35. Takut Kehilangan

10 1 0
                                    

Tara saat ini tengah duduk diam di kursi roda, tepat ke arah taman Rumah Sakit. Di sana banyak anak-anak yang sedang tertawa bahkan ada juga yang melamun. Setelah diberitahu oleh perawatnya, ternyata anak-anak yang saat ini tengah berkumpul di taman bernasib sama dengannya.

Penyakit yang diderita mereka merenggut masa kanak-kanak nan indah. Yang  seharusnya bisa bebas bermain, berangkat sekolah dan belajar, semua pupus dalam sekejap hanya karena penyakit yang menggerogoti tubuh mereka.

Tara tersenyum tipis bahkan tanpa sadar air matanya turun tanpa bisa dicegah. Akan 'kah hidupnya bisa bertahan lebih lama? Ia ingin bisa seperti kebanyakan orang. Atau paling tidak, ia ingin terus bersama Regan hingga tua nanti. Ia ingin melihat kebahagiaan Regan bersama pasangannya nanti. Apakah bisa? Tuhan, apakah keinginannya begitu lancang?

***

Di koridor, tepatnya dekat dengan kursi tunggu, Regan dan Thalia berdiri memandangi Tara yang kini tengah melamun di kursi roda.

Perawat yang menjaga pun Regan titah untuk pergi saja. Karena sudah ada dirinya dan Thalia di sini.

"Rasanya sakit, Ta, ketika kembaran dan saudara kandung gue satu-satunya bernasib kaya gini. Bahkan kalo bisa biar gue aja yang nanggung, jangan Tara."

Thalia mengusap lengan kiri Regan. Hatinya pun sama merasakan sakit.  Pertemuannya dengan Tara memang baru sebentar, tapi mampu membuatnya menjatuhkan perasaan yang sejak dulu terkunci rapat.

"I feel you, Gan. Gue pun ngerasa sakit ketika liat dia dengan keadaan gak berdaya kaya gini. Dan lo harus tau, I fall in love with him."

Regan menoleh menatap Thalia sepenuhnya. Hal yang luar biasa masuk ke telinganya saat ini.

"Ta, lo ...."

"Iya, lucu, 'kan?

Regam terdiam mencerna ucapan Thalia yang memang sangat jelas sekali.

"Pertemuan singkat, nyatanya mampu buat gue jatuh cinta dengan kembaran lo, Magentara Ardio."

"Gue seneng dengernya," jawab Regan dengan lugas.

"Keberadaan lo dan dia di sisi gue ternyata berbeda. Berteman sama lo hampir dua tahun, gak pernah ada dalam pikiran gue untuk terbawa perasaan. Semua murni hanya pertemanan. Cara lo memperlakukan gue pun udah bisa menjawab semuanya. Dan secara tiba-tiba, Magentara muncul sebagai sosok lo dengan sikap yang berbeda, itu mampu membuat gue semakin penasaran dan ingin selalu berada di sisinya. Dia memang dingin, tapi dia juga hangat di hal-hal tertentu. Buat gue cukup tersentuh dengan segala perlakuannya selama ini. Gue ngerasa nyaman. Titik fokus gue selalu ke arah dia, bahkan Eca aja sadar kalo gue suka sama dia sebelum gue jujur dengan perasaan gue."

Regan berdiri dihadapan Thalia seraya memegang bahunya. Ia menatap Thalia dan tersenyum setelahnya.

"Makasih karena udah mencintai Tara. Gue kasih dukungan penuh untuk hubungan kalian. Karena perasaan lo gak bertepuk sebelah tangan, Ta."

Thalia mengedipkan matanya beberapa kali mendengar ucapan Regan.

Regan terkekeh akan respon Thalia yang diam. "Kalian punya perasaan yang sama, sebelum masuk ke Rumah Sakit ini, dia udah cerita duluan ke gue, Ta. Kalo gitu gue ke kantin dulu, kayanya ngopi enak. Gue kasih kalian waktu berdua buat ngobrol. Nanti kalo ada apa-apa hubungin gue aja langsung."

Thalia menatap Regan yang pergi hingga hilang di belokan koridor, meninggalkannya yang kini cukup gugup untuk berhadapan dengan Tara.

Kini kakinya pun terayun menuju Tara yang masih setia duduk di kursi rodanya itu.

***

Semilir angin mampu membuat Tara terpejam. Ia menghirup udara yang cukup sejuk. Beruntung cuaca sedang bagus, tidak terlalu panas dan tidak mendung sama sekali.

Thalia sudah duduk di samping Tara, tepatnya di bangku kosong yang memang tersedia di taman tersebut.

"Terima kasih."

Tara yang semula terpejam seketika membukanya dengan cepat. Netranya menoleh menatap Thalia sepenuhnya.

Thalia jelas saja tersenyum dan dengan lencang tangannya terayun membenarkan rambut Tara yang tadi tertiup angin.

"Kamu anak siapa, si, ganteng banget. Jadi pengen milikin, deh."

Lagi dan lagi Tara tercengang atas ucapan Thalia. Ia bingung sekaligus senang mendengar suara Thalia yang masuk ke telinganya kini. Apa itu berarti, kesalahpahaman kemarin sudah Thalia maafkan?

Tara meraih tangan Thalia sebelah kiri. Ia membawa ke hadapannya dan menggenggamnya dengan erat.

"Harusnya gue yang bilang makasih, Ta. Dengan hadirnya lo di sini aja udah buat gue seneng. Apa lo udah maafin gue dan Regan?"

Thalia mengangguk seraya tersenyum dengan manis. "Gue udah maafin kalian. Setelah denger semua cerita itu dari Regan, gue gak berpikir dua kali buat maafin semuanya. Rasanya sakit ya, Tar. Maaf karena gak bisa selalu ada buat lo selama ini. Gue gak tau kalo kehidupan lo dan Regan sepelik itu."

Tangan kanan Thalia yang bebas, kini menyentuh kulit pucat milik Tara. Thalia mengelusnya pelan dan mampu membuat Tara merasa nyaman akan sentuhan tangan lentik tersebut.

Tess

Satu tetesan cairan mengenai tangan Thalia. Sontak membuat Thalia menjauhkan tangannya dari Tara dan menatap Tara dengan wajah pucat juga hidung yang mengeluarkan darah.

"Tar, gue bawa lo ke kamar, ya. Tolong bertahan sebentar!"

Setelahnya, Thalia membawa Tara yang kini meringis seraya memegang kepalanya yang sakit. Hidungnya masih terus mengeluarkan darah, hingga Thalia sendiri panik dan mendorong kursi roda Tara dengan cepat.

Beruntung perawat yang menjaga Tara masih setia berada di lantai satu. Jadi Thalia sangat terbantu, karena adanya perawat yang kini menemaninya membawa ke kamar rawat inap.

"Tuhan, aku mohon jangan ambil Tara dengan cepat. Biarkan dia hidup lebih lama. Aku ingin bersamanya, Tuhan." Mohon Thalia dalam benaknya. Sungguh, ia tak kuat melihat Tara yang tersiksa seperti ini.

***

Sudah sepuluh menit Thalia menunggu di luar, yang ia lakukan hanya lah diam dan duduk dengan jari-jemari yang ia mainkan. Ia sangat gugup menunggu kabar keadaan Tara.

Regan yang baru lima menit di sana setelah Thalia hubungi untuk segera ke atas, kini mengacak rambutnya dengan frustrasi. Tak menyangka jika saudara kembarnya akan drop kembali. Padahal tak ada kegiatan yang cukup menguras tenaga, namun, tetap saja tubuh Tara langsung drop dan tak berdaya seperti sekarang ini.

Tak ada yang mengeluarkan suara di antara mereka berdua, karena mereka sama-sama kalut. Bahkan dokter pun belum juga keluar dari kamar hanya untuk memberi kabar. Jelas membuat mereka semakin gugup dan takut akan keadaan Tara di dalam sana.

Hampir tiga puluh menit kemudian, dokter pun akhirnya keluar dari kamar rawat Tara. Dokter itu pun menghela nafas berat dan membawa Regan ke ruangannya. Bersama dengan perawat yang kini mengikutinya dari belakang.

Untuk beberapa menit ke depan, belum ada yang diperbolehkan menjenguk Tara. Pasalnya, perawat tadi mengatakan keadaan Tara baru saja stabil. Cukup dilihat dari luar ruangan dan berdo'a untuk kesembuhan Tara. Biar saja Tara istirahat dahulu, jika keadaannya sudah cukup membaik baru lah mereka bisa melihatnya ke dalam.

Dan itu cukup membuat Thalia menangis dalam diamnya. Ia belum siap kehilangan Tara yang baru saja ia kenal satu bulan belakangan kemarin. Ia takut tak bisa melihat Tara lagi serta mencium aroma parfumnya yang begitu memabukkan. Ia takut, sungguh.

________

Terima kasih ❤

11-05-2024

Exchange (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang