Punya Duit? Punya Kuasa!

299 191 47
                                    

Prak!

Pecah sudah kaca jendela. Remuk juga perasaanku. Ekonomi keluargaku tidaklah bagus dan tidak buruk, tetapi membeli lauk enak saja harus pikir-pikir ulang, dan pada akhirnya berujung makan pada sayur yang tertumbuh di sekitar rumah. Jatah makan enakku malah menjadi pengganti kaca rusak.

Meski begitu, orang lain tiada peduli, sanak saudara merapatkan jari kepada mata mereka, berpura-pura buta dan tuli atas kabar miring di keluargaku. Orang terdekat tak ingin terlibat, apalagi menanting keadaan kami yang bersimpuh di bawah roda kehidupan.

Pantaslah orang berpikir dunia ini neraka, ladang ujian dan cobaan, sementara orang alim menenangkan dirinya masing-masing dengan dongeng-dongeng surga.

Tetapi, sungguh, nurani menjadi sesuatu petunjuk di dalam jiwa-jiwa yang terpuruk sepertiku. Ia seolah berdiri paling tegak dengan suaranya yang berbisik lirih namun terdengar jelas, ini salah dan itu benar, sekali pun logika bertanya "Apakah jalan yang kutempuh tak keliru?"

Aku menganggapnya itu adalah hadiah istimewa dari Tuhan, ketika segala bimbang berdesing-desing membidik sanubari. Sama halnya dengan situasi saat ini, aku berusaha meredam amarah dan ketakutan yang sedang berusaha merajai diri.

"Ya Allah!"

Bapak tersentak, refleks memundurkan badannya ketika pelita kegelapan itu memecahkan kaca jendela. Gemuruh teriakan warga berseteru, entah apa yang merasuki diri mereka.

Aku sangat yakin, ada hasutan yang menggerakkan mereka untuk mengusirku. Lantunan cemoohan masih kurang kuterima, kini mereka tak bisa mengendalikan perbuatan. Mereka membabi buta.

Semerbak aroma minyak tanah bertamu di hidungku, apinya menyambar gorden yang sempat terjamah ujung obor itu.
Warga kian mendekat, menyuarakan sentakan langkah per langkah dengan kasar. Bunyi alas kaki mereka beradu dengan kalimat kotor. Terdengar olehku, suara Pak Danu memimpin di barisan terdepan.

"Keluar kau gadis jalang!" hardik Pak Danu.

Tingkahnya berbanding terbalik dengan saat terakhir kali ia berada di sini. Waktu itu mentalnya bak kerupuk terendam air, ia melempem, memelas maaf dariku. Kewarasannya sudah tandas, pikirku.

"Kalian tak pantas berada di kampung kami!" seru warga.

Otakku meraih perkiraan, ada seseorang yang tega memfitnahku. Oh, Tuhan, aku lelah sekali dengan manusia-Mu yang kurang akal seperti mereka yang ada di depan rumah. Mungkin bodoh, mungkin juga memang kejam, mereka bersuka cita membuat onar di jam-jam tidur.

Seseorang menggedor pintu begitu keras. Telapak tanganku menutup bibir, sedangkan mataku semakin berair diterpa ketakutan dan was-was. Firasat buruk tiba-tiba hadir, rasanya semakin mengoyak lubuk hati.

"Samir, ambil air!" perintah Bapak.

Bapak melepaskan bajunya kemudian dikibaskan ke kain-kain yang terlalap si jago merah. Kain gorden berwarna hijau daun itu semakin berkobar, terserang amarah warga.

Bang Samir terbirit, ia menimba air di sumur berdiameter satu meter. Lantai tempat sumber mata air yang sedikit berlumut itu tidak menghalangi kecepatan langkah Bang Samir. Ia pun pasti terjerat rasa panik.

Byur. Byur.

Beberapa guyuran air berhasil memadamkan nyala api. Bertepatan dengan seorang warga yang berhasil mendobrak pintu ruang tamu, mereka membukanya secara paksa. Bang Samir membelalak, Bapak naik pitam.

"Hei, Danu sialan! Tidak tahu malu kau? Sudah berbuat cabul pada anakku, lalu sekarang apa?" sergah Bapak. Ia mencengkeram erat kerah baju Pak Danu yang bermotif polkadot.

"Bapak-Bapak, Leny ini perempuan penggoda. Keluarganya ini memutarbalikkan fakta. Saya akan dipenjarakan, padahal dia yang terus memaksa saya melakukan hal itu! Tanya saja dengan beberapa saksi yang ada di sini."

Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now