Dua-A

11 3 0
                                    

Hari berlalu, Annelise mengurung dirinya di kastil. Kastil yang biasanya sedikit ramai dengan kegiatannya menyirami mawar di taman depan, memberi makan kelinci kesayangannya kini telah menyepi, kastil itu kini nampak suram seperti tidak terurus. Annelise menatap langit di luar melalui gorden coklat yang ia singkap sedikit, memori tentangnya dan Natan tak kunjung hilan, justru semakin lekat pada ingatannya. Annelise menutup gorden coklat yang disingkapnya, mengambil jaket jubahnya berwarna biru keemasan, ia ingin menghirup udara segar di luar, paling tidak untuk menjernihkan pikirannya yang kalut saat ini.

Annelise keluar kastil, seperti biasa ia menanggalkan mahkota dan baju kebesarannya. Jalanan masih ramai, para anak-anak jalanan berlari kesana kemari berebutan makanan sisa, sedangkan para orang dewasa sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Langkah Annelise terhenti saat ia melihat sepasang pria dan wanita sedang memadu kasih, ditangan si wanita ada sekuntum mawar putih yang indah, Annelise tersenyum simpul, andai itu aku – batinnya.

"Anne?" Annelise menoleh, suara barusan membuatnya tersadar dari lamunannya. Putri Eshter mendekati Annelise.

"Kakak, ada apa?" tanyanya.

"Aku mencarimu di kediaman, tapi kata paman Charlie kau sedang keluar menghirup udara segar, jadi aku kemari untuk menemuimu." Putri Esther tersenyum.

"Ah ya, ada apa?"

"Datanglah esok ke Istana, aku harap kau tidak keberatan."

"Hm?" Annelise menaikkan alisnya satu. Esther memegang kedua tangan Annelise lembut

"Kau lupa Anne bahwa besok hari pernikahanku?"

"Oh maaf, aku melupakannya. Akan aku usahakan."

"Baiklah, ibunda menunggu kedatanganmu," Esther melepas genggamannya pada tangan Annelise, "terima kasih Anne, aku duluan," Esther pergi, mereka berpisah disana.

Annelise terus berjalan, menyusuri rumah demi rumai, beberapa kedai juga ia lewati. Ia sampai pada taman kota, menghirup udara segar dari sana, sesekali melempar senyum pada manusia yang melewatinya. Annelise duduk pada salah satu bangku taman, ingatannya kembali di malam itu, ia mendekati pohon tempat ia mletakkan sebuah surat rahasia. Ujung surat terlihat dari kejauhan, Annelise berputus asa mengira bahwa surat itu telah terbaca. Ia menarik amplop itu, dahinya mengerenyit, amplop siapa ini? – tanyanya dalam hati.

Annelise membolak balik amplop itu beberapa kali, meyakinkan dirinya bahwa amplop itu miliknya, namun saat melihat cap pada amplop itu, ia menyadari bahwa itu bukan miliknya. Ia hendak kembali meletakkan amplop itu, namun matanya tertuju pada nama yang tertulis di luar amplop, Annelise Adalgiso. Annelise memasukkan amplop, menyembunyikan dibalik baju nya dan segera kembali ke kediaman.

***

Annelise mengeluarkan amplop yang diambilnya, lalu membukanya. Secarik kertas penuh dengan tulisan tinta hitam.

To : Annelise Adalgiso

Hai Annelise, lancang mungkin bagiku membaca suratmu dan membalasnya dengan sepucuk surat. Tentu saja, kau adalah seorang putri Raja Adalgiso yang mulia, sedang aku hanya seorang warga biasa saja.

Ah ya, aku tak bermaksud macam-macam, aku menemukan amplop milikmu di dekat pohon rindang di taman kota, aku sudah membacanya dan tak akan menceritakan isinya pada siapapun, tenang saja.

Aku hanya sedikit punya permintaan yan lancang, bolehkah kita berteman Annelise? Jika kau tidak keberatan tentunya.

Arthur.

Annelise menarik senyumnya sedikit, meletakkan kembali sepucuk surat itu kedalam amplop, meraih selembar surat dan pena dan membalasnya. Annelise memanggil Beatrice dan memintanya meletakkan surat balasan itu di tempat ia meletakkan sebelumnya.

***

Cahaya Mentari menelisik mengintip melaui lambaian kain di jendela yang tersingkap oleh hembusan angin pagi itu. Gaun emas satin dengan hiasan mawar merah di kepalanya menambah kesan anggunnya. Annelise melangkah keluar kediaman dan menaiki kereta kuda istana. setelah sekian lama ia tidak memasuki kerajaan, ini kali pertamanya lagi untuk kesekian kali ia menjejakkan kakinya di Istana. Kereta kuda itu berhenti di gerbang Istana, bangunan yang menjulang tinggi itu benar-benar gagah, sesuai dengan pesona raja Adalgiso dan permaisuri Miriam.

Annelise menuruni kereta kuda, melangkah kedalam Istana diikuti paman Charlie dan Charlotte di belakanngnya. Semua memberinya hormat, tapi Annelise tahu bahwa ini adalah penghormatan yang disebabkan rasa takut, bukan kenyamanan. Seorang gadis berusia belasan tahun berlari kearahnya, gadis yang diharapkan sebagai penutup keturunan kerajaan. Gadis yang diharapkan sebagai bentut rahmat dan keberuntungan pengganti seoarang Annelise, dia Anastasya Adalgiso, putri bungsu Adalgiso.

"Salam Putri," Anastasya memberinya salam, Annelise tersenyum. "akhirnya kau datang juga, ibunda menunggumu di kediaman kakak," ucap Anastasya kemudian menggandeng tangan Annelise lembut kearah kediaman Putri Esther. Annelise melayangkan pandangannya ke sekitar Istana, tidak ada yang berbeda sejak ia meninggalkan Istana beberapa waktu yang lalu, hanya saja mungkin ia tidak mengenal beberapa dari mereka. Annelise tertegun saat berdiri di pelataran kediaman Putri Esther, pelataran itu kini penuh dengan mawar, dan entah kenapa hatinya merasa begitu perih.

"Kak, ayo masuk," Anastasya membuka pintu. Permaisuri Miriam, putri Esther bahkan Raja Adalgiso melihatnya bersamaan. Annelise mematung saat sang ibunda memeluknya erat dan menangis, ah Annelise benci seperti ini, ia pasti akan merasa bersalah pada ibunda. Annelise membalas pelukan permaisuri, rasanya perih, namun ingin menangis ia sudah tak lagi mampu. Annelise melepas pelukan permaisuri perlahan.

"Salam Yang Mulia, Salam Permaisuri, Salam Putri Esther," ujar Annelise memberi salam hormat kepada merea secara bergantian, "Selamat untuk kakak." Esther tersenyum.

"Bagaimana kabarmu Anne?" kali ini raja Adalgiso yang bertanya.

"Izin menjawab Ayah. Annelise baik-baik saja." Annelise tersenyum.

"Syukurlah kau tidak apa-apa," kini permaisuri yang bicara. Esther bangkit dari duduknya, berjalan kearah mereka.

"Ayah, Ibunda, boleh aku bicara dengan Annelise sebentar?" tanya Esther meraih lembut tangan Annelise.

"Baiklah," kata raja Adalgiso, "jangan terlalu lama Esther, waktu yang baik akan tiba, jangan sampai melewatka itu untuk pernikahanmu."

"Baik Ayah," Esther menjawab dengan singkat.

Semua keluar dari sana, kini menyisakan Esther dan Annelise juga bibi Margharet dan Charlotte.

"Keluarlah bibi, aku akan memanggilmu nanti,"

"Baik Putri, jika ada yang kau butuhkan panggil saja aku," bibi Margharet keluar diikuti Charlotte dibelakangnya. Esther menutup pintu pelan, kemudian mendudukkan Annelise di kursi.

"Anne, kau tidak apa-apa?"

"Hm?" Anne menatap mata Esther. Mata yang penuh dengan ketenangan itu adalah kebanggaan ayah dan ibunda.

"Aku tidak bercerita pada ayah dan ibunda mengenai hilangnya dirimu malam itu. Kau baik-baik saja malam itu?" Annelise membuang nafasnya lembut.

"Oh aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa kakak, percayalah." Annelise mengelus lembut punggung tangan milik Esther, "kau akan menikah, berbahagialah dan jangan mengkhawatirkan apapun," Annelise berdiri diikuti Esther dan berjalan membuka pintu, disana bibi Margharet dan Charlotte masih menunggu.

"Bibi, waktu yang baik akan segera tiba, antar kakak ke pelaminan. Aku ingin berjalan-jalan sebentar." Ujar Annelise pada bibi Margharet, "dan kau Charlotte, temani mereka ke sana."

"Baik Putri Annelise," jawab bibi Margharet dan Charlotte bersamaan. Mereka bertiga melangkah pergi, meninggalkan Annelise di kediaman itu sendirian.

***
Bersambung....

Jangan lupa supportnya yaa!!!
Jangan lupa juga baca cerita aku dengan judul "Perih Pertama"

Mawar yang PatahWhere stories live. Discover now