AI-46. Kebahagiaan Tersirat

92 13 10
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Bersamanya kutemukan sakinah, meskipun ujian hidup seringkali menyapa dari berbagai arah."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

Divonis memiliki riwayat penyakit vertigo membuat seluruh anggota keluarga merasa cemas dengan kondisi Utsman yang nampak lemah dan sering mengeluh pusing seakan apa yang ada di sekitarnya ikut berputar. Bahkan terhitung sudah empat hari pria itu beristirahat di rumah. Meskipun kondisinya berangsung-angur membaik, akan tetapi demi bisa menjaga suaminya bersama anak-anak di rumah, Rahma rela meninggalkan rutinitasnya sebagai buruh cuci sampai Utsman kembali pulih dari sakit yang menyerangnya di masa tua.

Dan mengenai keinginan Arzan yang mau menggantikan profesi Ayah mertuanya sementara waktu untuk mengojek pun sudah disetujui. Mereka memberikan respon yang baik. Bahkan merasa kagum pada suami dari si bungsu yang berani menurunkan gengsi demi menjalankan tugasnya berikhtiar mencari rezeki.

Namun berhubung Zainab yang peka bahwa suaminya tidak bisa mengendarai motor bebek, dia mengusulkan untuk memfalisilitasinya.

"Mas, Mas kan tidak bisa memakai motor Bapak. Jadi bagaimana kalo uang yang Mas berikan pada aku waktu itu dipakai untuk tambah-tambah beli motor matic saja?"

Zainab bertanya begitu keluar dari kamar Utsman yang tengah kembali beristirahat usai diperiksa. Sekarang dia tengah ditunggui oleh Windi, Indah dan Rahma yang baru pulang.

Mendengar itu, Arzan yang semula hendak pergi ke dapur untuk mengambil minum langsung menghentikan langkah. Dia berbalik menatap istrinya yang tengah menatapnya balik.

"Tidak usah, Zai. Saya belum bisa memberi kamu nafkah yang banyak, lalu yang sedikit itu masa mau diambil lagi?"

"Lagipula nominal uangnya juga sudah tidak utuh, sebagian sudah terpakai. Masih jauh untuk membeli motor secara cash, karena kalo kredit jujur saja saya tidak mau. Jadi sementara waktu saya mungkin akan belajar memakai motor Bapak. Nanti saya akan minta bantuan pada teman yang bisa memakai motor seperti itu saja,  ya," lanjut Arzan berusaha meyakinkan sang istri.

Sedangkan Zainab tidak langsung memberi tanggapan. Dia terdiam sejenak. Sebenarnya ada satu jalan keluar lain yang bisa mereka gunakan. Namun untuk mengatakan ini, jujur saja ia sedikit segan.

Dia berusaha mengatakannya dengan hati-hati. Tak ingin membuat suaminya tersinggung.

"Mas, sedikitpun aku nggak bermaksud untuk tidak menghargai pemberian dari kamu. Tapi aku pernah mendengar seorang Ustadz berkata seperti ini, bahwa ketika mahar dijadikan modal usaha atas rida dari sang istri, maka in syaa Allah usaha itu akan menjadi barakah. Dan alhamdulillah mahar yang sudah Mas berikan waktu itu jika diuangkan nominalnya cukup besar. Mas mau membeli motornya pakai uang itu saja?" tawar Zainab.

Tanpa berpikir panjang, Arzan langsung menolak dengan hati-hati. "Maaf, Zai. Tapi saya sudah terlalu sering menyusahkan kamu. Dan untuk yang satu ini, biarkan saya berjuang sendiri, ya."

Zainab menghela napas. Sebenarnya ia ingin membeli sepeda motor bukan untuk sekedar usaha suaminya saja, melainkan yang terpenting untuk transportasi. Kasihan jika kemana-mana suaminya harus menaiki angkutan umum. Bahkan jika jarak yang ditempuh hanya sekitar 1 km saja, Arzan akan memilih jalan kaki untuk menghemat pengeluaran.

Dan jujur saja saat mengingat hal tersebut, Zainab kadang merasa sedih. Meskipun Arzan tak pernah terdengar mengeluh, tapi saat melihat Arzan yang tidak biasa berjalan jauh nampak kelelahan dan sering menyembunyikan penat yang dirasa di depannya, hatinya serasa ikut teriris.

Assalamu'alaikum, IslamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang