16◝' '°•~

232 10 1
                                    

"Eji kapan pulang?"

"Nanti siang juga Eji bakal jemput Naka. Tapi, sekarang Eji masih di Bandung"

Naka tak mengalihkan pandangannya menatap layar handphone yang ia genggam. Naka duduk di atas kaki Albian yang sedang bersila. Perut Naka terasa di usap-usap, padahal memang iya. Karena Albian yang tak henti-hentinya mengusap perut Naka.

Sedari bangun tadi, Naka rewel. Rindu Eji. Aldhika menenangkannya, dan memberi handphone nya untuk Naka gunakan.

Handphone Aldhika memanggil Hejima pada saluran telepon. Naka pun tak tahu mengapa Aldhika bisa menelepon kakaknya.

Anak itu terlalu anteng hingga tak terasa waktu sarapan hampir terlewatkan. Albian menyadarkan Naka untuk berhenti, biarlah Naka mengisi perut bulatnya dulu. Nanti siang sang kakak pasti akan menjemputnya.

"Let's go.. kita makan dulu ya, sayang" Aldhika datang dari arah dapur, menghampiri Naka lalu merentangkan tangannya.

Handphone yang tadi Naka gunakan, terlebih dahulu dikembalikan. Aldhika menerimanya lalu mengantungi nya. 

Rentangan itu, Naka dapatkan lagi. Tubuh Naka melayang, menghampiri ruang makan yang telah tersaji beberapa makanan di meja.

"Dedek mau duduk sendiri atau Aa pangku?"

"Dedek mau sendiri"

Naka duduk di atas kursi sendiri, karena keinginannya untuk tidak dipangku siapapun.

Sarapan kali ini meramaikan suasana. Naka pertamakali sarapan dengan keluarga Aldhika, tapi sama sekali tidak merasa canggung. Keluarga itu memperlakukannya seperti keluarganya sendiri.

Tapi sayang, Papa Akmal tidak ikut sarapan bersama mereka. Akmal terlebih dahulu berangkat menuju kantor untuk melakukan pekerjaannya yang kian menambah. Padahal sarapan pagi ini bersama guest star kecil yang sangat menggemaskan.

"Uhuk... Uhuk..." Waduh, Naka tak sengaja memakan irisan cabai yang ada di piringnya. Ia kira itu daun bawang, ternyata itu cabai hijau yang hampir mirip seperti daun bawang.

Pedas yang Naka rasakan menjalar hingga telinga. Naka tak kuat. Tapi Naka tahan.

Aldhika memberikan segelas air, Naka minum hingga tandas. Mata bersih itu perlahan mengeluarkan air mata tanpa tangisan. Aldhika meninggalkan Naka tanpa bicara, entah pergi kemana.

Tak tega jika Naka tersiksa dengan rasa pedas itu, Albian mengangkat Naka untuk ia peluk. Mengusap sebagian punggung Naka dan tengkuk agar mengurangi rasa pedas itu.

"Telinga Naka sakit, Aa"

"Tahan ya, sebentar lagi hilang sakitnya. Naka kan kuat"

"Buka mulutnya sayang, Aa bikinin dedek susu supaya gak pedas lagi" ternyata Aldhika pergi ke kamarnya, membuat susu untuk Naka. Barang-barang Naka ditaruh Aldhika di kamarnya. Maka dari itu, dot yang Naka gunakan harus Aldhika ambil terlebih dahulu.

Diubahnya posisi Naka agar menyamping. Genggaman Naka pada dot miliknya sangat erat. Enggan untuk melepaskannya.

Albian hanya menatap anak yang ada dipangkunya, mengusap-usap rambut lebat Naka agar terlihat lebih rapi. Lain halnya dengan si bayi, benda yang terjajar rapi terus Naka pandangi. Mengabsen satu persatu barang-barang itu untuk masuk ke Indera penglihatannya.

Bibir yang bergerak tak terjeda, menghabiskan asupan manis untuk menghilangkan rasa pedasnya.

Di ruang makan, kini hanya terisi oleh mereka berdua yang fokus pada pikirannya masing-masing.

Aldhika entah pergi kemana. Terakhir kali Albian lihat, pria itu sedang menempelkan handphone pada telinganya. Entah menghubungi siapa kakaknya itu.

"Mandi ya, sekarang! Aa mandiin, oke?" Albian terlalu excited untuk memandikan Naka, padahal susu yang Naka minum belum habis. Masih tersisa setengah.

Pohon Permata Where stories live. Discover now