Bab 8

0 0 0
                                    

.
.
.

Wilza mengendarai motornya dengan pelan menuju ke arah rumahnya, hari ini, pemuda tinggi itu pulang lebih lambat dari biasanya karena harus melakukan ekskul futsal yang di ikutinya.

15 menit kemudian, Wilza sampai di gerbang rumahnya, tapi ada yang menarik perhatiannya saat dia melihat ke arah gerbang rumah tetangganya, Aira.

Terlihat di sana, Aira sedang tertawa bahagia dengan seorang pemuda berkacamata, setidaknya itu lah yang di tangkap oleh pemuda tinggi itu.

"Mau apa sih dia?" ucapnya Dingin.

Wilza memutuskan untuk masuk kerumah nya dengan mood yang berantakan, sebenarnya kalau saja bisa pemuda itu ingin mendatangi dan memisahkan keduanya agar tidak terlalu akrab, tapi dia juga berfikir apa hak nya melarang, Aira dekat dengan pemuda lain?

"Eh, Ari udah pulang? Hari ini futsal makanya telat?" tanya Aura pada putranya itu.

"Iya, Bun" jawab Wilza sembari mencium tangan bundanya.

"Capek bnget ya? Kusut banget mukanya" tanya Aura lagi karena melihat wajah putranya yang tak seperti biasanya.

"Iya, Bunda. Ari ke kamar dulu ya?" ujar Wilza dan melangkah menuju ke kamarnya tanpa mendengar jawaban Aura.

"Oh, iya. Jangan lupa makan ya sayang!! Udah Bunda siapin!" seru Aura saat Wilza sudah ingin menutup pintu kamarnya.

Wilza menghempaskan tumbuhnya ke atas kasur.

"Aaaahhhh sadar, Wil" pemuda itu mengacak-acak rambut frustasi. Akhirnya setelah lama berdiam diri, Wilza memutuskan untuk mandi.

Sedangkan di rumah sebelah.

"Yang bener?" tanya Aira menahan tawa.

"Iya, bener. Gua juga nggak tau kalau bakal jadi kayak gitu. Dan itu berhasil buat orang-orang di klub musik tertawa" ujar pemuda berkacamata itu, Aidan.

"Ya, lu sih ada ada aja. Lain kali kalau mau berangkat di cek semuanya udah bener atau belum, kalau gini kan jadi malu-malu in diri sendiri " ucap Aira masih dengan tawanya.

"Kan gua kesiangan. Buru-buru. Jadi ya udah kayak gitu jadinya"

"Sakit perut gua astaga" ucap Aira sembari memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

Aidan tersenyum melihat tawa, Aira. Dia senang menghabiskan waktu bersama gadis cantik itu.

"Btw, makasih udah mau nemenin gua hari ini. Ya, walaupun lu nggak jadi masuk ekskul tapi kita masih bisa berteman kan?" tanya Aidan pada Aira.

"Tentu. Nggak usah khawatir. Gua juga seneng bisa nemenin lu, gua jadi dapat temen-temen baru" jawab Aira tersenyum.

"Ya, udah gua balik deh. Kapan-kapan gua ajak lu main lagi kesana" ujar Aidan pada Aira.

"Oke siap. Di tunggu" jawab Aira. Setelah Aidan  pergi dari pekarangan rumah Aira, gadis itu pun melangkah masuk ke dalam rumahnya.

####

Wilza dan Aura sedang makan malam berdua dengan. Sedari tadi Aura melihat putranya itu tidak bersemangat sama sekali, tidak seperti biasanya.

"Ri! Kamu ada masalah di sekolah?" tanya Aura yang tak tahan melihat putranya lesu seperti itu.

"Enggak, Bun" jawab Wilza seadanya.

"Terus kenapa? Dari tadi nggak semangat begini? Atau kamu sakit ya?" tanya Aira khawatir langsung mendekati putranya dan mengecek jidat pemuda itu.

"Ari baik-baik aja Bunda. Cuma lagi nggak mood aja" jelas Wilza yang tak mau membuat bundanya khawatir.

"Kamu kalau mau cerita apa-apa bisa ke bunda loh, Ri. Jangan dipendam sendiri" ucap Aura menatap Putra tunggalnya itu.

Wilza tersenyum sembari mencium pipi bundanya.

"Makan dulu abisin bunda. Keburu dingin" ucap Wilza mengalihkan topik. Aura menghela nafas dan kembali duduk untuk menyelesaikan makan malam mereka.

20 menit kemudian

Aura sedang bersantai di sofa sembari menonton tayangan film Korea, tak lama datang Wilza yang langsung menidurkan kepalanya di paha Bundanya.

"Ehh, Tumben manja. Kenapa Hem?" tanya Aura tersenyum sembari mengelus lembut rambut Wilza yang membuat pemuda itu tenang seketika.

Inilah yang dia butuhkan. Kehangatan bundanya dan kasih sayang bundanya. Saat dirinya sedang lelah, marah, gelisah hanya belaian sayang bundanya yang membuatnya tenang.

"Bunda" panggil Pemuda itu lembut.

"Hem?"

"Bunda, kalau ... Kalau Ari suka sama seseorang, bunda marah nggak?" tanya Wilza sembari melihat wajah bundanya dari bawah.

"Nggak. Kamu kan udah dewasa. Wajar kalau suka sama orang. Yang nggak wajar kalo kamu suka nya sama cowo juga" ucap Aura sembari terkekeh kecil.

"Ya, enggak Bun. Ari masih normal" jawab Wilza sedikit kesal.

"Iya, iya. Terus ... Udah kasih tau ke orang yang kamu suka?" Aura merasakan gelengan kepala putranya di pahanya.

"Nggak berani kamu?" tanya Aura kemudian.

"Bukan nggak berani Bunda. Tapi ... Lebih ke menjaga" jawab Wilza pada Bundanya. Aura mengangguk mengerti.

"Suka boleh Ri. Tapi ingat, kalau kamu suka sama dia tapi kamu punya rasa ingin memilikinya lebih untuk dirimu sendiri, berarti rasa suka kamu bukan lah cinta melainkan obsesi" ucap Aura tersenyum pada Wilza.

"Jadi, Ari nggak boleh punya rasa ingin memilikinya untuk diri Ari sendiri? Tapi kenapa?"

Aura tersenyum. "Karena Dia tetap milik Tuhannya dan dirinya sendiri. Kita nggak bisa memaksakan itu. Kalau misalnya nanti dia tidak memiliki rasa yang sama dengan Ari, apakah Ari akan tetap memaksakan dia untuk menjadi milik Ari?"

"Enggak. Ari nggak mungkin maksa dia, yang ada nanti dia nggak bahagia" jawab pemuda itu.

"Nah, jadi suka dan cintai dia sewajarnya. Urusan apakah dia nanti berjodoh dengan Ari atau tidak itu urusan takdir"

Wilza tersenyum kepada bundanya. Ya, dia lega setelah mengungkapkan isi hati dan pikirannya pada bundanya. Sebenernya Wilza bukan tidak ingin bercerita tapi dia hanya belum siap dan sedikit malu, itu saja alasannya. Tapi ternyata justru bercerita dengan orang yang lebih pengalaman itu melegakan.

"Makasih ya, Bundanya Ari. Sayang bunda" ucap pemuda itu dan mencium tangan bundanya.

"Sama-sama sayang. Gimana? Udah lega kan?" tanya Aura pada putranya.

Wilza mengangguk sambil tersenyum.

"Nah, gini kan makin ganteng anak bunda"

"Emang ganteng kok" jawab Wilza narsis.

"Iya-iya. Paling ganteng Se kabupaten" ucap Aura dan membuat mereka tertawa bersama.

"Iya dong, gen siapa dulu?"

"Bunda sama Ayah gitu"

Mereka kembali tertawa bersama. Walaupun mereka tinggal berdua, tapi kehangatan saat mereka masih lengkap itu selalu terjaga.

"Ri" pangg Aura sembari melihat kebawah dimana putranya itu masih meletakkan kepalanya di pahanya.

"Iya, Bun?"

"Yang kamu suka Aira, kan?" tanya Aura yang membuat Wilza reflek duduk. Pemuda itu menatap bundanya dan segera bangun.

"Ari ... Kekamar dulu bunda" ucapnya dan berlalu pergi dari ruang tv.

Aura tertawa melihat putranya salah tingkah dan gugup seperti itu. Sikap yang sangat jarang Wilza tunjukan.

.
.
.

"Kehangatan dan kenyaman yang sesungguhnya adalah pelukan dan kasih sayang bunda"

Bersambung ....

22 Februari 2024

SEBUAH PILIHAN ( END )Donde viven las historias. Descúbrelo ahora