Namun katanya Fatin berangkat agak siang karena pada pagi hari jam mengajarnya kosong.

Sebelum pukul 7, mobil berletter D sudah terparkir di depan gerbang SD IT.  Begitu turun dari mobil, Arzan langsung disuguhkan dengan pemandangan anak-anak yang tengah berlarian di lapangan depan yang terhalang oleh pagar besi bercat coklat.

Mereka aktif sekali. Bahkan sengatan cahaya matahari yang menyilaukan penglihatan tidak dihiraukan sama sekali. Mereka tampak asik saling mengejar satu sama lain dengan ekspresi girang.

"Apa kamu nggak capek ngajar anak kecil? Saya lihat mereka lari-larian kayak gitu aja udah eungap," celetuk Arzan pada sang istri yang sudah berdiri di sampingnya.

Mendengar itu Zainab terkekeh. "Mereka nggak semengerikan itu sampai bikin kamu yang baru lihat aja langsung eungap, Mas."

Laki-laki pemilik lesung di kedua pipi langsung menyengir. Lalu menyandarkan punggung pada bagian samping mobil sembari menerawang lurus ke depan. Dia memperjelas ucapan sebelumnya yang sedikit rancu.

"Maksud saya pada usia segitu mereka sedang aktif-aktifnya. Selain itu saya juga pernah mengalami masa kanak-kanak. Dan dulu kalo lagi di kelas, saya sering bikin Ibu guru kewalahan. Pasti nasib kamu sama Ibu guru itu nggak jauh beda, ya? Sering dibikin capek sama tingkah beberapa murid yang kadang di luar nalar."

Laki-laki itu terus mengeluarkan isi hati.

Namun saat tak mendengar adanya sahutan, Arzan menatap Zainab yang sedang memperhatikan anak-anak dari kejauhan. Mungkin mengawasi supaya di antara mereka tidak ada yang jatuh. Mendapati hal tersebut, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

Entah pada keluarga sendiri, ataupun orang lain, perhatian yang diberikan oleh sang istri benar-benar terlihat tulus.

"Saya ingin tahu apa alasan kamu selalu semangat untuk mengajar anak-anak?"

Kali ini pandangan perempuan berhijab warna putih motif abstrak teralih pada lawan bicaranya saat merasakan usapan di kepala.

Arzan mengulangi ucapan. "Apa alasan kamu selalu semangat untuk mengajar anak-anak, Zai? Dan dalam menjalankan tugas itu apakah kamu pernah merasa lelah?"

"Pernah, tapi jarang aku hiraukan, Mas."

"Kenapa?"

"Karena setiap rasa lelah itu mengampiri, aku selalu membayangkan bahwa salah satu di antara mereka nanti akan ada yang menarik tangan aku untuk menuju surga. Dan alhamdulillah setelah membayangkan itu aku jadi kembali semangat."

"Maa syaa Allah, pantas saja kamu selalu terlihat antusias saat mau mengajar. Balasan yang dikejar itu surga-Nya ternyata."

Zainab kembali mengulas senyum membenarkan ucapan sang suami. Melirik penanda waktu yang menunjukan pukul 06.50, dia memilih pamit.

Assalamu'alaikum, IslamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang