Bab 0.9

104 25 0
                                    


Seminggu setelah kejadian naas di jalan tol, Yanti belum memiliki keinginan untuk keluar rumah dan kembali ke kampus. Mengingat mobil kampus berisi Windy, Rendra dan beberapa orang terbalik beberapa membuatnya takut untuk keluar rumah. Meski Lintang—kakak sepupunyanya—yang tinggal di Jakarta semenjak lulus kuliah menelepon setiap hari hanya untuk memarahi, menceramahi dan mengancamnya.

Ia menolak telepon dan pesan Gigih, sejak pria itu mengantarnya pulang. Meski kesabaran dan kelembutan Gigih menjadi alasannya tidak hancur berantakan setelah kejadian hari itu. Gigih membawanya mengelilingi kota Surabaya, dan ketika ia masih belum menemukan ketenangan, pria yang tak melepas genggaman tangannya tersebut mengarahkan mobil hingga ke kota Malang. Gigih tak lelah bertanya gimana perasaannya atau tentang hal sekecil apapun. Keberadaan Gigih di sampingnya memberinya alasan untuk tidak hancur berantakan setiap kali mengingat kejadian itu.

Namun, setelah mereka menghabiskan waktu berdua, ia merasa sesuatu telah berubah di antara mereka berdua, dan Yanti merasa belum siap untuk bertemu. Terlebih lagi setelah melewati hari penuh dengan mimpi buruk, Yanti merasa tidak seperti dirinya sendiri. Sedih dan rasa bersalah mengisi hati dan tak menyisakan tempat untuk yang lainnya.

Yanti membutuhkan waktu untuk menjauh dan menyiapkan hati. Ia membutuhkan jarak untuk memulihkan hati dan kembali bertemu dengan wajah-wajah yang akan membawanya kembali ke masa itu. Yanti belum siap untuk kembali menghadapi kenyataan baru.

Namun, semua tidak berjalan seperti yang ia inginkan, karena tiga orang menerobos ke dalam kamarnya dikuti sang ibu dengan sorot kuatir. Yanti tak sempat untuk melayangkan protes ketika kedua lengannya di tarik hingga ia berdiri.

"Woy! Pelanggaran!" teriaknya ketika langkahnya dipaksa untuk mengikuti semua orang hingga badannya terdorong ke arah sofa. "Jancuk!"

"Yanti!" bentak ibunya yang melotot marah ke arahnya. "Bahasanya! Kamu tahu ibu enggak suka!"

Yanti melayang pandangan membunuh ke semua orang kecuali ibunya, karena ia tak bisa mengatakan apapun yang ada di ujung lidahnya. Kekehan tertahan ketiga orang temannya semakin membuatnya ingin mengumpat. "Mereka yang mulai, kan, Bu!" protesnya ketika melihat tatapan marah ibunya saat meninggalkan mereka berempat.

"Karena mereka mau kamu mulai bergerak, Ti! Bukan hanya mengurung diri di kamar." Ia masih bisa mendengar suara ibunya meski saat ini matanya hanya tertuju pada tiga orang yang menatapnya tajam.

"Satu kampus yang kenal Mas Rendra juga berkabung, Ti. Tapi bukan berarti ngurung diri di kamar. Yang merasa kehilangan enggak cuma kamu! Kamu enggak tahu sebingung apa Gigih nyariin kamu." Mendengar nama Gigih keluar dari bibir Fauzan membuatnya menoleh dengan cepat. "Hampir tiap hari dia kampus nyari kamu." Yanti menatap ketiga temannya dengan tajam.

"Kamu merasa bersalah, kan?" tanya Wahyu yang tak ia jawab dengan kata.

Yanti menutup erat kedua matanya ketika bayangan mobil itu kembali memenuhi kepalanya. Senyum yang Rendra berikan padanya sesaat sebelum menutup pintu mobil. Bahkan wajah ketus Windy pun kembali melintas. "Kamu tahu, Mas Ren cegah aku untuk masuk mobil. Dia bilang kalau itu kendaraannya untuk pulang. Untuk pulang, Zan!" teriaknya. "Aku enggak bisa ngilangin rasa bersalah karena ingatan tentang mobil itu terguling muncul setiap kali aku memejamkan mata. Kalau seandainya Mas Ren enggak cegah, aku yang ada di dalam mobil itu."

Enggak Sengaja Jatuh Cinta, lagi!Where stories live. Discover now