Episode 48

44 23 16
                                    

Peperangan masih berkecamuk antara Bulan dan Hundan, Bulan merasa lega karena Zein selalu mampu memukul mundur pasukan Penjajah Hundan, namun Satria khawatir dengan kondisi Zein semakin melemah setiap kali pria itu menggunakan kekuatan internalnya.

Sementara di Bintang Tenggara Raja Jaya Negara memerintahkan Arya Anggara membawa 100 ribu pasukan terbaik untuk pergi ke Bulan melindungi Zein, ia sesungguhnya tidak terlalu peduli dengan perang antara Hundan dan Bulan, tapi tidak akan membiarkan siapapun melakukan Putra tercintanya.

Kabar pasukan bantuan dari Bintang Tenggara itu terdengar di telinga Menteri Ka Le Nan, ia adalah seorang Menteri Hundan apapun perintah Ka Le Nan akan selalu dituruti.

"Brengsek! Ternyata Bintang Tenggara sudah tidak memandang Kerajaan Diyu, mereka tidak peduli kalau kemungkinan besar dengan mengirim pasukan perang ke Bulan akan terjadi perang antara Hundan dan Bintang Tenggara." Ka Le Nan sangat murka, ia tahu bahwa di Asia Tenggara kerajaan Bintang Tenggara sangat dihormati dan disegani, karena kekuatan tempur dan kemakmuran kerajaan Bintang Tenggara terkenal di mancanegara.

"Tuan, bagaimana kalau saya membawa pasukan ke Bintang Tenggara? Saya akan pastikan membunuh semua rakyat kecil yang ada di sana." Ku Ba Ngan seorang Jenderal pasukan khusus Hundan memberikan usulan.

"Tidak sekarang, kalau kita menyerang Binatang Tenggara saat ini, Pangeran Mahkota dengan kekuatan aneh itu akan membumi hanguskan Hundan. Tong Sam Pah sudah dua kali dikalahkan, lebih baik kau pergi ke Bintang Tenggara untuk bernegosiasi dengan Jaya Negara. Berjanjilah untuk melindungi Pangeran Zein, aku yakin mereka akan membatalkan rencana mengirimkan pasukan pelindung," balas Ka Le Nan.

"Baik, saya akan pergi bersama beberapa orang untuk membawa pesan damai ini," jawab Ku Ba Ngan.

Zein Zulkarnain duduk di depan kamp tentara sambil mengelap pedang Naga Langit, beberapa prajurit berlalu lalang di depannya tak dihiraukan olehnya.

Seminggu sudah ia berada di Bulan, tak terasa waktu berlalu dengan cepat, banyak nyawa melayang di tangannya.

"Arsy, tidak sengaja sudah seminggu kita berpisah. Bagaimana kabarmu sekarang? Sampai mana perjalanan mu?"

Kereta kuda berjalan dengan cepat, tanpa terasa seminggu telah berlalu, rindu dan cemburu selalu menghantui.

"Apakah sudah dekat?" tanya Arsy tidak sabar.

"Kita sudah berada di depan gerbang Negara Bulan," jawab Mahesa.

"Saya akan mengirimkan surat pada Pangeran Mahkota." Ia melanjutkan ucapannya.

Bagaikan kupu-kupu beterbangan di dalam hati, bahagia menelusup ke dalam kalbu.

"Segeralah lakukan, aku tidak sabar bertemu Suamiku," balas Arsy dengan senyum merekah.

Mahesa memanggil merpati pengantar surat, kemudian mengirimkan surat kepada Zein.

Kamp tentara Bulan...

Seekor merpati putih terbang kemudian mendarat di depan sang Pangeran Mahkota, Pangeran tersebut mengambil merpati pos tersebut lalu mengambil gulungan kertas kecil berisi surat.

Bibi tersenyum tipis membaca isi pesan tersebut, ia segera bangkit dari tempat duduknya lalu memasukkan pedang Naga Langit ke dalam sarungnya.

"Aku tidak akan membiarkan kalian dihadang oleh para penjahat itu."

Di dalam tenda, tak sengaja Satria mendengar ucapan Zein, ia pun menyibak tirai tenda lalu berjalan menghampiri sahabatnya tersebut.

"Siapa yang kau maksud?"

Zein menoleh sejenak pada Satria kemudian kembali memandang lurus ke depan dan menjawab,"Istri bersama adik dan pengawal khusus milikku."

"Mereka datang juga?" Satria bertanya dengan nada tidak percaya, mereka sedang berperang tapi pria berambut emas panjang itu malah membawa Permaisurinya kemari.

"Tentu, Permaisuri ku orang yang setia. Dia akan mengikuti ku kemanapun aku pergi, ke medan perang pun akan ikut," jawab Zein angkuh.

"Artinya dia seorang Srikandi yang hebat."Satria mengangguk.

"Permaisuri ku tak bisa beladiri, tapi aku akan selalu melindunginya. Sudahlah, aku harus pergi. Beberapa hari lagi pasukan khusus akan datang, mereka akan dipimpin Jenderal Arya Anggara. Kau sambutlah mereka dengan hangat."Zein mengalihkan perhatian pada Satria.

"Aku masih ada urusan, mereka akan menggantikan ku membantu kalian."

Satria Dirgantara Mahardika tersenyum tulus."Aku tahu, kalau aku sudah memenangkan peperangan ini, aku akan datang ke Bintang Tenggara dan meminang Putri Ne Shu Adikmu."

Zein menyeringai tipis, bagaimana caranya Satria meminang Ne Shu kalau gadis itu justru tertarik pada dirinya.

"Ada apa?" Satria merasa ada yang tidak beres dengan senyum Zein.

"Jangan kau bilang kalau Ne Shu hingga sekarang masih ingin menjadi Istrimu?"

"Sebelum aku berangkat ke sini, Ne Shu bahkan ingin menikah denganku. Tapi dia Adikku, aku tidak mungkin menjadikan Istri ku. Satria, kau satu-satunya sahabatku, aku percaya kau mampu mencintai Adikku," jawab Zein.

"Tentu saja, kau jangan khawatir. Aku dan seluruh orang Bulan akan selalu berdoa untuk mu dan Bintang Tenggara, aku yakin kau mampu menemukan pusaka Rajawali itu." Satria kembali berbicara.

"Terimakasih, kalau begitu aku pamit." Zein merangkul sahabatnya lalu menepuk bahunya setelah itu menaiki kuda yang telah disiapkan oleh Satria setelah pria itu datang ke Bulan.

Satria tersenyum bangga menatap punggung Zein semakin menjauh."Meski kau menyebalkan, tapi kaulah sahabatku ku yang paling setia dari negara orang."

Derap langkah kaki kuda terdengar berlari menuju perbatasan, di samping jalan terdapat berbagai macam jenis pepohonan.

Zein terus memacu kuda miliknya, hingga ia melihat sebuah kereta kuda berhenti di depan pintu gerbang tanpa ada niat masuk.

Di depan pintu gerbang itu terdapat beberapa pengawal kerajaan Hundan, mereka bersenjata lengkap pedang dengan panah, ada juga yang memegang tombak.

Iris safir sang Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara itu menggelap, tidak suka melihat perbatasan antara Bulan dan kerajaan lain justru dijaga oleh pasukan penjajah.

Kuda dipacu dengan kecepatan tinggi, berlari kencang menabrak para penjaja gerbang.

Zein menghentikan lari kuda, ia menoleh kebelakang dengan tatapan sinis kemudian berkata,"Gerbang ini tidak pantas dijaga oleh mahluk kotor seperti kalian."

Tidak jauh dari pintu gerbang, Mahesa, Afzam dan Arsy menatap pria berambut emas panjang itu tanpa berkedip.

Mereka seakan tidak percaya melihat Zein begitu beringas menabrak manusia hingga manusia tersebut terlempar jauh.

"Mahesa, apakah Suami ku begitu kejam?" Arsy seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat.

"Kakak pertama memang seperti itu pada musuh, dia akan membunuh tanpa ampun."Afzam tersenyum tipis melihat pemandangan di depannya, entah kenapa ia merasa senang dan berharap kalau Permaisuri cantik itu akan benci pada Zein.

"Pangeran tidak akan pernah melakukan sesuatu tanpa alasan, saya yakin kalau perbuatan para prajurit penjaga itu awalnya tidak benar." Mahesa menanggapi ucapan Afzam, ia menatap junjungannya dengan bangga.

Arsy memperhatikan kedua pria tersebut, ia merasa kedua pria itu sedang bersaing mendapatkan kepercayaan dari dirinya.

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Where stories live. Discover now