Episode 34

49 44 63
                                    

Episode 34

Debaran jantung tak bisa ditahankan setiap kali dekat dengan pria berambut emas panjang, tak peduli pria tersebut berpenampilan rapi atau dalam keadaan sakit.

Angin bertiup sepoi mengiringi langkah kaki sepasang calon pengantin menuju kediamannya, pandangan tertunduk tak berani mendongak bahkan untuk menatap punggung tegap di hadapannya.

"Yang Mulia, besok adalah hari pernikahan Anda. Apakah Anda ingin mengundurnya? Mengingat kondisi tubuh Anda dalam keadaan tidak sehat."

Mahesa berbicara sedikit pelan, ia masih memegangi lengan sang Pangeran karena khawatir kalau majikannya itu tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh hingga terjatuh.

Debaran jantung Arsy semakin kencang menunggu jawaban dari calon Suaminya, ada perasaan takut dan cemas bahkan tidak rela kalau pernikahan harus diundur, bukan keinginan untuk bersikap egois tapi perasaan dalam hati tidak dapat dikendalikan.

"Kenapa harus diundur?"

Zain menanggapi ucapan Mahesa dengan pandangan mata penuh tanda tanya, sedikit menoleh ke arah sang pengawal pribadi.

Tidak ada jawaban dari Mahesa, pria itu sudah menjelaskan alasannya ketika menanyakan apakah pernikahan akan diundur atau tidak.

"Apakah kamu merasa aku tidak mampu menggendongnya setelah upacara pernikahan selesai?"

Zain kembali bertanya.

Nafas Arsy terasa tercekat di tenggorokan membayangkan dirinya akan berada di gendongan pria yang disukai itu, tidak dapat dibayangkan betapa bahagia nanti saat Zain menggendong dirinya di hadapan banyak orang.

Mahesa sedikit tercengang mendengar pertanyaan sang Pangeran, mana mungkin dia berani meragukan kemampuan majikannya tersebut tetapi sekarang kondisi pria itu dalam keadaan tidak baik.

"Maaf, Yang Mulia. Bukan seperti itu maksud saya, tapi pasti tubuh pelayan Arsy bukan seringan kapas. Kondisi tubuh Yang Mulia dalam keadaan tidak sehat."

Arsy cemberut mendengar ucapan Mahesa, rasanya ia ingin merobek mulut pria tersebut tapi tidak ingin dilakukan selagi Zain masih ada bersama mereka.

"Kau tidak perlu membantahku! Besok aku akan menikah, jangan dibahas lagi." Zain mendelik menoleh pada pengawal pribadinya tersebut.

Mahesa terpaksa mengangguk, ia sedikit melirik ke belakang, terlihat pelayan cantik tersebut menyeringai sinis.

Mahesa menanggapi seringai tersebut dengan delikan galak.

Langkah kaki mereka telah sampai di kamar sang Pangeran, Mahesa maju selangkah membukakan pintu untuk sang majikan dan mempersilahkan pria berambut emas panjang itu memasuki kamar.

Arsy mengangkat tangan hendak membantu Zain berbaring di tempat tidur namun tangan itu hanya menggantung di udara saat Zain tidak berniat berbaring, pria itu duduk bersilah di atas tempat tidur kemudian memejamkan matanya dan menaruh telapak tangan di atas paha.

Pandangan Arsy tidak sedikit pun beralih dari paras rupawan sang Pangeran, tubuh bagaikan dipaku tanpa sedikitpun bisa digerakkan meski hanya satu inci dari tempat berdiri.

Mahesa mengerutkan kening melihat pelayan cantik bergaun putih itu berdiri bagaikan patung, bibir setengah terbuka dengan tatapan mata mengunci sang Pangeran Mahkota.

"Apa yang dilakukan wanita ini? Kenapa sebegitunya dia menatap Pangeran?"

Sedetik kemudian, Mahesa berjalan mendekati Arsy.

"Nona, Pangeran sedang meditasi. Lebih baik, Nona keluar dulu."

Bagaikan orang tuli saat Mahesa berbicara, dunia pelayan cantik itu seakan terseret ke dalam alam keindahan dan keanggunan sang Pangeran, tanpa sadar bibir ranum itu melengkung ke atas.

Mahesa menghela nafas kesal dengan sikap Arsy, tanpa bertanya ia langsung menarik lengan pelayan cantik itu keluar dari kamar Zain.

Di depan pintu, Arsy menatap Mahesa kesal, ia ingin kembali masuk ke dalam kamar Zain namun tangan kekar Mahesa segera menariknya kembali.

Netra kecoklatan Mahesa menatap galak pelayan cantik itu.

"Jangan masuk!"

"Tapi aku hanya ingin bersama calon Suamiku."

Arsy sengaja menekankan kata calon suami untuk membuat Mahesa berhenti menghalanginya.

Tatapan Mahesa semakin tajam, bagai mata elang menatap mangsa, tiada sedikitpun senyuman di bibirnya selain rahang yang mengeras.

"Nona, kau belum menjadi Permaisuri Pangeran, jadi harap menjaga sikap!"

Arsy memalingkan muka kesal, tapi ia tahu bahwa membantah dan bersikeras tetap tinggal juga tidak akan baik.

"Baik, aku pergi sekarang."

Langkah kaki penuh dengan hentakan, perasaan kesal bercampur kecewa memehuni seluruh dada pelayan cantik itu.

Mahesa tersenyum tipis melihat sikap pelayan tersebut, entah kenapa ia merasa kalau gadis itu sangat imut, segerap ditepis pikiran aneh itu karena bagaimana pun juga Arsy adalah calon Permaisuri Pangeran Mahkota.

Mahesa memutar tubuh memunggungi pintu kamar Zain, tatapan matanya mengawasi sekitar dengan sikap siap sempurna dia menjaga agar tidak ada yang mengganggu meditasi majikannya.

Sementara itu…

Arsy membuka pintu kamar dengan kasar kemudian menutup kembali pintu itu dengan keras hingga menimbulkan suara gebrakan kuat.

Ezra yang sedang membereskan lemari pakaian terkejut mendengar suara gebrakan tersebut, ia memutar tubuhnya menyudahi kegiatan merapikan lemari kemudian berjalan ke arah pintu.

Terlihat Arsy berdiri di depan pintu dengan ekspresi keruh seperti balon siap meletus, langkah kaki mungil itu diseret mendekati sahabat tersebut, ditatapnya sosok pelayan cantik itu penuh tanda tanya.

"Ada apa denganmu? Bukankah kau pergi bersama Pangeran?"

Arsy mengangguk, ia berjalan melewati Ezra menuju meja berukuran kecil berbentuk bulat, didudukkan tubuh di atas meja tersebut.

Melihat Arsy tidak semangat, Ezra mengikuti gadis itu dan duduk di kursi sebelah sahabatnya.

Ezra sedikit memiringkan kepala memandang Arsy.

"Kau nampak kesal?"

"Aku sangat jengkel pada Mahesa, dia seenaknya saja menarik tanganku dari kamar Pangeran Mahkota." Dengan nada marah pelayan cantik itu mulai menjelaskan.

Ezra semakin penasaran dengan kelanjutan penjelasan Arsy, ia semakin menggeser posisi duduk agar lebih dekat dengan pelayan cantik itu.

"Kenapa kau bisa sampai ke kamar Pangeran Mahkota? Bukankah kalian jalan-jalan berdua di pasar?"

Mata Arsy menjuling mendengar ucapan sahabatnya tersebut.

"Apakah kau salah dengar? Aku jalan-jalan ke pasar bukan hanya bersama Pangeran Mahkota, tetapi juga bersama Putri Ne Shu dan  Mahesa."

"Lalu? Kenapa kau kembali dengan raut wajah seperti balon mau meletus begitu?" Tanya Ezra penasaran.

"Bukankah aku sudah menjelaskan alasannya?! Kenapa kau masih juga tanya, sudah sekarang aku mau mandi. Besok aku dan Pangeran akan menikah, aku tidak akan membiarkan siapapun menindas kita lagi."

Arsy bangkit dari tempat duduknya, tatapan mata itu untuk sepersekian detik berubah menjadi merah menyala bagai warna darah.

Ezra terkejut dan shock melihat tatapan mata penuh kebencian dengan iris merah menyala.

"Ar- Arsy, kenapa warna mata mu aneh?"

Arsy menoleh pada Ezra, warna matanya telah kembali normal yaitu kecoklatan, bahkan tatapan mata itu tidak lagi penuh kebencian.

Ia menatap sahabatnya itu penuh tanda tanya.

"Ezra, tadi kau bilang apa?"

Ezra menggelengkan kepala ketika melihat warna bola mata sahabatnya itu kembali normal, ia mengalihkan pandangan ke tempat lain dengan hati berkata,"Apakah tadi aku salah lihat? Kenapa sekarang warna mata Arsy kembali normal?"

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang