Chapter 3. Kukira Liv Masih Marah Padaku

122 91 68
                                    

✨Happy Reading✨



            Mendung. Begitulah setidaknya yang aku lihat. Aku berjalan di atas lantai keramik koridor yang dingin di pagi hari dengan langkah gontai. Kurasa aku sudah beribu-ribu kali menghela napas gusar semenjak aku melangkahkan kakiku melewati gerbang depan. 

            Semenjak kejadian kemarin, aku jadi merasa bersalah. Rasanya aku ingin meminta maaf, tapi aku takut saat melihat wajah Zora dan Liv yang menatapku dengan tatapan tak suka. Aku takut jika mereka tidak menerima permintaan maafku. 

            Mengapa harus ada hari seperti kemarin, sih? 

            Aku mengeratkan rompi hitam yang membungkus tubuhku. Udara semakin dingin dalam hitungan detik. Tak jarang bagi mereka yang dikaruniai kekuatan elemen api berlomba-lomba menghangatkan sepanjang koridor demi mendapatkan nilai tambahan. Tapi, tak jarang juga bagi mereka yang nakal meniupkan elemen angin mereka untuk memadamkan puluhan obor api di sepanjang koridor. 

            Sialan! Salah seorang murid dari kelas pengendali api menunjuk ke arahku, berseru garang bahwa aku adalah salah satu anak nakal yang memadamkan api mereka. 

            Berlari. Itulah satu-satunya cara untuk melarikan diri. Aku rela berdesak-desakan di kerumunan anak-anak yang baru saja datang dari pintu depan. Mereka semua mengantre untuk menunggu giliran memakai portal ungu menuju lantai dua.

            Aku mengumpat kesal. Tentu saja aku tidak bisa ikut mengantre. Belasan portal ungu yang tersedia sudah penuh. Mau tak mau aku harus menambah kecepatan langkah kakiku untuk menuju tangga lantai dua yang jaraknya sangat jauh dari lokasiku sekarang. 

            Aku berlari, terus berlari. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memeriksa seberapa jauhnya aku dari jarak mereka. Tak sedikit dari mereka juga melemparkan bola api seukuran bola salju ke arahku. Aku dengan susah payah menghindar, berlari dalam pola zig-zag agar tubuhku tak mengenai serangan bola api mereka. 

            Tapi, kabar buruknya aku mulai kewalahan!

            Sekarang tikungan tajam di depanku. Lantai di sekitarnya licin karena plafon di atasnya bocor. Hujan semakin turun begitu deras.  Aku mengumpat lagi. Memutar otak bagaimana caranya aku melewati tikungan tajam itu tanpa terpeleset dan cedera—tidak seperti beberapa hari silam ketika lututku berdarah karena bergesekan dengan lantai saat aku bermain bola bersama—GRIFFIN!

            Seseorang menyambar tubuhku dari arah kanan hingga kami berguling-guling di atas tanah yang basah. Di waktu yang bersamaan, seekor makhluk mitologi berwujud singa berkepala rajawali menghalangi jalan para anak pengendali api. 

            Griffin—makhluk mitologi itu—tentu saja memekik keras sembari membuka kedua sayapnya yang besar selebar mungkin. Lantas, berhasil membuat para anak pengendali api menjerit ketakutan dan berlari terbirit-birit meninggalkan tempat. Tak sedikit dari mereka juga menggunakan mantra menghilangkan diri. Di sekolah ini Griffin memang menjadi salah satu makhluk yang ditakuti apalagi sosok yang menjadi pemiliknya adalah LIV!

            "KAU GILA! SERAGAM KITA JADI KOTOR!" aku berteriak frustrasi, segera bangkit dan melihat seragamku yang kini sudah basah dan kotor. Juga rambut pendekku yang semula sudah kutata rapi harus berantakan.

            "Daripada kau menjadi korban anak-anak itu. Pilih mana?" balas Liv santai, melepas rompinya, "Lagi pula seragam kita juga bisa kering dalam hitungan tiga detik."

            Oh! Aku baru sadar. Liv sebaik ini? Setelah kejadian kemarin terjadi dan naluriku berkata bahwa ia marah padaku, Liv masih mau menolongku? Kukira hari ini ia akan mengabaikanku dan tidak menganggapku sebagai sahabatnya lagi. Astaga, Liv... Aku terlalu berburuk sangka! 

            "Kau tidak marah padaku lagi?" tapi aku memastikan, memicingkan mata saat menatapnya.

            Kulihat Liv mengangkat bahu, "Untuk apa aku marah terlalu lama padamu?" ia tertawa hambar, "itu hanya membuang energiku." lanjutnya. 

            Jawaban Liv di luar dugaanku. Aku pun menjadi canggung, "Ehm.. Ya, sebelumnya te—"

            "Sama-sama." Liv menyela, "ayo, masuk. Sebentar lagi kelas pertama dimulai." ia berjalan ke arah portal ungu berada. Beberapa menit yang lalu portal itu memang sudah kosong karena sebagian besar anak-anak sudah masuk ke kelas mereka. 

            Setelah kedua kaki Liv menginjak permukaan lantai di portal ungu itu, seketika tubuhnya menghilang ditelan cahaya pekat berwarna ungu dalam sekejap. 

            Bahkan, uniknya seragam yang semula basah dan kotor itu bisa kering dan bersih dalam hitungan tiga detik! Hebat, kan? 

✨✨✨

Perpustakaan

            Jam pelajaran pertama adalah kelas Mrs. Suzan, guru bahasa di kelas tiga sekolah kami. Mrs. Suzan menugaskan kami untuk mencari 300 kosakata berawalkan huruf H dari 50 buku dengan judul yang berbeda. Gila, kan? Tapi kami semua tak ada yang berani membantahnya. 

            Aku memindahkan tubuhku ke rak buku selanjutnya. Pandanganku kembali menyisir dengan teliti saat mencari satu buku dengan judul yang menarik di setiap susunannya. Aku memang sengaja mencari judul buku yang unik. Agak merepotkan sih, tapi lebih baik begitu daripada harus menulis dengan judul “1001 Cara Meruntuhkan Sekolah” seperti yang dilakukan Liv dan puluhan teman sekelasku yang malas. 

            Eh, aku tidak pernah menganggap Liv adalah orang yang pemalas. Menurutku Liv adalah orang yang hidup sesuai kenyataan, apa adanya, dan tanpa melebih-lebihkan apa pun yang bisa merepotkan dirinya.

            Liv memang begitu. Ia juga tipe manusia yang tidak suka diatur. Pasti ia akan memberontak atau memprotes jika seseorang berani mengaturnya. Bahkan lebih kerennya, ia adalah gadis tomboy! Lihat saja rambutnya yang pendek bergaya wolfcut itu! Warnanya yang perak sangat cocok untuk Liv yang suka mengenakan pakaian serba hitam. 

            "Liv, sudah berapa kosakatamu?" aku bertanya, mengintip halaman buku tulisnya yang tergeletak di meja dalam keadaan terbuka sementara quil bergerak otomatis untuk menuliskan setiap kosakata yang Liv ucapkan. 

            "100 kosakata. Yeah, masih sedikit." Liv menjawab, kembali memfokuskan perhatiannya pada sebuah buku tebal yang melayang di hadapannya. 

            "Sedikit katamu?" aku memutar bola mataku, lalu memandangi tulisan tangan di halaman buku tulis milikku. Punyaku masih 25 kosakata! 

✨✨✨

Next?
Spam "✨"

LIVORA [√]Where stories live. Discover now