16. Denial

6 1 0
                                    

Masih pukul 05:00 pagi, Regan sudah siap dengan setelan seragamnya yang rapi. Meski matanya sayu karena kurang tidur, tak membuat Regan gentar untuk berangkat sekolah lebih awal.

Malam tadi, seharusnya ia pakai untuk beristirahat karena esoknya sekolah, yang kenyataannya tidak begitu. Justru ia memilih diam ditemani kopi panas juga benda nikotin yang ia hisap. Belum lagi, setelahnya ia juga memilih untuk bermain game online bersama ketiga sahabatnya. Sudah jelas sekali menjadikannya begadang dan kurang tidur.

Regan menyampirkan tasnya di pundak dan mulai menuruni anak tangga guna mengisi perutnya yang lapar.

Selama di meja makan, Regan hanya sendiri dan diam dalam kunyahannya. Sampai akhirnya ia selesai dan mulai bangkit dari kursinya. Lalu meletakkan wadah bekasnya di wastafel.

Keadaan luar masih agak gelap. Regan sengaja pergi lebih pagi, karena malas bertemu dengan kedua orang tuanya. Meja makan pun bukan dalam suasana yang hangat jika bersama mereka, melainkan dingin, senyap, dan asing.

Regan mengendarai kuda besinya dengan kecepatan sedang. Ia akan menemui seseorang terlebih dahulu di Rumah Sakit, mumpung masih banyak waktu untuk pergi ke sekolah.

Beberapa menit setelahnya, Regan sampai di Rumah Sakit dan kini tengah berjalan di lorong untuk mengunjungi sebuah kamar rawat inap.

Suara pintu berderit, mampu membuat sang empu yang tengah duduk di ranjang pesakitan itu menoleh dengan cepat.

"Tara? Ini masih pagi, woy! Ngapain ke sini? Ini hari senin by the way, dan lo emangnya gak berangkat sekolah?"

Regan diam seraya meletakkan beberapa makanan ke meja nakas dekat ranjang pesakitan tersebut.

"Gue tau ini masih pagi. Gue emang mau nemuin lo aja. Nanti gue bakal sekolah. Gue juga mau ngabarin, lusa lo udah bisa pulang."

Laki-laki itu menatap Regan seraya melotot. "Lo serius, Tar? Ini beneran, 'kan?"

Regan mengangguk sebagai jawaban.

"Akhirnya gue bisa bebas. Gue udah muak banget tinggal di sini. Makasih, Tar, buat informasinya."

"Gue bawain lo sarapan. Bubur kacang hijau kesukaan lo. Mumpung masih anget, mending lo makan sekarang!"

Laki-laki itu pun meraih mangkuk yang terisi bubur kacang hijau lengkap dengan roti yang terpisah.

Regan tadi memang langsung menuangkan bubur tersebut ke dalam mangkuk yang sudah ada di kamar. Karena itu memang milik Regan, yang sengaja dibawa dari rumahnya saat itu. Bukan rumah kediaman Dalvi, namun rumah yang kemarin sempat ia kunjungi lagi bersama Thalia.

***

Regan berdecak kesal. Hukuman berlari mengitari lapangan adalah hal yang sengaja ia hindari sejak masuk ke sekolah SMA Mandala. Namun kini, justru sebuah kesialan baginya.

Usai dari Rumah Sakit, Regan begitu lama di perjalanan karena terjebak macet. Hal itu lah yang menjadikannya terlambat masuk ke sekolah.

Sejak tadi, ada saja yang sengaja menatap Regan terang-terangan hingga menjerit karena senang melihat Regan yang bermandikan keringat. Bagaimana tidak. Regan hanya memakai kaos pas badan berwarna hitam, dengan memerlihatkan otot-ototnya.

Mereka begitu memuja Regan karena dengan keringat bercucuran pun, seorang Regan masih terlihat tampan. Justru semakin terkesan manly dan sexy.

Daru nafas tak beraturan keluar dari mulut Regan. Hingga ia terduduk di sisi lapangan seraya menjulurkan kedua kakinya. Terlalu lelah berlari sebanyak lima belas kali putaran.

Ternyata, hal itu tak luput dari penglihatan Thalia dari koridor atas sana. Dia mendengkus dengan melihat Regan yang menjadi eksistensi siswi-siswi lain. Entah mengapa membuat hatinya terasa panas.

"Kayanya sengaja banget ya, mau tebar pesona," gumamnya dalam hati seraya menatap ke arah Regan yang masih terduduk di sisi lapangan.

"WOY!" Eca datang dengan mengejutkan Thalia yang asik melamun menatap Regan di bawah sana.

"CA! Gue kaget astaga. Lo kalo dateng bisa 'kan panggil yang bener?"

Eca hanya menyengir saja tanpa dosa dan ikut berdiri di samping Thalia.

"Iya, maaf, Ta. Habisnya gregetan liat lo bengong di sini. Mikirin apaan, si?"

Thalia tidak menjawab ucapan Eca. Ia hanya menggelengkan kepalanya seraya menatap ke arah kelas, yang sejak tadi tak ada guru yang masuk. Ia sengaja menatap ke arah sana, karena tak mau jika Eca sampai tahu bahwa sejak tadi dirinya tengah menatap Regan.

"Gue cuma lagi mikir aja, kalo kita bentar lagi bakal naik kelas."

Eca mengerutkan dahinya tanda bingung. Thalia bukan tipe pemikir sekali jika berhubungan dengan kenaikan kelas seperti ini. Dulu saat kelas 10, Thalia hanya biasa saja menanggapi hal tersebut. Bahkan Thalia lebih fokus akan nilainya, meski bukan termasuk jajaran murid yang begitu pintar. Maka dari itu, dirinya merasa aneh ketika Thalia melontarkan kalimat tersebut.

"Lo kalo boong jangan sama gue, Ta."

Usai mengatakan hal tersebut, Eca segera menoleh ke arah sekitar, lebih tepatnya lapangan. Di sana, ia bisa melihat sosok Regan yang saat ini tengah memakai seragam putihnya dengan rambut yang cukup lepek. Apa itu berarti, Thalia sejak tadi tengah memerhatikan Regan?

Eca menatap Thalia yang masih saja diam dengan netra yang menatap jendela kelas. Tatapan itu kosong. Seperti bukan ke arah sana yang Thalia ingin lihat.

"Boong lo keliatan. Dari tadi lo lagi liatin kak Regan, 'kan?"

Thalia menoleh ke arah Eca yang menampilkan senyum menggodanya.

"Ca, jangan kenceng-kenceng ngomongnya!"

Dengan peringatan seperti itu, mampu membuat Eca terkekeh. Secara tak langsung, Thalia mengakui apa yang tengah dilihatnya sebelum ia datang.

"Kalo suka, bilang suka. Kalo sayang, ya bilang sayang. Jangan denial gini, Ta."

"Gue ... gue masih bingung, Ca. Gue masih belum yakin sama perasaan gue. Tapi yang pasti, rasa nyaman itu ada ketika sama Regan. Apa gue salah, Ca, punya perasaan ini?"

Eca memegang bahu Thalia seraya menatapnya dengan lekat.

"Gak ada yang salah, Ta. Perasaan emang siapa yang tau, si? Lagi pula lo manusia normal, cewek mana pun pasti akan ngerasain hal yang sama kaya lo. Apalagi selama ini kak Regan suka kasih perhatian ke elo, jelas aja secara gak langsung bikin lo jadi baper. Perasaan itu gak salah. Siapa yang bisa memprediksi perasaan seseorang? Gak ada, Ta. Jadi kalo emang lo suka sama kak Regan, gue dukung. Selama dia gak macem-macem sama lo, gue oke. Dan kalo lo masih bingung dengan semua itu, lo tinggal tanya sama hati lo sendiri. Siapa yang elo mau, di sini ...," Ada jeda sebentar dengan telunjuk Eca yang mendarat di dada Thalia. Kemudian, ia mulai berkata kembali, "Karena yang tau, ya cuma diri lo sendiri. Bukan gue atau orang lain."

Thalia memikirkan semua ucapan Eca. Sahabatnya itu benar, jika perasaan memang tak dapat diprediksi oleh tangan manusia. Tuhan lah yang memiliki kuasa itu. Jika saat ini ia memiliki rasa suka terhadap Regan, seharusnya ia tak menyangkalnya, bukan?

________

Terima kasih ❤

10-03-2024

Exchange (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang