Chapter 19

310 9 1
                                    


Tara tergopoh berlari menuju masjid tempat di mana Aziza sholat setelah pertengkaran besar yang ia alami. Arhan sengaja menelpon Tara karena hanya dia satu-satunya sahabat yang bisa diandalkan Aziza. Tara lekas memeluk Aziza ketika mendapati sahabatnya itu menangis sesenggukan.

"Sabar, Za, sabar. Aku yakin Allah punya rencana yang indah di kemudian hari. Seperti katamu, bahwa pelangi hanya bisa dilihat setelah hujan, pun matahari terbit hanya bisa dilihat setelah malam menghilang. Jadi kamu harus kuat dan yakin semua akan baik-baik saja, kamu tidak sendirian, aku akan selalu bersamamu." Hibur Tara yang tak bisa menahan airmata pula. Jika biasanya ia masih bisa tegar melihat Aziza mengadu masalah padanya, namun kali ini beda. Arhan sudah sempat cerita dalam telpon dan jujur itu membuat Tara tak bisa menahan airmata.

"Tidak apa, Za, kamu harus sabar dan kuat." Kembali Tara memeluk dan menepuk-nepuk punggung Aziza.

Aziza tidak bersuara, ia hanya menangis di pelukan Tara. Sedang Arhan yang melihat mereka hanya bisa diam antara kasihan juga menyesal, namun yang lebih membuat hatinya bergemuruh adalah sikap Bayu pada Aziza. Sungguh tidak pantas jika ia disebut seorang ayah.

"Mulai sekarang kamu tinggal saja di kosku. Untuk barang-barang kamu di rumah itu, aku akan bantu mengemasnya. Jadi tidak perlu khawatir." Kata Tara sambil memegang pundak Aziza dan menatapnya tegar. Sebagai sahabat ia tak boleh ikut lemah karena Aziza butuh seseorang yang menguatkannya.

Aziza mengusap wajah dan mengangguk.

"Jika suasana hatimu sudah membaik, aku akan bantu mencari ibumu." Sahut Arhan yang membuat Aziza seketika menoleh.

Lelaki itu, entah kenapa Aziza tidak pernah bisa menghindar meskipun hanya sesaat. Arhan adalah akar dari semua masalah yang terjadi, namun Aziza tidak bisa membencinya. Entah kenapa perasaan yang tumbuh itu begitu kuat, bahkan ia selalu percaya bahwa Arhan memang orang yang baik. Dia seperti cahaya yang turun dari celah gelapnya awan yang hendak hujan.

"Terima kasih."

Ucapan itu, juga tatapan Aziza saat itu, Arhan merasa tidak seperti biasa. Seperti ada keraguan yang membuat jarak di antara mereka akan semakin jauh. Namun Arhan tak ingin berfikir lebih banyak.

"Ayo, aku antar kalian."

Dan Tara pun menuntun Aziza menuju mobil Arhan yang terparkir di halaman masjid. Aziza menurut saja, karena ia sudah tak punya energi untuk menolak.

***

Malam itu di resto Rayan, Arhan termenung menatap secangkir kopinya yang sudah mulai dingin. Ia memikirkan semua kejadian yang menimpa Aziza, dan sama halnya seperti saat memikirkan penderitaan ibunya di rumah sakit jiwa, Arhan merasa dadanya begitu sesak hingga nyaris tercekik. Sesekali ia bahkan menepuk-nepuk dadanya sambil menarik napas dalam-dalam.

Rayan yang melihat itu lekas mendekat dan duduk di depan Arhan. Untuk kedua kalinya Rayan melihat Arhan nampak gelisah seperti itu, kegelisahan yang membuatnya hilang fokus.

"Kamu kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Rayan.

Arhan menarik napas dan mencoba menormalkan napasnya.

"Aku semakin ingin membalas semua perbuatan Bayu." Gumam Arhan, kali ini wajah gelisah itu berubah menjadi emosi. Perubahan ekspresi yang membuat Rayan merasa sedikit takut.

"Ada apa sebenarnya?"

"Dia bahkan tidak layak disebut seorang ayah. Bagaimana bisa dia tidak mengakui Aziza sebagai anaknya." Gumam Arhan dengan tatapan tajam kearah Rayan. Sontak Rayan terkejut.

"Apakah ini masih berkaitan dengan tes DNa yang kamu minta pada Dony saat itu?"

Arhan mengangguk.

"Dan bagaimana hasilnya?"

Our Wedding Days (SELESAI)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin