07

32 12 5
                                    

Semua manusia dibumi punya caranya masing-masing dalam merayakan hal-hal bersejarah di dalam kehidupannya.
Ntah dikehidupannya yang ini atau bahkan dikehidupannya yang nanti.
Dan perayaan adalah hal bersejarah yang dinanti dan juga diharapkan banyak manusia, adalah gudang sejuta bahagianya makhluk bumi, adalah cahaya yang menerangi ditengah gelapnya gulita.
Lantas, akan disebut apa jadinya? Jika itu adalah tentang sebuah merayakan perasaan yang telah lama mati rasa?

........oooOooo.........




"Mau sampai kapan sih, Ris?"

Haris yang mendengar ucapan dari temannnya itu pun hanya bergeming, karena dia juga sama halnya tidak tahu, akan sampai kapan dirinya ini diliputi rasa sesal yang kian hari justru semakin payah untuk dihilangkan.

Tepukan di bahunya membuat Haris kembali menyeimbangkan kesadarannya, sudah satu botol dia habiskan, tapi Haris masi ingin terus berlanjut dengan sebotol alkohol lagi yang kini tersisa setengah yang tengah di teguknya malam ini.

Iya, Haris kini memilih pergi menuju Club Bar di pusat kota. Pikirannya tengah kacau dan hasratnya terus meronta-ronta untuk segera pergi menuju tempat haram tersebut.

Kepalanya kini mulai berdenyut dan kesadarannya pula mulai berangsur-angsur menipis, namun sedari tadi Haris terus menenggak minuman beralkohol yang di pesannya itu.

"Dunia lo ngga cuma stuck disini doang, Ris. Mau cara hidup lo diseret atau bahkan merangkak sekalipun kehidupan lo bakalan terus berjalan." Kata Tama mulai memberikan kalimat-kalimat wejangan untuk temannya yang tengah kalut malam ini.

Di teguknya kembali gelas yang ntah sudah ke berapa kalinya itu. Haris menyugar rambutnya kebelakang dan menghembuskan napasnya kasar. Pandangannya menatap lurus kedepan.

Kosong.

Berbeda dengan pikiran dan hatinya yang tengah diporak porandakan dunia, netranya masi terus menatap kedepan seakan-akan hanya dengan pandangannya itu bisa menusuk siapa saja disana.

Miris.

Benar-benar miris. Netra itu kini telah lama kehilangan sinarnya. Hhh... Sungguh! Apa-apan ini?

Kenapa menjadi lemah sekali dirinya ini, sejak kapan dia mengutamakan perasaannya?

Kemana logikanya itu pergi?

Kenapa sekarang seolah-olah yang berfungsi hanya hatinya saja?

Rutuknya bertubi-tubi di dalam hati dengan perasaan yang terus memaki-maki dirinya.

"Disini, rasanya itu kosong tapi sakit, sesek Tam. Rasanya bener-bener nyiksa, rasanya.." Katanya mulai meracau sambil terus memukul-mukuli dadanya, berusaha menghilangkan rasa sesak yang menerpa rongga-rongga hatinya yang semakin banyak lebam-lebam disana.

"Sebenernya gua disini tuh ngapain? Orang tua gua bahkan ngga menginginkan kehadiran gua, Tam. Padahal gua juga ngga minta buat lahir disini. Mereka yang buat gua ada, tapi kenapa seolah-olah yang berhak disalahin sepenuhnya disini itu gua? Bahkan buat milih iya atau tidaknya gua lahir kedunia aja Tuhan ngga kasih lihat itu ke gua." Lanjutnya sambil menuangkan sisa alkohol yang dengan sigap ditahan oleh tangan temannya.

Tama menggelengkan kepalanya dan berdecak kesal, "lo kalau mau modar jangan norak, ngga lucu kalau sampai ada yang buat artikel tentang anak muda yang mati karena mabok."

Haris mendecih sungkan, bahkan dia tidak peduli dengan itu semua. Dengan kasar dia menepis tangan Tama untuk segera menjauhkan lengannya, untuk saat ini alkohol jauh lebih baik.

Pikirnya tak logis yang benar-benar bodoh.

"Berisik. Ngga usah bacot lo!"

"Orang dibilangin, batu banget heran. Seengganya kalau mau mati yang kerenan dikit lah. Kaya misalnya lagi belajar Fisika atau ngga ya lagi khotbah Jumat lah." Cerca Tama sambil menoyor kepala Haris dan merebut botol alkohol dari lengan teman sialannya itu.

Tama menarik Haris untuk segera beranjak dari tempatnya, di papahnya Haris keluar dari tempat haram itu. Ini sudah tengah malam dan sedari tadi Haris susah sekali untuk diajak pulang, Tama benar-benar dibuat tidak habis pikir dengan temannya yang satu ini.

"Bisa-bisa ni bocah bonyok lagi kaya tempo hari." Gumam Tama pada dirinya sendiri.

Perjuangan Tama mengurus temannya yang sedang mabuk ini memang patut diacungi sandal, eh! Jempol maksdunya.

"Apasih?!" Haris menarik lengannya dan menepis tangan temannya, yang dibalas Tama dengan menoyor kepalanya membuat tumbuh Haris kelimpungan dan hampir jatuh jika sajaa Tama tidak segera menahannya.

Tidak menyerah, Tama langsung menarik tubuh jangkung Haris dan langsung memapahnya lagi untuk segera keluar dari Bar.

"Lo kalau mabok nyusahin nyet, makanya kalau galau ngga usah belagu pakai acara minum-minum deh lo, Ris." Gerutunya sambil terus berjalan, sedangkan Haris hanya pasrah karena kepalanya saat ini benar-benar pening bukan main.

Lagi-lagi Tama berdecak sebal sambil terus berkali-kali mengumpat, "lo bisa diam dulu ngga si, anjing!" Katanya yang sama sekali tak diindahkan oleh Haris, iya lah! Orang kesadarannya aja semakin menghilang.

"Na, sorry.. Gua minta maaf, gua beneran ngga dikasih pilihan apapun-gua, gua.. Na, setidaknya jangan jauhin gua..."

Tama memutar bola matanya malas, "ngga akan di maafin, lo goblok soalnya." Timpal Tama sama-sama bodohnya.

Sepanjang jalan Haris terus melantur, mengundang tatapan heran sekaligus kesal dari orang-orang, Tama berusaha mempercepat langkahnya untuk segera sampai menuju parkiran, karena Haris kalau sudah mabuk bukan hanya menyusahkan, tapi juga memalukan!

"Gua harus gimana lagi supaya lo tahu, kalau sebenarnya yang sakit disini bukan cuma lo, Na? Gua harus pulang kemana lagi kalau dunia lagi bersikap ngga adil kaya sekarang? Rena lo--ukhuk ukhuk!"

Tama berdesis ngeri, benar-benar menyedihkan sekali temannya ini.

"Ngga gimana-gimana, udah lo diam aja tai! Banyak banget bacot nyet. Si Rena udah ngga akan mau lagi deket-deket sama lo." Katanya yang lagi-lagi menanggapi ocehan Haris.

Apa cinta memang serumit ini?

Temannya yang sekeras batu ini saja bisa menjadi sangat tak berdaya karena cinta.

"Apa gua juga nyerah aja kaliya, buat deketin si Hera?"

Tama melupakan satu hal, bahwasanya jatuh cinta juga harus siap menerima rasa sakit karena resiko jatuhnya.

***



Bersambung........

halaman ini aku ketik ditengah-tengah kerisauan peluh yang pelik, dengan perasaan-perasaan berat dan penuh emosi, semoga chapter kali ini bisa tersampaikan dengan baik.

Rumah SakitDove le storie prendono vita. Scoprilo ora