Prolog I: Si Pembawa Kabar Buruk

34 1 0
                                    

Alveria masih mengingat persis kejadian setahun lalu itu. Pada satu pagi saat tengah merencanakan sarapan, dia melihat pesan baru di group WhatsApp alumni:

Hadirilah seminar terbuka.
Rabu, 15 April 2026, jam 09:00.
"Masa Depan Komunikasi Visual Di Era Artificial Intelligence".

Saat itu Alveria telah menyelesaikan masa perkuliahan, namun belum sempat melakukan apa-apa dengan gelar yang diraihnya. Dia ingin mencari ide-ide baru, soal apa yang bisa dilakukan nanti, selepas menjadi idol. Dalam benaknya, barangkali seminar ini dapat memberi inspirasi.

Segera dibukanya aplikasi kalender, dan dilihatnya jadwal tengah kosong pada waktu tersebut. Hanya ada latihan di teater selepas matahari terbenam.

Alveria mengernyitkan alis, membaca nama pembicara seminar tersebut.

"Arion Alhanendra. Senior Software Engineer."

Nama yang asing. Sejujurnya, siapapun juga yang berbicara, dia tak terlalu peduli. Dia lebih penasaran dengan topik yang akan dibahas. Semua orang di kampus pasti juga penasaran. Semenjak maraknya teknologi AI yang bisa membuat gambar dari kata-kata yang kita berikan, banyak orang bingung dan kuatir. Apa iya para ahli ilustrasi, pewarnaan, tipografi, animasi, desain visual, semuanya bisa digantikan oleh komputer?

Terus nanti dia harus bekerja apa?

Tiba-tiba Alveria menyadari sesuatu. Senior software engineer? Apakah orang ini salah satu yang membuat AI-AI itu? Apakah orang ini musuh?


* * *


Si-Barangkali-Musuh itu ternyata lebih muda dari bayangannya. Pakaiannya lumayan rapi, kemeja beige, sweater biru navy. Jeans. Sepertinya beberapa tahun lebih tua darinya. Rambutnya tebal dan sedikit berantakan di belakang. Kacamata frame hitamnya tampak sedikit terlalu besar. New Balance 990v6 abu-abu yang sedikit lusuh membungkus kakinya.

Auditorium kampus sudah hampir terisi penuh saat Alveria berjalan masuk. Suara-suara ramai terdengar, meski Alveria tidak bisa menangkap satu pun pembicaraan. Telinganya tertutup Airpods, dengan Taylor Swift menemani langkahnya.

Alveria tidak berhasil menemukan di mana teman-temannya berada, dan memutuskan duduk sendiri di deretan kedua dari depan. Disiapkannya iPad di meja, sewaktu-waktu dia ingin mencatat. Waktu acara dimulai masih lima menit lagi. Tidak ada lagi yang harus dilakukan, segera dia terbawa memikirkan hal serius yang sudah berbulan-bulan memenuhi otaknya: rencana kelulusannya dari grup idol...

"...-kasih sudah bersedia hadir–OH! Maaf suara mikrofonnya terlalu kencang."

Alveria terkejut dan alur pikirannya buyar. Baru disadarinya bahwa sosok bernama Arion itu sudah berdiri di hadapan penonton, melambaikan tangan, memulai acara.

"Kakak panitia, apa bisa dibantu?"

Terdengar dengungan acak beberapa kali, lalu hening. "Tes, tes," kata Arion. "Sudah tidak mengganggu volumenya?"

Orang-orang menjawab tidak, bersahut-sahutan, lalu ruangan sunyi kembali.

Arion memulai presentasi.

* * *

Alveria pernah punya teori: orang-orang seni seperti dirinya, dan orang-orang teknik seperti Arion, susah untuk bisa nyambung. Perasaan melawan logika. Visual melawan angka-angka. Jadi sedari awal dia sedikit kurang antusias mendengar istilah-istilah yang mulai keluar dalam presentasi Arion.

Meski begitu, lambat laun Alveria menyadari kalau dia bisa mengikuti arah presentasi. Arion menjelaskan bagaimana AI bisa muncul, tapi membungkusnya dengan cerita-cerita, dengan si AI sebagai tokoh utama. Alveria mendengar cerita bagaimana AI lahir seperti anak yang tidak tahu apa-apa. Hanya saja, dia anak digital yang sangat suka belajar, dan dia punya kelebihan bisa belajar jutaan kali lebih cepat dari anak manusia biasa.

Alveria & Arion: Kisah Pendamping Simfoni KeduaWhere stories live. Discover now