Sparks - Coldplay

2 2 0
                                    

Ohiya, aku jadi lupa menceritakan buku ungu yang ku beli itu. Jadi, setelah aku mengisi sedikit demi sedikit tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku ingin tulis.

Tidak menyangka isinya 90% mengenai Khadafi. Sebenarnya aku tak ada niat sama sekali ingin menulis mengenainya. Aku benar-benar menafsirkan bagaimana aku merasakan segala hal tentangnya, ternyata hampir semua, terikat dengan Khadafi Saputra.

Kata kata sederhana yang kususun kala itu cukup indah, aku sendiri tak bosan-bosan untuk membacanya sehari tiga kali. Meski belum penuh, aku sering kali membawanya ke sekolah, dan banyak juga temanku yang ingin membaca.

Kenyataan bahwa aku mencintai Khadafi lambat laun semakin banyak yang mengetahui kerana buku kecil itu.

Aku akui tak dapat ku hitung berapa temanku yang geram akan perasaan diriku saat aku lontarkan melalui secarik kertas yang ditumbuk menjadi buku.

Setiap aku menulis, aku selalu berucap. "Gimana ya kalau Khadafi membaca ini."

Tak jarang juga aku membayangkan kalau buku itu bisa ada di tangannya, entah tak sengaja atau melalui siapa saja.

Sampai dimana buku itu hampir saja penuh, satu temanku, yang bernama. Sebentar aku lupa namanya, pokoknya dia dulu di panggil Beby, orangnya cantik dan baik. Mereka dulu bersekolah di SMP yang sama, jadi Beby ini adik kelas Khadafi saat SMP. Bisa dibilang juga, ia cukup dekat dengan Khadafi atau temannya.

Beby menawari, "Mau engga kalo aku yang kasih ke Khadafi?"

Aku diam, tak begitu menyetujui. Namun sesaat anganku yang biasa aku gambar dalam algoritma hidup untuk mencintai Khadafi muncul.

"Emang ga apa apa ya kalo di kasih ke dia?" Aku memastikan.

Walau katanya, kabar ia putus dengan kekasihnya telah bersuara lama. Aku tak terlalu excited tentang bagaimana ia mengakhiri hubungan istimewanya, bagaimanapun juga ia putus hubungan, agaknya aku tak akan menjadi pacarnya. Kan aku tak mau pacaran juga.

"Ya ga apa apa, sebentar lagi kan kelas 12 lulus. Dafi mau pulang loh ke jakarta, kan setidaknya dia tahu kamu mencintainya."

Ucapan Beby mendominasi segalanya dalam otakku. Kerjasama yang dibuatnya dengan hati lebih di sinkronkan dan diarahkan khusus untuk memutuskan tindakan ini akan di ambil atau tidak.

Walau aku juga tak mengharapkan apapun, aku hanya ingin itu diterima. Bukankah sangat lebih baik kalau setidaknya ia mengetahuiku? Meski tak tahu wujudku.

Perlu kalian ketahui, cerita dimana aku berujar sering bertemu dengannya, berpapasan, dan bagaimana ia tersenyum padaku setiap saat itu entah karena apa aku juga tak paham sampai sekarang. Yang aku percaya hanya ia tak mengenaliku, karena waktu itu masih pandemi, masker terangkring rapi di wajahku kala itu, setiap hari. Jadi bisa dikatakan kalau Khadafi tak pernah menemuiku tanpa aku yang tak nengenakan masker. Jadi ia tak tahu aku. Intinya begitu.

Berfikir cukup lama, aku setuju. Beby juga agaknya sangat senang mengetahui aku akan memberikan buku ini.

Disusun rapi kapan akan memberikannya, hari itu tiba. Rencananya malam akan Beby berikan.

Namun sore hari, ada acara kecil dadakan reuni orang-orang yang kala itu dihukum secara bersamaan karena melakukan hal fatal. Kami, orang orang yang diskors diwaktu yang sama. Berkumpul untuk menikmati sajian makan sore, kami ada enam orang. Empat diantaranya kakak kelas kami, dan aku dan Beby yang hanya menginjak kelas 11.

Disitu, salah satu dari kami, temanku juga, namanya Rina. (Aku pakai nama samaran kalau ini, soalnya ga berani. Hehe) / Buat mba yang aku sebutin ini maafin aku ya, kita damai. hehehehe.

KHADAFIМесто, где живут истории. Откройте их для себя