Kabar Baik

346 221 70
                                    

"Jangan seenaknya ngomong, ya, Pak!" sergahku pada penagih itu.

Aku sedikit takut dengannya, namun emosiku meluap, ditandai dengan kepalan tangan yang meremas ujung kaosku.
Bang Samir pun tampak tidak suka, tapi ia selalu menghindari permasalahan. Kakak lelakiku diam sejenak dan sejurus kemudian berhasil melontarkan kata dengan canggung.

"Maaf, Pak, untuk sekarang kami betul-betul tidak ada sedikit pun yang bisa kami beri. Lebih baik datang lagi pada penagihan selanjutnya, kami akan mengusahakannya."

"Baiklah, secepatnya disiapkan. Masih banyak sisa utangnya, kecuali kalau mau menyerahkan si eneng manis ini ke saya."

Penagih akhirnya pergi begitu saja. Aku sedikit kecewa dengan Bang Samir karena tidak ada raut kemarahan, padahal adik bungsunya diganggu oleh lelaki hidung belang.

"Bang Samir kenapa tidak nonjok saja, Bang? Leny kesal, takut juga!" protesku padanya.

"Sudahlah, jangan membuat masalah semakin besar. Ada kalanya kita harus menahan diri," ungkapnya sambil duduk menyeruput kopi di tangannya.

"Setengah jam lagi Abang mau nyusul ke tempat Bapak. Bantu-bantu Bapak di kebun Bi Tutur," imbuh Bang Samir.

"Terus aku bagaimana, Bang? Nanti kalau penagihnya datang lagi gimana? Leny takut diapa-apain, Bang," kataku, berusaha memelas.

Namun sepertinya tidak bisa menahan kepergian lelaki berumur tiga puluh empat tahun itu. Keinginan hatinya tidak tergoyahkan.

"Abang perginya berapa lama? Jangan kelamaan, ya, Bang!" pintaku lagi.

"Belum tahu. Mandiri sedikit lah, sudah besar, kan? Kalau kamu merantau juga suatu saat akan sendiri, lho!"

Nasihat Bang Samir telah membungkam mulutku. Aku berlalu menyeret langkah dengan malas, menuju dapur untuk mencuci piring. Pekerjaan rumah tangga sudah menjadi keahlianku selama ini. Aku pikir, orang tua dan kakak seharusnya merasa beruntung memiliki satu babu gratis ini. Aku tersenyum kecut memikirkannya.

Tak munafik, ada kalanya aku ingin bercengkrama dengan teman sebaya, nongkrong di tempat instagramable, bertukar pikiran, menciptakan tawa renyah dengan senda gurau. Tetapi aku lebih sadar diri, keuangan yang tidaklah bagus juga mempengaruhi seberapa banyak pertemanan yang didapat.
Jika aku hanya punya beberapa lembar uang puluhan ribu, lebih baik kumanfaatkan untuk kebutuhan daripada untuk satu kali pergi bersenang-senang dengan mereka.

Saat susah, aku benar-benar merasa tidak ada satu pun yang mendekat. Tidak ada yang bisa membantu, bahkan untuk sekadar menjadi tempat bercerita.

Kadang, saat gelisah memang seolah diri ingin bercurhat-ria dengan teman. Apesnya, malah mereka mengadu nasib padaku. Rasanya jadi malas bercerita, lebih baik memendam segala bentuk rasa, mengendapkannya menjadi cerita yang kutulis seperti ini. Aku merasa lebih lega sekarang.

Omong-omong, apa kamu sependapat denganku soal tadi?
Jujur saja, aku sangat ingin mendengar pendapatmu.

"Len, Abang pergi dulu. Hati-hati di rumah, jangan lupa mengunci pintu ketika mau tidur."

Bang Samir bergegas menghangatkan mesin motor, sejurus kemudian berlalu dengan cepat.

Saat ini aku merebahkan badanku di lantai, membiarkan hawa dingin menembus kulit. Tatapanku merambah kepada langit rumah.

Pikiranku berkelana dengan liarnya, membayangkan bagaimana aku masih bisa tertawa lepas tanpa beban ketika sekolah dulu. Rasanya ingin kembali bersekolah saja, rasanya aku tidak ingin tumbuh melewati masa-masa paling menyenangkan itu.

Aku melepas earphone yang sedari tadi sudah melekat di telinga, mendengarkan musik sendu malah kian menjadikanku merenungi nasib. Lebih baik mengecek layar gawai, aku ingin menelepon Mama.
Tidak butuh waktu lama, Mamaku sudah menjawab panggilan.

Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now