Satu-B

18 4 0
                                    

Malam tiba, dingin mulai menyusup melalui jari jemari empunya, mengganggu ketenangan, membuat mereka merapatkan jaket jubah mereka semakin dalam. Annelise mematut dirinya di depan cermin, setelan gaun putih dengan pernak-pernik menambah kesan karismanya, Charlotte mendatanginya ditengah-tengah lamunan nya. Menyodorkan beberapa pilihan mahkota berukuran kecil.

"Ini saja." Annelise menunjuk pelan satu mahkota kecil dengan nuansa putih dengan ujung lentik jari telunjuknya. Charlotte meletakkan mahkota itu pelan, kemudian memasangkannya pada kepala putri Annelise, sungguh benar-benar mempesona.

 Charlotte meletakkan mahkota itu pelan, kemudian memasangkannya pada kepala putri Annelise, sungguh benar-benar mempesona

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

"Cantik." Puji Charlotte. Annelise tersenyum merapikan pakaiannya.

"Nona, kereta kuda milik putri Esther sudah tiba." Paman Charlie sekaligus pengurus kastil menyampaikan pesan pada Annalise di luar pintu kamarnya.

"Baik, aku segera siap," jawab Annelise singkat, Langkah paman Charlie yang hendak pergi terdengan pelan, "Paman Charlie," panggilnya kemudian.

"Iya Nona, saya disini."

"Apakah kakak ikut Bersama kereta kudanya?"

"Iya, putri Esther menunggu Anda di kereta kudanya."

"Terima kasih, pergilah dan katakana padanya aku segera keluar!" perintahnya pada paman Charlie.

Tak berselang lama Annelise keluar dari kamarnya, malam itu benar-benar penampilan yang menakjubkan, Annelise sungguh mempesona.

Tak tuk tak tuk, suara hentakan sepatu Annelise memenuhi Lorong kosong yang hampa, ia menaiki kereta kuda putri Esther.

Esther Adalgiso, ia adalah putri tertua di kerajaan, tinggal di paviliun terbaik kerajaan, namun sayang tahta kerajaan tak akan jatuh padanya, melainkan pada saudara laki-lakinya, Morgan Adalgiso. Dua kakak beradik itu saling bertatap mata, sesekali hentakan kaki kuda yang berjalan melewati kerikil-kerikil kecil membuat mereka menggeser duduknya sedikit.

"Sampai kapan kau akan tinggal di kastil itu? Tidak ingin kembali ke Istana? ibunda selalu menanyakanmu, bahkan aku sampai tidak tahu harus menjawab apa padanya." Esther membuka pembicaraan, menghilangkan keheningan. Memang benar, sejak Annelise tinggal di kastil sudut kota itu, jangankan untuk berbicara pada ketiga saudaranya, bahkan sekadar mengunjungi Ibunda nya saja entah kapan ia lakukan.

"Jika kakak memecah keheningan hanya dengan pertanyaan konyol seperti ini, lebih baik mungkin kita berada dalam keheningan saja selama perjalanan," ujar Annelise datar, "toh aku tidak akan pernah menjawab pertanyaan seperti itu, siapapun yang bertanya. Aku rasa Kakak tahu itu bukan? Putri Esther tidak mungkin bodoh sepertiku, benar bukan?" Annelise menatap mata putri Esther dalam-dalam, senyumnya ia Tarik sedikit, simpul saja, sederhana dan benar-benar mematikan.

 Aku rasa Kakak tahu itu bukan? Putri Esther tidak mungkin bodoh sepertiku, benar bukan?" Annelise menatap mata putri Esther dalam-dalam, senyumnya ia Tarik sedikit, simpul saja, sederhana dan benar-benar mematikan

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
Mawar yang PatahМесто, где живут истории. Откройте их для себя