Salju yang dingin

43 4 0
                                    

"Vinzenz! Svilinja ii Iras!"

Aku terus berlari, menghiraukan teriakan dari perwira Zmirnostia dibelakangku. Hembusan angin dingin meniup daun-daun pepohonan, diikuti dengan awan mendung yang bergemuruh. Sekelompok prajurit Zmirnostia mengejarku menggunakan mesin terbang mereka, sedangkan aku hanya berlari. Berlari di tanah dengan sisa tenagaku yang tersedia, di atas tanah yang bersalju.

Jantungku berdegup kencang, diikuti oleh tubuhku yang mulai melemah akibat suhu rendah. Suara derup mesin terbang semakin mendekat, mengincar diriku—dan dokumen yang kubawa. Nasib Eichenburg ada di tanganku, dan aku harus menyampaikannya kepada para petinggi militer.

Seragam hitam yang kugunakan dan tubuhku membuatku menjadi target sasaran empuk bagi mereka. Namun, tinggal sedikit lagi, Sungai Novsta ada di depan mata. Dibalik sungai itu, ada markas dari unit 130. Aku tidak akan mati sebelum mereka menerima dokumen ini.

"Skotzas ras Nivsckin!"

Perwira Zmirnostia itu kembali berteriak. Bersamaan dengan teriakkannya, mesin-mesing terbang itu berhenti, suara tembakan terdengar, dan aku merasa terdorong ke arah sungai. Aku terkejut, tubuhku terpaku di titik itu, semua organ tubuhku rasanya berhenti bekerja, dan waktu terasa lambat. Cairan hangat mengalir dari bahuku, dan ketika aku melirik, aku sudah tertembak.

Pandanganku mulai kabur, dan napasku terasa berat. Suara dari boots yang menginjak salju terdengar dari kejauhan, jantungku yang semakin berdetak, dan pandanganku yang mulai kabur. Apakah aku akan segera mati? Mati di tangan perwira Zmirnostia? Mati tanpa seorangpun tahu? Mati tanpa diketahui mama? Dan itulah saat dimana aku hilang kesadaran. Aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya, namun sudah jelas aku terjatuh ke sungai yang membeku.

Kudapati diriku terbangun di pinggir sungai dengan kondisi kedinginan, rasa dingin, menusuk, dan kebas terasa di tanganku. Kebingungan adalah hal pertama yang muncul dibenakku. Saat aku mencoba duduk, aku melihat dokumen penting Eichenburg basah, untungnya masih bisa dibaca. Aku mencoba berdiri dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang berserakan. Salju sudah mulai turun, angin dingin meniup daun-daun pohon, dan awan gelap mulai menyelimuti langit. Badai akan segera datang, tapi aku tak punya tempat perlindungan.

Sebuah kayu panjang dan tipis tergeletak di sebelahku, dan itu sepertinya bisa digunakan untuk menopang tubuhku yang melemah. Langkah demi langkah ku jalani untuk mencari sebuah kabin. Keadaan tentunya tidak bertambah baik dengan rasa lapar yang tiba-tiba muncul, dan aku berharap di kabin yang ku temui nanti ada makanan. Itu juga jika aku berhasil menemukan satu.

Saat ini aku berada di daerah musuh, aku berada di Zmirnostia, sendirian, dengan pasukan yang sudah dibantai, dan akan diterjang badai salju. Sepertinya aku akan mati karena hipotermia dan frostbite. Perutku keroncongan, dan aku tidak bisa menemukan apa-apa untuk dimakan. Seandainya aku masih memiliki senjata, mungkin aku bisa berburu.

Aku tetap berpegang teguh pada kata-kataku, aku tidak akan mati sebelum membawa dokumen in pada pasukan 130.

'Protjecht 102: Operatichtasn Junkjard Novosvik—1943'

Tertulis dengan jelas sebagai heading dari dokumen tebal itu. Aku pernah diam-diam melihat isi dari dokumen penting ini. Aku sempat terkejut melihat isinya, namun mau bagaimanapun juga, aku tidak boleh mengeluh. Karena jika aku mengeluh, aku akan ketahuan melihat isi dokumen, dan akan dibunuh seperti pemegang dokumen sebelumnya.

Tiba-tiba aku melihat sesuatu, tidak, aku melihat sebuah jasad terbaring di antara salju ia mengenakan seragam hitam tentara Eichenburg. Aku mencoba mendekatinya, namun aku menelan ludahku sendiri ketika menyadari sesuatu yang mengerikan. Salju disekitar pria itu telah menjadi merah akibat darah.

Tubuhnya sudah tidak memiliki kepala, badan bagian bawahnya terkoyak, perutnya terbelah, dan organ dalamnya berserakan. Rasa mual dan ingin muntah mengaduk-aduk perutku yang menang sudah kelaparan. Disampingnya, terdapat sebuah tas ransel yang tergeletak begitu saja.

Aku menyimpulkan kalau pria ini tewas dimakan oleh beruang salju. Dan yang lebih mengerikannya, aku bisa mendengar suara geraman yang berasal dari kejauhan. Aku melihat sekeliling, memastikan beruang itu tidak ada disekitarku. Burung-burung berterbangan, angin dingin membuat suasananya semakin mencekam. Tubuhku gemetar hebat, instingku berkata ada sepasang mata sedang mengawasiku dari kejauhan.

Aku mendesah panjang, sambil gemetar aku ambil ransel itu dan membawanya. Sedikit kucepatkan langkahku, berjaga-jaga jikalau masih ada beruang salju. Aku melangkah dengan lebih cepat, san suara geraman itu terdengar semakin mendekat.

Jantungku berdegup semakin kencang, tubuhku kini terasa panas karena adrenalin, dan ketika aku menoleh, beruang salju itu sudah berada di antara pepohonan, menggeram sambil memandang ke arahku. Jika bukan karena wajah hitamnya, aku tidak akan tahu dia ada disana. Tubuhnya dipenuhi dengan luka tembak, terutama dibagian kepala. Menandakan dia memiliki kulit yang tebal dan susah ditembus peluru.

Ketika dia mulai melangkah dengan perlahan ke arahku, aku berjalan dengan pelan ke arah depan. Berpura-pura aku tidak baru saja berkontak mata dengannya. Benar saja, ini daerah teritori beruang salju. Banyak mayat tentara, prajurit, hingga warga sipil yang kepalanya hilang. Semakin banyak mayat yang kutemui, semakin aku sadar ternyata makanan alami beruang salju adalah kepala manusia, kepala manusia yang berani memasuki teritorinya.

Selama ini, aku mengira beruang salju adalah karnivora biasa yang memakan manusia hanya karena mengusiknya. Ternyata aku tertipu. Mereka akan memakanmu. Langkah beruang itu semakin dekat dan semakin perlahan, menandakan dia bisa kapan saja melompat dan menerkamku.

Benar saja.

Hewan buas itu melompat. Dengan cepat aku menghindar, melewati mayat didepanku yang sudah menjadi tulang. Kupercepat langkahku, begitu juga si beruang. Semakin aku memasuki wilayahnya, semakin banyak mayat tanpa kepala yang badan mereka habis terkoyak, dan semakin banyak pohon tinggi yang memiliki bekas cakaran.

Tunggu, pohon tinggi yang memiliki bekas cakaran?!

Binatang buas itu bisa memanjat pohon?! Oh tuhan, ini tak akan bisa menjadi lebih buruk lagi. Pikiranku tidak tenang, memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Apakah aku akan mati ditangan beruang salju?! Menjadi mayat tanpa identitas?! Aku berhasil keluar dari hutan, namun itu membuatku menjadi sasaran yang lebih mudah terlihat.

Aku tersandung, terpaku di titik itu, dan sekali lagi menatap muka si beruang salju yang berwarna hitam. Mata merahnya menatapku tajam, dia berhenti tepat di ujung hutan. Beruang itu menggeram, dan geraman itu membuatku bergidik ngeri. Setelah beberapa waktu yang terasa sudah sangat lama, dia meninggalkanku.

Aku menghela napas lega, dan terbaring disana. Akhirnya aku lolos dari maut, akhirnya aku keluar dari teritori beruang salju yang disebut lingkaran kematian.

Entah apa yang salah dengan diriku, aku terkekeh.

Akhirnya aku bisa mati dengan tenang, tanpa rasa sakit, hanya mati karena hipotermia...

"Skotzas... Vilickin Dovra?"

The world against usWhere stories live. Discover now