18-Baby Blues

379 49 4
                                    

"Om, dedeknya lucu-lucu! Bian boleh minta satu?"

"Huh?!"

Fourth mengerjap, ia tercengang dengan apa yang baru saja keponakannya minta. Dan pembicaraan mereka itu di dengar oleh seluruh keluarga yang datang ke kediaman Jirawathanakul hari ini.

Keponakannya kini baru memasuki usia sepuluh tahun, dengan didikan Mix yang luar biasa, Bian selalu aktif berbicara, entah menggumam sesuatu atau spontan bertanya akan apa yang ia lihat.

"Wah Bian, kalo kamu mau adek, coba minta sama papa sama ayah!" Saran Arm, salah satu kakeknya.

Kini Mix yang terbatuk, tiba-tiba tersedak puding yang tengah disantapnya. Rasanya puding itu sudah tidak lembut lagi karena percakapan pamannya dengan anaknya.

Bian tertarik dengan penuturan sang kakek, dan akhirnya pergi menghampiri papanya, "Pa, Bian mau adek, boleh? Memangnya adek itu asalnya dari mana? Kalo ada di toko, Bian mau beli!" Tanya Bian dengan raut penuh tanya yang begitu polos. Sontak pertanyaan si kecil membuat seluruh pembicaraan di ruangan itu terhenti, tapi Mix selalu punya solusi.

"Bian, dengerin papa,"

Mix meletakkan piring pudding di atas meja, pria itu beralih menatap putranya lurus, "Dedek bayi itu ada karena cintanya orang tua mereka-"

"Kaya papa sama ayah?" Sela Bian.

Sang papa mengangguk, "Iya, Bian. Kamu pun ada karena cintanya papa sama ayah, begitupun adek kembar yang ada karena cintanya om Gemi dan om Fou. Dan adanya dedek bayi nggak bisa dipaksakan, Tuhan yang titipin mereka ke kita," kini Mix menepuk mantap bahu putranya, "Jadi Bian sudah paham?"

Si kecil terdiam sebentar setelah mendengarkan penjelasan sang papa, lalu kemudian tersenyum dan mengangguk, "Bian paham, papa. Tapi... cinta itu apa?" Tanyanya lagi dengan memiringkan kepalanya, dengan mata yang membola lucu dan pipi yang gembul itu membuat Mix ingin sekali menggigit pipi putranya sendiri.

Dalam hati, Mix ingin menangis dan mengamuk di lantai seperti dirinya waktu dulu ia seusia Bian, namun yang ia lakukan kini adalah menarik nafas dalam dan tersenyum kepada putranya, "Cinta itu, kaya rasa sayangnya Bian ke papa dan ayah, papa juga sayang ayah kaya Bian,"

"Apa papa cium ayah setiap hari? Kayak Bian cium papa setiap hari? Eh tapi kan ayah kemarin-kemarin ada di luar sana bantuin orang-orang," Monolognya menuai gelak dari orang-orang disekitarnya.

"Iya sayang, kenapa Bian nggak lanjut main sama Blue aja?" Tawar Mix yang sudah mulai lelah.

Bocah ceriwis itu tersenyum cerah, "Iya! Bian mau main sama Blue aja!" Serunya lalu berlari menghampiri Blue yang asyik dengan dunia mainnya.

Sang papa menghela nafas, ia menyandarkan punggungnya malas di kursi, sedangkan aktifitas lainnya kembali berlanjut. Berbicara dengan Bian seperti kembali berhadapan dengan profesor di kampusnya dulu, pertanyaannya begitu kritis, dan melelahkan.

Lalu salah satu bibi Mix menyahut dengan bibi yang lainnya, "Papanya pinter, anaknya juga udah pasti pinter," Tuturnya menyanjung di depan Mix meskipun tidak mengajak Mix berbicara.

"Iya, baru denger loh aku jawaban keren gitu! Biasanya kan jawabannya di bikin pake tepung sama telur! Helehhh," Sambung yang lain dengan bangga, "Didikannya oke juga,"

Mendengar itu, Mix mendadak tersipu malu, papa dokter itu kembali meraih makanannya yang sempat didiamkan tadi, lalu melahapnya dengan nikmat.

Fourth yang mengamati interaksi Bian dan papanya tersenyum, "Nanti kita didik anak-anak kita kayak gitu juga ya, Gem?" Ujar Fourth berharap pada lelaki di sampingnya.

"Pasti," Sahut Gemini menyanggupi.

***

Saat ini Fourth begitu kerepotan menangani dua bayinya yang menangis tanpa henti, beradu seruan yang terbatas oleh dinding kedap suara sehingga tidak mengganggu acara perkenalan bayi kembarnya di kediaman Jira hari itu. Namun tetap saja, rasanya kepala Fourth mau meledak, ia stress bukan main.

"Udah dong Pahn... tolong kerjasamanya, ya? Ayah capek banget beneran," Gumam Fourth hampir gila, dan si bungsu masih saja menangis, beradu dengan si kakak tengah yang digendong Gemini.

Pria yang lebih tua tidak berkomentar apapun, ia lebih fokus untuk mengganti popok Janhae dan lalu menimangnya agar kembali nyaman.

Segala upaya dilakukan, Fourth mencoba bersabar dan tetap fokus, menenangkan diri agar si bayi tidak terdistraksi emosinya yang meluap-luap. Tapi rasanya percuma, si bungsu masih saja rewel.

"Arghh! Kamu bisa diem nggak sih?!"

Hampir, hampir saja jantung Gemini pindah ke lutut karena Fourth hendak membanting bayinya sendiri, namun diurungkan karena Pahn kini tergeletak begitu saja sambil terus menangis di atas kasur. Sementara Fourth duduk bersandar di lemari, menekuk lututnya ikut menangis sama seperti bayi malang di sana.

Keadaan tidak terkendali, buru-buru Gemini menghubungi Dunk dan juga Mix agar datang ke kamar mereka secepatnya. Dengan Janhae yang hampir lelap di dalam dekapan, Gemini masih berusaha duduk di samping Fourth dan mengusap bahunya. Lelaki yang lebih tua tak mengeluarkan sepatah kata apapun untuk menenangkan suaminya, tangisan Pahn yang masih belum reda itu saja sudah membuat Fourth hampir gila, Gemini tidak akan menambah keributan di dalam kepala Fourth lagi.

Tak lama, pintu kamar itu terbuka pelan, nampak Dunk dan juga Mix dengan raut khawatir memeriksa keadaan kacau kamar Gemini saat ini.

"Bang, tolong handle anak-anak sebentar, boleh?" Tanya Gemini yang masih setia duduk di sebelah Fourth.

Mix mengangguk tulus, lalu meraih Pahn yang masih menangis itu dan membawa keluar, mengisyaratkan pada Dunk agar membawa Janhae juga.

Dunk tersenyum maklum melihat keadaan adik sepupunya, "Kaya sama siapa aja? Kalian istirahat, ya!" Tutur Dunk tulus.

Setelah keadaan kamar kembali sepi, pelan-pelan Fourth menyadarkan kepalanya pada bahu lebar lelaki satunya, dengan isakan yang masih terdengar sesekali, "Aku capek, Gem," Keluh Fourth serak. Tak ada yang berpindah posisi, baik Gemini maupun Fourth masih nyaman berada di posisinya masing-masing.

Fourth masih terisak meskipun air matanya terus mengalir keluar, dan hidungnya kini memerah kontras dengan kulitnya yang putih pucat, lelaki itu tak kuasa mengeluarkan keluh kesahnya, energinya telah terkuras.

"Aku bilang apa? Susah jadi orang tua, mentalku belum siap! Apalagi langsung tiga! Stress aku kalo kaya gini terus lama-lama!" Keluh Fourth setelah mengumpulkan energinya.

Lagi-lagi menangis, ayah tiga anak tersebut kini meraung memeluk lengan yang lebih tua, melampiaskan kelelahannya selama beberapa minggu terakhir.

"Makan aja kalo nggak di suapin kamu nggak bakal makan, tidur nggak tentu, keluar kamar aja kalo inget!" Gerutu Fourth sambil terisak, "Kalo nggak ada bang Dunk sama mama dan mami yang main ke rumah, nggak tau lagi rupaku kayak gimana?!"

"Isinya tiap hari cuma bayi, bayi, bayi terus! Rasanya duniaku cuma buat mereka aja, buat aku sendiri kapan?! Kamu kasih aku me time nih, pikiranku tetep ke si kembar, otak sama fisikku nih udah capek banget, gem..." Tak ada sanggahan dari ocehan yang lebih muda. Karena menurut Gemini, Fourth telah berusaha menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya hingga melupakan dirinya sendiri.

Meskipun Gemini memberikan afeksi dan dukungan, namun rasanya Fourth masih stress dengan ketiga bayinya, bahkan saat bantuan dari para orang tuanya sekalipun.

Gemini mengusap lelaki di dekapannya, "Gapapa ya sayang? Ada aku, kita lewatin sama-sama," Ujar Gemini menenangkan, "Sekarang tidur, nggak usah khawatir sama si kembar, ada bang Mix, udah pasti bisa ngebatesin orang-orang buat sembarangan nyentuh bayi-bayi. Iya, kan?" Tuturnya menenangkan.

Fourth mengangguk kecil, lalu mendusal pada dada Gemini.

"Sekarang tidur, ya? Dari kemarin kan kamu belum cukup tidurnya, sini! Shh....."












Bersambung, btw mau suami kaya Gemi😭😭

Rahsa : Next Chapter Begin [GeminiFourth]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang