Pindah Ke Kalimantan

42 19 14
                                    

"Hentikan, Bang! Leny malu."

Aku tenggelam dalam kesedihan. Air mata terus mengalir dari celahnya ketika semua orang akhirnya memandang pilu kepadaku. Aku menunduk, meratapi semua persiapan pertunangan yang sia-sia. Yang bisa dilakukan hanyalah pasrah dengan segala keadaan.

Aku terus memegangi dada yang tak berhenti bergemuruh, sambil sesekali menyeka air mata yang meluncur bebas. Riasan bedak telah luntur, pancaran kebahagiaan yang kubayangkan telah sirna oleh keadaan. Aku yang tak kuat lagi menahan malu dan derita, akhirnya beringsut ke kamar.

Monic yang pengertian, ia mengekori langkahku. Saat itu, yang kuperlukan hanyalah ditemani tanpa dinasihati apa pun. Telinga Monic mungkin sedikit terganggu oleh isak tangisku, namun ia tampak iba.

Aku melirik Monic, ternyata ia ikut menangis atas hatiku yang terkoyak. Pelukan hangat Monic adalah satu-satunya sumber ketenangan yang kudapat, sebab tubuh Mama begitu jauh untuk kurengkuh.

"Mon ...." rintihku.

Aku merekatkan tangan kepada tubuhnya, air mataku pun semakin deras. Setiap tampiasnya adalah bentuk sakit hati yang begitu menyiksa batin. Monic hanya membalas dengan elusan yang mendarat di punggungku. Sungguh, keadaan saat itu lebih terasa sakit daripada penolakan Kurma yang gamblang. Apakah ini karma bagiku karena menyia-nyiakan Kurma di saat ia menyerahkan hati padaku?

Keributan yang dihasilkan dari kekesalan Bang Samir telah mereda. Saksi acara pertunangan yang batal pun telah berpulang ke rumahnya masing-masing.

Suara langkah kaki mereka turut membesarkan kekecewaan yang menyeruak di poros hati. Otakku terus berputar, mencoba menerka mengapa acara penting itu bisa gagal.

Aku melepas pelukan Monic, lantas meraih ponsel di atas kasur. Pandangan mataku buram akibat digenangi air mata, namun aku mencoba fokus. Berkali-kali aku mengelap pelupuk mata yang basah. Sekali lagi, kubaca SMS yang kulayangkan kepada Dimas.

"Aku menerima syarat darimu. Vakum media sosial dan berhenti bekerja."

Apakah pesan itu tak sampai kepadanya?
Jika ia hanya memainkan perasaanku, aku tak mengapa. Lambat laun kesedihan akan gugur, hati yang retak mungkin saja masih bisa kuperbaiki dengan kisah baru. Namun, aku juga kasihan kepada keluarga. Terlebih kepada Bapak, uangnya telah tandas untuk acara yang sia-sia.

Pukul 21.00 setelah satu jam meluapkan kesedihan bersama Monic, aku menguatkan diri untuk keluar kamar. Aku menatap nanar kepada makanan yang tertata rapi. Bang Samir duduk, wajahnya masih menyiratkan amarah. Sedangkan Bapak, matanya merah. Aku tahu, ia tak kuasa melihat anaknya yang disakiti oleh orang lain. Bapak mungkin juga merasa bersalah, tampak dari wajahnya yang frustrasi.

"Tolong bantu Akang membagikan kue-kue ini ke tetangga, Sari," kata Bapak kepada Bibi Sari.

Bibiku manggut, lantas bangkit dari duduknya. Ia menuju ke arah diriku berdiri.

"Sabar, Leny. Jangan terlalu dipikirkan. Masih banyak lelaki lain," ucap Bibi Sari, mencoba menenangkan. Aku tak bersuara, hanya menunduk pasrah.

"Sabar, Len." Monic mengelus lenganku.

"Lebih hati-hati lagi jika ingin menjodohkan anak, Kang."

Paman Carito membuka suara. Tatapannya bukan tertuju kepada Bapak, justru ia sibuk menaruh makanan ke kantung kresek. Monic membantu, sesekali dirinya melirik ke arahku.

"Pak, tadi Om Samsul bicara apa?" tanyaku setelah menemukan setitik ketenangan.

"Dia tak tahu apa-apa, kita disuruh untuk menanyaimu. Apa kamu dan Dimas sempat bertengkar?" Bapak melempar tanya.

Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang