Bab 3 (Epilog)

107 13 4
                                    

Sudah lama aku tidak mengunjungi mereka, pikir Sai.

Dia terbaring di ranjang rumah sakit, hampir 3 bulan ini dia di rawat inap akibat komplikasi penyakitnya, dia dapat merasakan umurnya akan berakhir segera. Masa-masa primanya sudah berakhir beberapa dekade yang lalu, rambutnya memutih, kulitnya semakin keriput, dia kehilangan beberapa giginya, namun dengan segala keaadaan itu, dia tidak menyangka dapat hidup sepanjang ini sebenarnya.

Berapa sekarang umurnya? Dia kerap melupakan hal itu karena kepikunan sudah menyerangnya, sekitar 70 tahun dia yakin itu, tepatnya sendiri dia tidak yakin. 

Sai mendekatkan tangannya ke wajahnya, memperhatikan lebih selidik keadaan tubuhnya. Selang-selang infus melilit kedua tangannya yang keriput, alat itu memasukkan nutrisi secara paksa untuk menopang kehidupannya, selang oksigen juga membalut wajahnya, lucu sekali rasanya, tubuhnya tidak dapat beroperasi tanpa topangan mesin.

Sebenarnya ini tidak diperlukan, jika saja anaknya tidak bersikeras untuk mempertahankan nyawanya, dia sudah menyusul Kaizo dan Fang sekitar 3 bulan yang lalu.

Dibandingkan dengan mereka, Kaizo bahkan tidak mencapai umur 30 saat kematian menjemputnya sedangkan Fang, dia bahkan tidak mengecap umur 20 tahunan.

"Nak kemarilah," panggil Sai pada putra tunggalnya yang menjaganya di ruang rumah sakit ini, dia menamai putranya Kaizo, sebagai bentuk penghormatan kepada sang mendiang Bossnya yang mewariskan seluruh kekayaannya pada Sai. Seluruh perusahaan ini akan kembali pada sosok yang bernama Kaizo lagi.

Anak semata wayangnya ini sebenarnya bukan darah dagingnya, namun Sai menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dikarenakan dia menikahi seorang wanita yang kehilangan rahimnya saat dia kecil, bukan berarti Sai menyesal, dia tahu dan menerima keadaan kekasihnya yang bernama Yaya itu untuk dijadikan istrinya, mereka mengadopsi anak dan membersarkan anak itu seperti anak mereka sendiri.

Sai menemukan anak itu saat Kaizo belum genap 2 tahun di tempat yang sama dimana Fang dulu menemukannya, entah kenapa sosok Kaizo putranya terlihat mirip dengan Kaizo bossnya.

Si anak bergerak cepat menghampiri ayahnya. "Ada apa ayah? Apa terasa ada yang tidak nyaman?" Dia hendak menekan tombol untuk memanggil suster tapi Sai mencegahnya.

"Aku punya permintaan terakhir," ucap Sai seraya mencegahnya.

Expresi si sulung mengeras, entah bagaimana tapi si sulung juga bersikap seperti Bossnya dulu, dia tidak tahu cara menampilkan expresinya dengan baik, terkadang Sai sering membayangkan apakah mungkin jiwa Kaizo telah terlahir kembali dalam sosok anak tunggalnya, bahkan suara anak itu terdengar mirip. "Ayah kumohon, jangan berkata seperti itu,"

"Kau lihat aku sekarang Nak," ucap Sai pada putranya. "Bahkan berada di rumah sakit terbaik dan disertai dokter terbaik tidak akan mencegah para malaikat itu untuk menjemputku."

Si sulung memalingkan muka, dia tahu itu benar. Dia menghela napas. "Aku..." dia berhenti, membalikkan badan untuk membelakangi ayahnya, gestur itu selalu dia lakukan saat ingin menangis. "Ayah, kurasa akan lebih baik...."

Ketukan pelan terdengar, mereka berdua bersamaan melihat ke pintu, Yaya memasuki kamar perawatan Sai bersama dengan anak iparnya Kirana dan cucu satu-satunya yang baru berumur 4 tahun, si Kecil Fang, putra dari Kaizo. Si kecil Fang memaksa turun dari gendongan ibunya, anak itu membawa dua buah lollipop berbentuk bunga, dia segera berlari menghampiri kakeknya, bergelayut manja di sisi ranjang kakeknya.

"Bisakah Ibu mengatakan sesuatu pada ayah?" Tanya kaizo seraya menjaga anaknya untuk tidak sengaja menarik selang infus kakeknya, si kecil Fang memberikan satu lollipop itu untuk kakeknya, berharap dengan lollipop itu kondisi kakeknya akan membaik.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A Small Heaven In PrisonWhere stories live. Discover now