44 . Satu Pelukan

45 2 0
                                    

⫍ ─━━━━╼͜━͜┉ི͜━ི┅━ྀ͜┉ྀ͜━͜╾━━━━─ ⫎

"Kala setiap melihat senyumanmu, entah mengapa aku merasakan getaran hebat dihatiku, pipiku yang memanas, serta rasa ingin memiliki yang menggebu-gebu. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta?"

- Monica Kathleen

⫍ ─━━━━╼͜━͜┉ི͜━ི┅━ྀ͜┉ྀ͜━͜╾━━━━─ ⫎

💐💐💐

Monica memperhatikan lampu tidur berbentuk bulan yang terpajang di meja dekat kasurnya dengan pandangan penuh kerinduan.

Air matanya tak berhenti menetes. Ia sungguh merindukan sosok Karin didalam hidupnya.

Sudah 2 hari, Monica mengurung diri di kamarnya dan terus memperhatikan barang pemberian Karin dengan air mata yang tak berhenti menetes.

Disamping lampu tidur itu, terlihat Brisia yang tengah tertidur pulas. Begitu menggemaskan.

Walaupun jam sudah menunjukkan pukul 22.50, hal itu tak membuat Monica untuk memejamkan kedua bola matanya.

Pintu kamarnya sedikit terbuka, dan ternyata yang membukanya adalah Alaric.

Alaric memandang sendu kearah Monica. Bukannya membuat Monica menjadi bahagia, justru Alaric malah membuat Monica menjadi sedih karena mengingat Karin.

Pasti ada banyak pertanyaan dibenak Monica. Alaric yakin, Monica begitu ingin bertemu dengan Karin. Namun, ia bisa apa? Sedangkan Karin saja masih tidak ingin bertemu dengan mereka, jadi bagaimanapun Alaric tidak bisa memaksanya.

Dengan langkah perlahan, Alaric menghampiri Monica yang duduk meringkuk disamping kasur. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala adiknya.

Lalu, ia menduduki diri disebelah Monica.

"Maaf," ucap Alaric.

Monica yang mendengar Alaric minta maaf pun menolehkan kepalanya menatap Alaric.

"Untuk apa?"

"Karena udah bikin lo sedih."

"Bukan abang yang bikin aku sedih. Cuman akunya aja yang terlalu berlebihan," ucap Monica dengan suara yang begitu menyedihkan.

Alaric sungguh tak tega melihat wajah pucat Monica. Gadis itu akhir-akhir ini sulit sekali untuk makan bahkan keluar kamar sedikitpun.

"Mama pasti akan kembali. Bersabarlah, ini hanya tentang waktu," ucap Alaric mencoba memberikan Monica pengertian.

"Tapi kapan, bang? Mama selalu menyuruh aku untuk menunggu, tapi ujung-ujungnya? Dia sama sekali enggak ingin pulang, bahkan niatan untuk bertemu atau berbicara saja Mama tidak ingin."

"Abang tahukan waktu Mama kirim surat ke Papa? Rasanya sakit bang saat aku baca, aku takut kalau aku enggak akan bisa lagi ketemu sama Mama," ucap Monica menangis.

"Mungkin aja ada masalah yang kita enggak tahu, makanya Mama lakukan ini. Lo tahukan, kalau Mama sayang banget sama anak-anaknya?" tanya Alaric dan diangguki oleh Monica.

"Berhenti menangis dan jangan putus asa."

Alaric menyeka air mata yang membasahi pipi Monica. "Kita ini abang dan adikkan? Jadi, Monica harus nurut sama abangnya. Jangan jadi adik yang nakal, oke?"

Monica terkekeh mendengar perkataan Alaric. Lucu sekali, pikirnya.

"Siap, abang!" ucap Monica dengan gerakan tangan yang dibuat hormat.

Monica [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя