Satu-A

31 5 1
                                    

Seorang perempuan sedang terduduk di kursi taman kota pada tengah malam entah terlalu bodoh atau terlalu putus asa pada kisah cinta dengan kekasihnya. Atau dalam pendapatku, ini termasuk keduanya, renung Annelise Adalgiso masam.

"Tuliskan apa yang membuatmu gusar pada selembar kertas ini, lalu kemudian letakkan ia disebuah tempat yang menurutmu hanya sedikit orang yang mampu menjangkaunya," Beatrice, kawan karib Annelise, berkata ringan sembari menyerahkan selembar kertas dan pena di atas paha Agatha yang terbalut gaun hijau dengan manik-manik berlian mungil menghiasi gaun itu.

Annelise menatap karibnya ragu.

"Tulislah, aku tidak akan melihat apa yang kau tulis," balas Beatrice seolah paham dengan tatapan ragu Annelise. Beatrice berdiri tegak kemudian pergi, bersamaan dengan udara malam yang semakin menusuk membuat Annelise merapatkan jubah tebal yang dikenakannya.

Annelise mulai menulis, satu kata, dua kata, satu kalimat, satu paragraf, bahkan sampai selembar kertas itu cukup penuh dengan tulisan tinta hitam miliknya. Annelise melipat kertas menjadi empat bagian, meletakkannya ke dalam sebuah amplop usang bersamaan dengan tanda merah dibalik amplop usang itu. Annelise berdiri, berjalan perlahan pada sebuah pohon rimbun yang tak jauh dari sana, meletakkan selembar kertas itu pada sisipan kayu pohon yang nampak sedikit retak akibat ulah hewan-hewan kecil yang menumpang pada si pohon rimbun. Annelise kembali, ia mengangkat gagang lentera dengan cahaya temaramnya dan berjalan kembali ke kastil kecil miliknya.

Ia sampai di persimpangan sudut kota, lampu-lampu jalanan sangat redup, jalanan lengang disekelilingnya, ia tiba di depan sebuah kastil kecil dengan halaman yang cukup luas. Seorang wanita paruh baya nampak terlihat gusar berjalan mondar-mandir di depan pintu kastil kecil itu, melihat kedatangan Annelise ia sedikit berlari dengan tergopoh kearahnya.

"Nona, kemana saja anda? Duke mencarimu!" Charlotte, pelayan pribadi Agatha berbicara dengan nafasnya yang masih tersengal.

"Duke mencariku? Ada apa ia datang ke kastilku, tidak seperti biasanya," Annelise menarik pelan tangan Charlotte kedalam kastil kecilnya. "kapan dia datang kemari, bersama siapa dan apa yang dikatakan Duke padamu?" bisiknya kemudian.

"Duke datang sekitar lebih dari satu jam yang lalu dan tidak mengatakan apapun Nona, dia hanya mencarimu kemudian dia pergi begitu saja tanpa ada sepatah katapun darinya."

"Baiklah," Annelise melepas jubah tebalnya, melepaskan sepatu abu yang senada dengan gaun hijau berlian miliknya. "tolong siapkan air hangat untukku berendam, diluar udara sangat dingin." Perintahnya pada Charlotte.

"Baik Nona." Charlotte pergi dari hadapannya.

Annelise berjalan perlahan ke kamarnya, mendudukkan dirinya dikursi kecil tepat dihadapan kaca yang menampakkan keelokan dirinya. Ia melepas pita abu bercorak dengan ukuran sepuluh senti meter yang tertata manis di rambutnya. Kini rambut panjangnya terurai, rambut gelombang berwarna coklat pekat itu terlihat jauh lebih indah dari sebelumnya.

Annelise merapikan tatanan rambutnya sedikit, kemudian tersenyum manis pada dirinya dalam kaca tersebut. Terdiam, hening membuatnya larut dengan dunia alam bawah sadarnya.

"Nona, nona," suara lirih itu memanggilnya berulang kali, sampai sebuah tangan memegang halus bahu Annelise, menyadarkannya dari lamunan, "semuanya siap nona."

"Terima kasih," Annelise bangkit dari duduknya, berjalan kearah pemandian air hangat yang disiapkan untuknya.

Sentuhan air hangat menyapa lembut kulit halusnya, kehangatan menyelimuti dirinya bersamaan dengan ketenangan pikiran yang ikut menyelimuti keheningan malam itu.

***

Malam semakin gelap, alam begitu sunyi. Suara-suara serangga mengisi kesunyian malam itu, sesekali suara para peminum bersorak memenuhi jalan depan kastil mungil miliknya. Annelise masih terbangun diwaktu malam yang selarut ini, menatap kearah langit-langit kamar mewahnya.

Pikirannya berkecamuk, akankah surat itu terbaca oleh seseorang dan kemudian terbalas ataukah malah mungkin tidak terjamah oleh salah seorangpun? Annelise bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang mewahnya. Ia menatap kearah luar melalui celah-celah cahaya terang masuk melalui gorden putih yang sedikit tersingkap oleh desiran angin malam itu. Annelise kembali merebahkan dirinya di ranjang empuk itu, tak berselang lama ia terlelap dengan raut wajah yang nampak penuh dengan beban pikiran.

Annelise Adalgiso, seorang putri kerajaan yang dengan sengaja memilih untuk tidak hidup dalam Istana kerajaan megahnya, ia memilih sebuah kastil kecil di sudut kota untuknya tinggal dengan harapan suatu saat akan ada seorang pangeran yang meminangnya layaknya seorang cinderella-seperti angannya, tapi ia lupa bahwa cinderella menjadi putri kerajaan dan hidup dengan seorang pangeran tampan setelah ia bertahun-tahun menjadi pelayan dikeluarganya sendiri. Annelise tidak pernah tahu, bahwa pilihannya untuk hidup sendiri ternyata menjadi dampak buruk yang berkelanjutan bagi hidupnya.

***

Sore itu, sang putri kerajaan terduduk dikursi taman mungil dalam kastil kecil miliknya, menatap nanar ke jalanan yang masih ramai di depan kastil. Ia sedang gusar, menanti seseorang yang tak kunjung tiba. Seekor kupu-kupu putih kecil hinggap tepat diatas telapak tangannya membuat sang putri mengalihkan pandangannya kearah kupu-kupu itu.

Sang putri mengangkat tangannya perlahan, tak membiarkan kupu-kupu kecil itu terbang dan menjauh darinya.

"hai, kenapa kau bisa di sini kupu-kupu?" Tanyanya sambil menatap anggun pada hewan indah itu, ia lupa akan kegusarannya. Tak berselang lama,

"Nona, Alice ingin menemuimu," ucap Charlotte yang datang tiba-tiba, "ia menunggu di sana." Lanjutnya kemudian sembari melirik kearah gadis dengan pakaian sederhananya.

"Antar dia kemari!" Perintahnya pada Charlotte.

Charlotte sedikit membungkukkan badannya memberi penghormatan pada sang putri kemudian pergi kearah gadis yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Ia kembali, membawa gadis bernama 'Alice' yang sedang berjalan mengikutinya dari arah belakang. Charlotte dan Alice tiba tepat pada saat sang putri membiarkan kupu-kupu mungil itu terbang bebas ke alam liar.

"Apa sudah ada balasan pesan darinya Alice?" Tanya sang putri dengan binar tatap sebuah harapan.

"Maaf Anne, aku telat memberi kabar padamu," Alice merundukkan kepalanya pelan, "tidak ada balasan apapun darinya, aku menemukan dia sedang duduk mesra dengan seorang wanita, dan aku pikir wanita itu adalah wanita bangsawan," Alice memberanikan diri mengangkat kepalanya, dia takut amarah Annelise akan membuncah. Annelise terduduk lemas, air mata jatuh membasahi pipi ranumnya. Alice melipat kakinya ke belakang tepat di depan sang putri hingga kedua tangan Alice mampu menyentuh kedua tangan sang putri.

"Anne aku tahu ini sulit dan sakit untukmu, tapi aku akan lebih sakit jika aku harus berbohong padamu tentang sebuah kebenaran," Alice menepuk pergelangan sang putri lembut. Annelise mengusap air matanya pelan, menyisakan hidung kemerahan dan mata yang masih sembab.

"Alice, apa aku kurang bagi hidupnya? Aku bahkan rela tinggal di sebuah kastil kecil demi mengharapkan dia menjadi pangeran yang akan datang menolongku," sang putri yang barusan kembali mengusap air matanya justru kembali menjatuhkan air matanya. Alice tertegun. Benar, gadis dihadapannya adalah seorang putri kerajaan yang rela hidup di sebuah kastil yang tidak semegah Istananya demi seorang putra panglima yang katanya 'akan memberikan hidupnya untuk Annelise', sekali lagi-katanya.

Tiba-tiba masuk seorang panglima dengan jubah kebesarannya, di tangan kirinya menggenggam pedang tajam berukuran satu meter, dan di tangan satunya membawa sebuah gulungan surat. Ia jalan tergopoh ke arah sang putri, melipat satu kakinya kebelakang dan satu lagi kedepan memberi penghormatan, "salam Yang Mulia," panglima itu kembali berdiri.

"Ada perlu apa mencariku?" panglima itu menyerahkan gulungan surat kepada sang putri.

"Duke menyerahkan ini padaku untukmu." Anne menerimanya.

"Pergilah!" Perintah Annelise disusul dengan kepergian sang panglima, "dan kau Alice, terima kasih atas kabarmu. Pergilah, jangan khawatirkan aku!" perintah Annelise kemudian. Alice mengundurkan dirinya, pergi meninggalkan latar kastil miliknya diikuti oleh Charlotte dibelakangnya.

Annelise membuka gulungan itu pelan, sebuah surat panggilan untuk hadir di pesta milik Duke, lagi-lagi pesta pemilihan selir, pasti ia akan bermain-main lagi disana, Annelise menerka-nerka.

Mawar yang PatahWhere stories live. Discover now