Prolog III: Delapan Jam Menuju Tokyo, Bagian Pertama

8 0 0
                                    

Dengung mesin dan sambutan ramah pramugari menyambut Alveria begitu dia melangkah memasuki pesawat. Cornelia bernyanyi-nyanyi di belakangnya, lagu yang tidak familiar di telinga Alveria. Meski begitu, hatinya lega melihat semua anggota tampak ceria semenjak dari dalam bandara, meski wajah-wajah mereka juga tampak sedikit lelah.

28, 29, 30. Mata Alveria mengamati tanda yang tertera di bagian atas pesawat, dan bergegas masuk ke kursi dengan nomor yang tertera di tiketnya: 30F. Posisinya persis di tengah, di antara deretan tiga kursi. Cornelia duduk di samping kanannya, membenahi masker, lalu segera sibuk sendiri membuka plastik berisi selimut dan bantal.

Setelah meletakkan tas tangan di kolong kursi di depannya, Alveria menengok ke kanan dan kiri, depan dan belakang, membuat denah kecil di dalam otaknya tentang di mana teman-temannya duduk. Kebiasaan yang tidak penting, sebenarnya, tapi cukup menyenangkan baginya. Dia melihat Freyana duduk beberapa deret di depan, di dekat area pintu samping pesawat.

Pilihan yang salah, tawanya dalam hati.

Zona di depan biasanya diberikan pada penumpang yang membawa anak-anak kecil. Makhluk-makhluk kecil itu biasanya bingung dan takut berada di dalam ruangan yang asing dan gelap, lalu mengeluarkan perasaannya dengan cara menangis keras berjam-jam. Alveria tertawa sendiri membayangkan Freyana bagaimana bakal kesulitan tidur di dalam pesawat.

Kursi di sebelah kirinya masih kosong. Alveria menggabungkan jari-jarinya dan berdoa sejenak. Doa untuk perjalanan, sekaligus doa berharap tidak ada penumpang di situ. Jika tidak ada yang duduk, dia bisa mengangkat pembatas antar kursi dan duduk lebih santai. Barangkali juga berbaring. Mungkin juga bisa mengerjakan tugas atau latihan menggambar, tanpa takut gerakan tangannya menganggu orang lain.

Mesin pesawat kembali mendengung di sela-sela pengumuman melodius dari seorang pramugari di ujung depan. Pengumuman itu diulang tiga kali: Bahasa Jepang, Bahasa Inggris, dan terakhir Bahasa Indonesia. Alveria sudah sering terbang, namun masih terasa juga rasa takut di hatinya. Dia teringat betapa dulu dia selalu berusaha mendengarkan dengan baik apa yang diucapkan, sewaktu-waktu ada informasi penting demi keselamatannya. Tetapi sekarang dia lebih terbiasa untuk sibuk sendiri, mencari hal-hal yang bisa mengalihkan perhatian dari rasa takutnya.

Dari jendela-jendela oval yang terbuka lebar di sisi kanan dan kiri pesawat, tampak matahari mulai mewarnai langit Jakarta pukul enam pagi.

Setelah pengumuman selesai, dan layar di hadapannya bisa digunakan kembali, Alveria mulai membuka-buka katalog digital. Mencari film atau musik apa yang bisa dia nikmati sepanjang perjalanan. Barisan orang-orang berjalan perlahan di lorong pesawat. Doa Alveria tidak terkabul, sebab sesaat kemudian seseorang dengan celana panjang cargo dan jaket wool berhenti di deretan tempat duduknya. Orang itu dengan tangkas mendorong koper berodanya ke dalam bagasi bagian atas, lalu bergeser masuk dan duduk di sampingnya.

"30E. Fiuh, untung masih kekejar," lelaki itu berbisik pada dirinya sendiri. Sempitnya ruangan di dalam pesawat membuat Alveria mendengar suara itu pula. Dia mengenali suara itu, dan dengan sembunyi-sembunyi dia mengamati wajah penumpang itu lebih lanjut.

"Arion?"

Lelaki itu terkejut, lalu menoleh balik. "Eh, iya. Maaf. Kamu siapa ya?"

"Saya Alveria. Yang ngobrol di email. Yang soal seminar kamu di universitas."

"Oh! Kamu Alveria?"

Alveria mengangguk, lalu melempar senyuman ringan. Senyuman karir yang sudah dia latih bertahun-tahun semenjak menjadi idol. Senyuman yang tampak bersahabat, tapi tidak sungguh bermakna apa-apa. Arion masih tampak terheran-heran.

* * *


Lima belas menit kemudian, pesawat Alveria berhasil membelah langit Jakarta dan mencapai ketinggian tiga puluh ribu kaki. Take-off telah selesai. Awan-awan kecil berarak di bawah pesawat, dan Laut Jawa sesekali tampak di sela-sela. Dengan percaya diri pesawat itu melesat menuju Tokyo.

Alveria mendengar pengumuman bahwa sabuk pengaman sudah boleh dilepas. Para pramugari terlihat bergegas mempersiapkan troli-troli makanan. Alveria melihat Arion membuka meja lipat dan meletakkan laptop kecil di atasnya. Sebelum dia mulai sibuk, Alveria merasa ada baiknya membuka percakapan.

"Oiya, terima kasih lagi ya soal paspor saya. Andai nggak ketemu, hari ini saya nggak bisa pergi ke Jepang. Ngomong-ngomong kamu juga ada acara di Tokyo?"

Arion mengangguk. "Iya, ada jadwal konferensi soal pemrograman."

"Ooh, mau jadi pembicara lagi?" tanya Alveria. Lalu dia tak bisa menahan diri untuk tidak bercanda: "Sudah sempatin latihan kabur lagi, kah?"

Arion tertawa kecil. "Nggak, saya cuma jadi peserta kok. Stop dulu ngajarin orang."

"Huhuhu, padahal materi kamu kemarin bagus," ujar Alveria. "Cuma menurut saya waktu itu mungkin dari awal orang-orang sudah skeptis duluan."

Paras Arion berubah serius. "Iyakah?"

"Iya, kebanyakan orang di kampus sepertinya sudah tidak suka duluan dengan AI-AI begitu. Ibaratnya kemarin sudah banyak bensin di situ, terus malah kamu bakar."

"Hmm... Gitu ya. Padahal waktu itu maksud saya hanya mau menolong. Daripada nanti kaget tiba-tiba tidak ada pekerjaan lagi."

Alveria menghembuskan nafas mendengar penjelasan Arion yang terdengar naif. "Menolong orang juga ada caranya, nggak sih?" Dia lalu terkejut sendiri, sedikit menyesal, merasa komentarnya terlalu keras.

Arion hanya mengangguk, lalu menghembuskan nafas panjang juga.

"Kamu sendiri ada acara apa?" tanya Arion. "Tapi kalau terlalu pribadi pertanyaannya, nggak dijawab nggak apa-apa."

"Ini saya mau ke Tokyo dengan teman-teman. Ini satu pesawat ada rame-rame dua belas orang."

"Eh? Rekreasi bareng ke Tokyo? Seru juga yah."

Alveria tertawa kecil. "Bukan. Kita kebetulan ada kerjaan membuat video klip."

"Membuat video klip? Oh, karena kamu anak desain komunikasi visual? Video untuk klien?"

"Engg... Buat kami sendiri."

"Oh, untuk portfolio? Keren sih sampai di Jepang."

"Eh, enggak, bukan begitu. Video klip musik. Saya dan temen-temen kebetulan... anggota grup idol Jakarta."

Tiba-tiba muncul rasa khawatir di benak Alveria. Merasa sudah terlalu banyak bercerita hal-hal pribadi. Kuatir kalau Arion ternyata salah satu dari fans yang suka aneh-aneh. Minta foto. Ngobrol nggak bisa berhenti.

Tetapi kemudian pikiran Alveria beralasan: dia cuma sedang ngobrol dengan teman, sama seperti dia ngobrol dengan teman-teman sekelas di DKV. Malah sesungguhnya hitungannya teman juga bukan. Belum sampai teman. Dan sepertinya, Arion bukan tipe orang yang mengerti soal dunia idol.

"Oh, kerjaan kamu jadi idol? Yang suka tampil di TV?" tanya Arion sambil memiringkan kepala. "Tapi anak DKV juga?"

"Iya. Kalau lagi kayak gini nggak kelihatan idol sama sekali sih ya?" balas Alveria.

Arion tidak menjawab. Hanya mengangkat bahu sejenak, alisnya terangkat sedikit.

"Saya nggak terlalu memperhatikan," jawabnya sambil membuka laptop.

Lalu tiba-tiba pesawat berguncang keras.

Alveria & Arion: Kisah Pendamping Simfoni KeduaWhere stories live. Discover now