part 37

509 71 6
                                    

Hari sudah sangat malam untuk Randi mengantarkan Sarah pulang ke kost. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan pastinya juga sudah melewati jam malam yang diberlakukan di kost Sarah. Jadi mau tidak mau Sarah harus menginap malam ini.

Leta dan Ibu sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Sedangkan Randi dan Sarah kini masih duduk berdua di ruang tengah, ditemani oleh televisi yang menyala.

Katanya ada suatu hal yang mau Randi bicarakan dengan Sarah.

"Saya serius dengan ucapan saya tadi." Randi mulai membuka suara diantar keduanya, ditengah tamaramnya lampu masih bisa Sarah lihat raut keseriusan pada wajah laki-laki didepannya.

Sarah mengernyitkan dahinya, jujur dia sudah lupa dengan perkataan yang mana. Malam ini terlalu banyak yang mereka bahas hingga memenuhi otak Sarah.

"Yang mana ya Mas? Maaf aku lupa." Sarah meringis merasa malu. Pastilah yang akan dibahas oleh Randi ini topik yang sangat serius, dan bisa-bisanya Sarah melupakan begitu saja.

"Tentang pernikahan." Tegas Randi.

Mata Sarah sedikit melebar saat mendengarkan itu. Dia menatap Randi untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah dengar saat ini.

Mata mereka saling beradu pandang. Bisa Sarah rasakan usapan lembut di telapak tangannya, dan genggaman halus disana.

"Kamu siap?" Sarah mematung, jika kondisinya tadi sangat mendukung lain untuk disini.

Sungguh Sarah sangat tidak membayangkan bahwa mereka akan membahas malam ini juga. Vibe nya sudah berbeda.

"Kamu mau kan nikah sama saya?" Sarah masih tetap mematung, terpaku dengan posisinya. Jantungnya berdetak lebih hebat dari biasanya.

Ditengah keheningan yang terjadi, Sarah bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

"Sarah." Panggilan Randi berhasil menyadarkan Sarah. Sarah memutus pandangan keduanya, dia pun menunduk.

"Mas Randi sendiri gimana?" Bukannya memberikan jawaban, Sarah malah menanyakan balik tentang kesiapan laki-laki yang telah melamarnya.

"Saya sudah siap lahir batin, kamu tau sendiri diumur saya tidak mungkin untuk bermain-main lagi."

"Mas Randi bisa terima aku apa adanya?"

Sarah kembali menatap Randi, dan yang dilihatnya adalah sebuah anggukan yakin yang berasal dari laki-laki itu. Sarah berusaha mencari kebohongan dalam pancaran mata Randi, tapi nihil. Dia tidak menemukannya sama sekali.

"Aku orang gak mampu Mas, Mas Randi bisa terima itu?" Sarah merasa perlu untuk menanyakan tentang kesenjangan sosial yang ada diantara mereka. Dia tidak ingin jika sampai hal ini menjadi masalah kedepannya.

"Dengar Sarah, saya akan menikahi kamu bukan karena harta atau yang lainnya. Ini murni karena saya menginginkan kamu untuk menjaga dan pendamping saya sekaligus menjadi Mama dari Leta."

Randi menjelaskan agar Sarah tidak salah paham pada niat baiknya.

"Soal cinta?" Lirih Sarah. Dia tau bahwa cinta bisa datang karena terbiasa, apalagi melihat mereka yang sama-sama nyaman dalam hubungan ini. Pasti tidak sulit untuk menumbuhkan cinta itu.

"Saya tidak tau definisi cinta menurut kamu bagaimana. Tapi yang jelas saya nyaman dengan kamu, merasa tidak senang saat kamu bersama laki-laki lain. Saya sayang sama kamu, sama besarnya dengan saya menyayangi Leta. Apa itu cukup untuk disebut sebagai cinta?"

Sarah gagap, tidak tau harus menjawab seperti apa. Jawaban yang diberikan Randi cukup untuk meyakinkan dirinya.

"Kamu sendiri bagaimana?" Randi membalik pertanyaannya saat melihat Sarah yang masih tidak memberikan jawaban.

"Emmm. Aku sayang sama Mas Randi, sama Leta juga. Aku juga ngerasa nyaman, merasa kehilangan kalau Mas Randi tiba-tiba hilang tanpa kasih kabar." Sarah merutuki kesunyian yang terjadi malam ini, karena pasti suaranya yang mencicit ini akan terdengar keras dan jelas dipendengaran Randi.

Sarah malu sekali rasanya, baru pertama kali dia menyatakan perasaannya pada laki-laki secara langsung didepan laki-laki tersebut.

"Hubungan kamu dengan dia? Siapa namanya? Irham?" Randi berubah mengulik informasi dari Sarah.

Tentu itu hal wajib untuk dibahas saat ini, sebelum mereka benar-benar melangkahkan pada jenjang yang lebih jauh lagi.

Diingatkan dengan Irham, Sarah pun menghela nafas panjang.

"Aku gak mau lagi punya hubungan sama dia Mas. Ternyata selama ini dia udah punya tunangan, dan dengan berani dia mengatakan mau serius sama aku. Aku ngerasa bersalah sama tunangannya Mas."

Sarah menunduk, meskipun ini bukan kesalahannya tapi tetap saja Sarah merasa ini adalah sebuah aib dari dirinya. Dan sebagai calon suami, Randi berhak untuk mengetahuinya.

Tangan Randi terulur mengelus rambut Sarah pelan.

"Ini bukan salah kamu." Randi berusaha menghibur Sarah. Karena pasti Sarah juga merasa ter-khianati oleh Irham.

Mengetahui tentang hal ini, rasanya ingin sekali Randi menonjok wajah Irham. Hal yang dilakukan Irham sudah termasuk mencoreng nama Sarah, bagaimana jika sampai orang lain tau mengenai Sarah dan Irham. Pasti mereka akan menganggap Sarah yang telah merebut Irham dari tunangannya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Tadi aku juga liat Irham sama tunangannya di pernikahan Lauren." Randi mengangguki itu, dia juga melihatnya. Inilah yang tidak diinginkan Randi.

"Bagaimana perasaan kamu?"

"Biasa aja, dari sejak mengetahui kebenarannya aku emang udah mutusin buat cuek aja sama mereka." Sarah menjeda sejenak penjelasannya. Dia mengambil nafas untuk menceritakan lebih pada Randi.

"Awalnya aku emang sempat jatuh hati lagi sama Irham. Tapi semenjak kedatangan Mas Randi dan melihat kegigihan Mas untuk mendekati aku, entah kenapa tiba-tiba aja aku goyah. Dan ya seperti yang Mas lihat sendiri, sekarang aku disini bersama Mas."

Randi tersenyum, tidak mengelak bahwa dia juga merasa bangga pada dirinya sendiri karena berhasil manarik hati Sarah untuk memilihnya.

"Sekarang semuanya sudah jelas, jadi kapan saya bisa bertemu keluarga kamu?" Tanya Randi mengangkat sedikit alisnya, menggoda Sarah.

"Kapan ya?" Sarah balas menggoda Randi.

"Jangan lama-lama, saya sudah tidak sabar." Ucap Randi dengan pelan sembari memandang mata Sarah.

Sarah memukul lengan Randi pelan, dia tidak bisa berpikir jernih atas ucapan yang Randi lontarkan barusan.

"Bulan depan aja, gimana?"

"Kelamaan."

"Terus maunya kapan?"

"Minggu depan aja." Sarah terperengah.

"Terlalu cepat Mas."

"Lebih cepat lebih baik." Bantah Randi.

"Terserah Mas aja deh. Aku ngikut aja." Pasrah Sarah akhirnya.

"Minggu depan berarti, kamu beritahu keluarga kamu ya. Weekend nanti kita langsung kesana."

Sarah mengangguk saja, sebagai calon istri yang baik kan.

"Boleh peluk?" Randi tiba-tiba bertanya. Sarah jujur saja merasa terkejut, selama ini mereka hanya berani sekedar berpegangan tangan saja, tidak lebih.

Sarah menunduk, tapi dia juga mengangguk. Dan sedetik kemudian, dia bisa merasakan pelukan hangat pertama kalinya dari Randi.

Tidak berlangsung lama, hanya sepuluh detik saja karena setelahnya Randi langsung melepaskan pelukannya.

"Tidur ya, sudah malam."

•  •  •

Back or GoWo Geschichten leben. Entdecke jetzt