2. Winterfest

57 30 74
                                    

*Kalau nemu kalimat typo kasih tau lewat komen ya #Authorjugamanusia , vote juga kalau lu suka cerita ini

----------------------

Braak!

Buku setebal kayu Australian buloke jatuh ke lantai dari rak buku, tebal sekali sampai Jean berusah payah mengangkut kamus bahasa Inggris itu  ke meja kecil khusus kamus-kamus bahasa Inggris edisi terbaru. Sudah hal lumrah bagi pelayan toko seperti dirinya bertugas membawa buku-buku permintaan pelanggan hingga mengatur lagi letak buku ke tempat semula usai disimpan sana-sini oleh pelanggan sialan yang tidak bertanggungjawab.

Untung sampulnya tipis jadi tidak mudah retak, Jean meletakkan kamus ke atas meja lalu merapikan tumpukan buku agar saling menjajar.

"Jean," wanita berambut bob pendek menghampirinya, "bisa minta tolong carikan rekomendasi novel fantasi terbaru untuk pemuda yang pakai mantel hitam itu? aku mau ke gudang sebentar."

Jean bergegas ke sebuah rak buku novel yang berseberangan dengan kaca etalase. Seorang laki-laki seumuran menelusuri deretan novel-novel terjemahan, poni pendeknya disingkap sedikit nyaris mengenai telinga dengan balutan coklat gelap memenuhi keseluruhan rambut. Wajahnya menawan memiliki tahi lalat kecil di samping pipi tampak tidak asing dimata Jean.

Eugene kah itu, sudah lama dia tidak pernah kemari sejak lama pergi ke Kota Hill Bright selama tiga bulan. Jean bersembunyi dibalik rak dan membantu mencari novel di rak genre berbeda.

Ia masih ingat Eugene menyukai novel bertema perang sihir yang akhir-akhir ini sedang dibicarakan oleh komunitas literasi, tahun ini ada novel fantasi terbaru asal Rusia berjudul Satu Bumi Dua Dunia. Ceritanya tentang dunia terbelah antara dunia realitas dan dunia sihir, dunia sihir diciptakan seorang ilmuwan tersohor pengidap skizofrenia setelah menciptakan ramuan tiga elemen bumi, kurang lebih seperti itu yang pernah baca sinopsisnya.

Jean mencari novel tersebut berada di rak setinggi -tinggi orang dewasa sekitar 180 cm, ia meraih buku bersampul belahan bumi berisi kota metropolitan bertabur aurora ungu, kemudian menghampiri Eugene yang tampak bimbang menentukan novel yang menarik.

"Lagi cari ini?" Jean menyodorkan novel ke Eugene, dia menoleh melihat teman lamanya itu berdiri di belakang.Dia menerima Novel Satu Bumi Dua Dunia yang kebetulan sedang mencari novel fantasi terbaru, mulut Eugene melebar melihat Jean yang kini bekerja di toko buku.

"Jean."

"Kalau mau cari novel ada di pojok kiri depan ya, disini khusus tempat buku biografi." Jean menahan tertawa melihat tingkah Eugene selalu kesulitan mencari novel, ternyata dia tidak melihat papan nama blok buku yang tertempel di atas rak.

"Hahaha... maaf tidak lihat tanda papannya, sudah lama aku tidak kesini lagi." Laki-laki itu menatap novel yang selama ini ia cari sejak peluncuran buku terjemahan seminggu yang lalu.

"Kau aja yang jarang ke sini lagi, tidak kangen apa?" Jean kesal melihat temannya.

"Aku masih merindukanmu, kok. Penampilanmu tidak pernah berubah ya." Ucap Eugene.

Iyakah? akhir-akhir ini badanku sedikit naik sejak menyingkir kecemasanku dengan makan banyak. Jean tersenyum melihat pinggangnya sedikit melebar. Habis kerja aku butuh jalan-jalan lagi.

"Ramai sekali ya tokonya," Eugene menatap sekeliling penuh buku, jika dilihat-lihat hanya puluhan pengunjung saja yang berdatangan ke toko buku seluas lapangan bola dan memiliki  lantai empat, terakhir baru dipugar lima bulan yang lalu hanya menambah luas ruangan dan mengganti dekorasi langit-langit hingga wallpaper bertema luar angkasa.

Eugene menatapku, "Aku senang dengan kehidupan barumu sekarang," dia menghirup aroma khas buku. "Nanti malam mau pergi ke Winterfest White Carnaval nggak?"

"Kebetulan aku mau kesana habis pulang kerja," Jean mendengar panggilan dari salah satu rekannya dari depan pintu gudang belakang. 

"Aku harus kembali bekerja, sampai jumpa di sana." Jean berbalik meninggalkan Eugene di depan rak buku, sesekali melempar senyum mengisyaratkan menerima ajakan bermain di karnaval nanti.

***

Tranggg!

"Kurang keras."

Eugene memantul bola kecil ke atas berulang-ulang sebelum melempar ke arah enam kaleng kosong bertumpuk di depannya, sudah empat kali dia berusaha melempar kaleng-kaleng di depannya tapi hanya satu kaleng saja yang berhasil jatuh tergeletak di rumput basah. Laki-laki itu fokus membidik lemparan satu lagi hingga bola kasti itu berhasil menabrak tiga kaleng hingga jatuh.

"Sini biar aku saja." Jean menyingkir Eugene sedikit ingin melempar bola kaleng, meminta penjaga stand untuk menyusun tujuh kaleng lagi.

Jean memandangi tumpukan kaleng yang berada di depannya. Wajahnya kosentrasi mengancang-ancang titik tengah gunung kaleng. Jean melempar bola ke kaleng dengan tepat hingga meruntuhkan semua kaleng ke tanah tanpa tersisa.

"Nice." Eugene terpukau sambil bertepuk tangan.

Penjaga stand itu memberi hadiah sebuah gulali pink besar kepada Jean atas kemenangannya.

Salju mulai reda seiring pengunjung semakin banyak berkunjung ke Winterfest Carnaval, sebuah wahana hiburan yang hanya diadakan setahun sekali setiap hari Natal sampai tahun baru. Terdapat macam-macam wahana permainan mulai dari bianglala, roller coaster, rumah berhantu, sampai pameran patung es terbesar.

Jean menunggu Eugene sedang membeli popcorn sambil duduk menikmati gulali pink menyaksikan mahakarya sebuah patung santa claus terbuat dari es. Rasanya ia ingin sekali membuat bonek salju lagi di depan rumah atau bangunan mini lagi dari bongkahan salju.

Eugene datang membawa dua popcorn, Jean beranjak berdiri dan pergi bersama menuju permainan terakhir yaitu bianglala. Sebenarnya Eugene penakut terhadap ketinggian tapi karena Jean ingin melihat pemandangan kota dari atas ia terpaksa mengikuti gadis itu yang penting bisa membahagiakan Jean untuk jalan-jalan pertama kalinya bersama teman laki-laki.

***

Perlahan Gondola bercat biru naik seiring roda berputar membawanya ke puncak tertinggi, Eugene mengatup bibir sambil memegang pegangan besi seraya menahan berteriak ketika berada di atas ketinggian. Air bening meluncur melewati pipi seiring jantung makin berdetak kencang di tengah gempuran udara dingin cukup tajam.

Jean melepas mantel hitam dan menyodorkan ke temannya yang mengira kedinginan meskipun memakai jaket tebal. "Pakai."

"Ah, tidak usah. Aku hanya mual aja." Eugene berbohong, tapi benar juga isi pertunya mulai naik menuju tenggorokan saking ngerinya berada di puncak bianglala. Tangannya meremas mantel Jean melawan ketakutan sambil memejamkan mata.

"Tutup aja mukanya jika tidak kuat." Jean sudah tahu kalau laki-laki berambut coklat itu memiliki fobia ketinggian dari ekspresi wajahnya. "Aku malah terbiasa berhadapan di udara sangat dingin memakai pakaian tipis."

"Kau kan snow white... bukan, maksudnya ice princess."

"Wajahku tidak dingin kayak wajahmu tidak ganteng walaupun sedingin kutub selatan." Jean mencemooh, wajah Eugene memang menawan walaupun Jean seratus persen menyebut tidak se-good looking itu.

Waktu masih mahasiswa, Eugene dikenal populer di kalangan perempuan sekaligus ketua band yang sering manggung di acara kampus hingga mengikut macam lomba di festival musik. Itu dulu, sekarang menawan mulai memudar sejak sering bertarung dengan matahari terik sebagai menjadi pemburu vampir untuk melindungi beberapa desa dan kota-kota kecil jadi sasaran serangan vampir. Wajah rupawan itu pun sudah dihiasi noda hitam samar menciptakan kusam seperti tidak pernah melakukan perawatan wajah lagi.

Meskipun kau tidak menawan lagi, tapi hatimu menawan.

Eugene menyembunyikan ketakutan di balik mantel milik Jean, sedangkan gadis itu menikmati bayangan barisan pegunungan gagah dengan lautan kota di belahan dataran Highland bagian utara, ratusan cahaya kelap-kelip menerangi kota menyisakan hiruk-pikuk keramaian karnaval di bawahnya. Matanya tidak sengaja menyoroti kepakan sayap besar berwarna hitam terbang melintas di atas Kota Inverness, lalu menjauhi keramaian menuju hamparan hitam di bagian barat.



















Blood : Dearest And DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang