Prolog V: Intermezzo di Incheon

6 1 0
                                    

Kaca-kaca besar setinggi tiga lantai menampakkan panorama landasan udara dan lalu-lalang pesawat udara besar dan kecil, sesaat setelah Alveria melangkah keluar dari pesawat. Di bawah cahaya matahari sore Korea Selatan, imajinasi Alveria membayangkan sebuah adegan perpisahan sepasang manusia. Siluet mereka tampak kecil, berpelukan di bawah cahaya natural yang menembusi kaca-kaca tersebut. Para penumpang lain berlalu-lalang di antara mereka. Di Korea, bandara udara pun bisa terlihat romantis, pikir Alveria.

Namun khayalan itu buyar dengan cepat, ketika dia dan Cornelia harus segera berdesak-desakan mencari rombongan teman-teman yang lain. Orang-orang berkerumun mencari kabar terbaru, dan apa yang harus dilakukan selagi menunggu. Di depan terlihat Freyana melambai-lambai ke arahnya, wajahnya tampak sedikit pucat dengan poni yang berantakan. Kakak-kakak manajer terlihat sibuk mengarahkan semua anggota grup untuk berkumpul di satu sudut ruangan.

Mereka kini berada di area transfer bandara, gerbang 231. Dari kabar terakhir, ada banyak pesawat yang dialihkan dari tujuan awal, sebab bandara-bandara besar di Jepang tengah mengalami masalah cuaca. Bandara Incheon terpilih sebagai tujuan baru. Sebagai bandara internasional terdekat, dia dianggap punya cukup ruang untuk menampung tambahan pendaratan.

Ruangan gerbang 231 tampak bersih dan didesain dengan baik. Modern dan menyenangkan. Yang tidak menyenangkan adalah kerumunan orang di mana-mana, orang-orang dari banyak penerbangan lain yang bernasib sama. Ada yang bergerombol di lantai, di depan televisi, di samping pot-pot bunga.

Seorang staf dari All Nippon Airways muncul dan mulai berbicara lewat pengeras suara. Semua orang segera melihat ke arahnya, termasuk Alveria dan grupnya. Dalam bahasa Inggris dijelaskannya bahwa menurut perkiraan cuaca, situasi akan membaik dalam tiga atau empat jam, meski ada kemungkinan akan butuh waktu lebih lama. Jika semua sudah aman, perjalanan akan diteruskan. Dibutuhkan sekitar dua jam setengah dari Incheon menuju Narita.

Alveria berpikir positif. Setidaknya mereka semua selamat dari cuaca buruk. Menunggu empat jam rasa-rasanya tidak terlalu buruk. Dia bisa tidur atau menonton sesuatu. Atau menggambar. Atau melanjutkan ngobrol dengan Arion... lalu dia tersadar kalau Arion sudah tidak kelihatan di mana-mana.

Karena ruangan begitu penuh oleh penumpang, Alveria tidak mendapat sisa tempat duduk. Bersama Freyana, dia bersila di lantai, di atas karpet yang cukup tebal, bersandar pada sebuah pilar besar.

"Itu tadi seram banget nggak sih penerbangannya?" ujar Freyana. "Getarannya kenceng banget berkali-kali. Kamu gak apa-apa?"

"Iya awalnya seram, tapi lama-lama bisa tenang sih," jawab Alveria. "Aku tadi nyoba lihat ke pramugari aja sih. Kalau mereka tenang, aku juga tenang."

"Ah iya, tadi ada yang duduk di depan dekat aku juga. Udah terbiasa banget yah mereka kondisi di pesawat begitu. Jalan sambil bawa minuman pun nggak panik gitu, loh."

"Itu kalau kita jadi dia mungkin udah guling-guling dari depan banget sampe belakang," canda Alveria.

Freyana tertawa. "Eh, aku kayaknya mau ke toilet deh, ada deket tuh di situ. Mau nemenin nggak?"

"Oke, kalau itu mau kamu," jawab Alveria sambil menguap. Rencana awalnya untuk tidur di pesawat gagal oleh segala macam kejadian. Turbulensi. Bertemu Arion. Menggambar.

* * *

"Ya Tuhan!"

Alveria tersentak. Jantungnya berdebar keras. Otaknya terasa hampa, lalu inderanya perlahan-lahan mengirim informasi tentang di mana dia berada.

Ruangan itu sempit, agak dingin. Ada pintu sangat dekat di hadapannya, dan bau semacam cairan pembersih. Dilihatnya sesuatu tergantung di pintu. Tas tangan. Dia tengah duduk di sebuah kursi yang keras. Sikunya membentur sesuatu. Tempat tisu rol.

Alveria & Arion: Kisah Pendamping Simfoni KeduaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora