Bab 9

273 68 2
                                    


Bab 9


Sejak mereka bertiga duduk makan malam, Lala tidak berhenti menceritakan pertemuannya dengan seseorang yang gadis itu ikutin di sosial media pada Fitra. Gigih yang malam itu menjadi pendengar, hanya mengangguk dan tersenyum setiap kali Lala melihat ke arahnya. Anak gadis berusia sepuluh tahun yang lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dapur mencoba berbagai macam resep tersebut menjadi kesayangan semua orang sejak kehadirannya.

Hingga saat ini, setiap kali memandang keceriaan Lala, hati Gigih terasa teriris mengingat pilihan Lita. Setelah malam itu kakaknya membuat semua orang terkejut dengan kepergiannya, di pagi hari rumah mereka kacau karena tak seorangpun mengetahui keberadaan perempuan yang muncul setelah menghilang tanpa kabar. Sejak hari itu, Gigih kembali kehilangan kakak perempuannya.

Hidupnya berubah. Gigih tak bisa lagi memikirkan tentang dirinya sendiri. Dalam waktu sekejap, ia, ibunya dan juga Fitra hanya memikirkan tentang Lala. Mereka sepakat untuk tidak mencari keberadaan Lita, meski hati terasa berat untuk melakukannya.

Tidak ada yang memintanya untuk mengambil alih tugas orang tua untuk Lala. Namun, sejak malam itu, Gigih menasbihkan dirinya sebagai satu-satunya orang tua gadis kecil yang tak merasakan kasih sayang perempuan yang melahirkannya. Dibantu ibunya dan Fitra, ia mengasuh Lala dengan semua kemampuan yang ia punya. Memenuhi semua kebutuhannya. Menyayanginya. Melindunginya. Menjaga layaknya orang tua kepada anaknya sendiri.

Namun, hatinya selalu kembali sedih setiap kali Lala menanyakan tentang ibunya. Meskipun sejak pertama kali, tak seorangpun yang mengatakan kebohongan pada gadis yang selalu terlihat tegar meski setiap kali melihat foto ibunya di galerry wall di rumah mereka, mendung tampak menggelayut di matanya.

Kehadiran Lala di hatinya bersamaan dengan kehilangan yang ia rasakan. Semenjak kehadiran Lala, Gigih menutup semua komunikasinya dengan Yanti. Ia berhenti datang ke kampus. Telepon dan pesan yang Yanti kirim pun tak pernah dibukanya, dan sebulan setelah hari itu, Gigih memblokir nomor Yanti. Ia tak mampu terus berada di samping Yanti dan menyeret perempuan itu ke dalam pusara kehidupannya. Dimata Gigih, Yanti memiliki banyak hal yang bisa diraihnya, dan ia tak ingin jadi penghalang.

"Boleh, ya, Pa?" Suara Lala membuyarkan lamunannya. "Papa tadi udah bilang boleh, kan!" Bingung dengan pertanyaan Lala, Gigih hanya bisa mengangguk tanpa kata dan meninggalkan Lala bersama Fitra.

Gigih tak bisa menghilangkan bayangan Yanti setiap kali mengingat tentang hari kedatangan kakaknya bersama Lala. Meskipun sepuluh tahun berselang, perasaan bersalah itu kerap muncul. Walaupun sejak beberapa tahun lalu, sesekali ada perempuan yang datang mengisi hari-harinya, tapi wajah dengan mata sipit itu melekat kuat di hatinya.

Beberapa hari berselang sejak pertemuan terakhir mereka berdua, dan tak ada pesan ataupun telepon dari Yanti. Gigih pun harus menahan diri untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu, karena tak ingin membuat perempuan yang saat ini terlihat semakin menarik, menjauh darinya. Tanpa terasa, jarinya kembali membuka kumpulan foto yang masih tersimpan rapi di penyimpanannya, dan wajah Yanti memenuhi layar ponselnya.

"Kenapa senyum-senyum enggak jelas, gitu? Dari tadi diem aja, ujug-ujug mesam mesem koyo wong edan, Mas!" bentakan Fitra mmebuyarkan wajah Yanti dipikirannya.

Enggak Sengaja Jatuh Cinta, lagi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang