01

42 17 3
                                    

Surabaya sore ini hujan, menjebak banyak manusia yang harusnya bisa segera pulang dan merebahkan dirinya beristirahat jadi sedikit lebih tertunda dari biasanya. Hawa dingin kini lebih mendominasi, semangkuk indomie buatan Bunda tiba-tiba saja terlintas dibenak Rena. Ah! Sungguh, dia kedinginan sekaligus kelaparan sekarang.

Sambil menunggu hujan reda, Rena mengabari orang rumah kalau dia sedikit terlambat pulang hari ini. Sambil duduk di bangku salah satu yang berada di koridor sekolah, netranya kini mulai menangkap segala aktivitas disekelilingnya. Ada yang masi sibuk piket dikelas, ada yang lebih memilih berbincang untuk sembari menunggu jemputan, dan ada yang hanya sekedar menikmati hujan dengan mengabadikannya lewat kamera di ponselnya.

Tapi Rena lebih memilih mendengarkan musik lewat headset-nya, sambil mentap hujan yang semakin membasuh bumi. Menghapus debu bergantian dengan harum petrichor yang menguar, membuat siapa saja rasanya hanya ingin membungkus diri dalam selimut.

Tepukan di bahunya membuat Rena menoleh dan reflek menarik headset ditelinga sebelah kirinya.

"Iya?" Tanya Rena pada lelaki berkulit tan yang menegurnya, dia tidak mengenali lelaki itu. Tapi dilihat dari seragamnya saat ini membuat Rena menebak dia adalah Kakak kelasnya.

"Ada payung?" Katanya membuat Rena menggelengkan kepalanya heran, bukan karena pertanyaannya tapi karena sikapnya yang tiba-tiba menegur orang yang bahkan mereka saja tidak saling mengenal satu sama lain.

"Nih." Katanya lagi, kali ini dia menyodorkan sebuah payung bermotif warna-warni ditangannya itu untukku, iya ngga salah, payungnya itu yang mirip sama abang-abang telor gulung yang suka pasang payungnya di gerobak dagangannya itu loh.

'Aduh maaf Kak, ngga bermaksud. Lagian mirip banget sih..' Seru Rena didalam hatinya, dengan cepat dia menggelengkan kepalanya ribut.

Lagi-lagi Rena dibuat heran dengan lelaki asing ini, dengan segan dan sungkan Rena beranjak dari duduknya, "Oh, ngga usah Kak gapapa, makasih."

"Ambil aja, hujannya makin gede tuh, yang ada lo ngga bisa pulang. Mau nginep disekolah emangnya?"

"Loh terus nanti Kakak gimana?"

"Gampang, nih ambil."

Akhirnya Rena menerima payungnya, tanpa aba-aba bahkan dia belum sempat mengucapkan rasa terimakasih, tapi laki-laki dengan rambut yang sedikit memanjang dan acak-acakan itu berlari menerjang hujan dengan merelakan ransel hitam dan seragamnya basah karena lebih memilih memberikan payungnya sendiri padanya.

Padahal penampilannya berbanding terbalik dengan sikapnya, iya, bahkan tadi Rena sempat takut dan sungkan. Melihat caranya berpenampilan dengan seragam sekolah yang dikeluarkan dan celana abu-abunya yang dicoret-coret tipp-ex lumayan banyak. Rena sempat ragu awalnya, tapi dia teringat ucapan Ayah untuk jangan menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja, terkadang yang menurut kita buruk justru menurut Tuhan itu yang terbaik.

Rena bergeming menatap punggung Kakak kelasnya itu yang semakin pudar termakan jarak, dia masih tidak habis pikir kenapa lelaki itu rela hujan-hujanan hanya untuk meminjamkan payungnya? Padahal dia bisa saja untuk tidak peduli dan pergi.

Sebenarnya dia itu siapa?

Sambil terus berjalan keluar sekolah menggunakan payung itu menuju halte bus, Rena kembali hanyut dalam pikirannya, setelah ini dia akan memikirkan bagaimana caranya dia mengembalikan payung ini. Mengetahui namanya saja tidak bagaimana dia tahu dimana kelas lelaki itu?

Ah! Sudahlah, urusan itu biar nanti Rena pikirkan lagi, atau dia akan meminta pendapat dari Kanaya, sahabatnya.

***

Rumah SakitWhere stories live. Discover now