🪻Part 19🪻

14 2 0
                                    

Kebencian Monae terhadap Morae semakin mendalam. Yang ada dipikirinnya sekarang hanyalah cara membalas perbuatan Morae padanya. Morae telah menghancurkan kehidupan harmonisnya. Ia juga merupakan anak Damian, tetapi ayahnya seolah tidak menginginkan keberadaannya.

Sebuah rencana yang sudah ia susun akan dijalankan hari ini bersama teman-temannya. Menunggu momen yang tepat untuk merusak nama baik Morae. Cara yang kotor pun Monae lakukan untuk membalas Morae. Tanpa peduli karma akan mendatanginya di kemudian hari.

"Bagi tugas ya. Mor, lu kembaliin bola ini," ujar seorang siswi berambut pendek kepada Morae.

Morae pun hanya mengangguk untuk menyetujui pembagian tugas usai kelas olahraga dilaksanakan. Kemudian, ia pun membawa empat bola basket yang sudah disatukan dalam satu wadah. Cukup berat, tetapi Morae mampu membawanya sendirian.

Dalam perjalanan menuju gudang penyimpanan, Morae melihat wajah yang familier baginya. Ia hendak menyapa, tetapi orang itu lebih dulu masuk ke ruangan yang merupakan tempat penyimpanan berbagai macam fasilitas pendukung sekolah. Tempat itu cukup terpencil sehingga Morae bersyukur bahwa dirinya tidak sendirian. Walau tidak mengeluh saat disuruh, sejujurnya Morae merasa takut jika sendirian. Namun, ia tidak memiliki teman akrab di kelas yang bisa ia ajak pergi bersama.

"Lo Eryx bukan?" tanya Morae ketika melihat seseorang yang sedang sibuk mencari sesuatu di gudang itu. Dengan perlahan Morae mendekatinya setelah meletakkan bola itu di tempat semestinya. 

"Bukan," sahut cowok itu dengan nada dingin.

"Oh." Hanya itu yang bisa Morae katakan saat mengetahui bahwa cowok di depannya itu bukanlah Eryx, melainkan Calix. Kemudian, ia pun berjalan menuju pintu yang tertutup. Ia hendak membukanya, tetapi tidak bisa. Ia merasa ada yang aneh. Setahunya pintu gudang itu tidak rusak dan tidak mungkin terkunci sendiri. "Lix, sini deh," pinta Morae.

"Kenapa? Gue sibuk," sahut Calix. Cowok itu menatap Morae dengan tatapan tajam sehingga membuat Morae menjadi sungkan padanya. Namun, sebenarnya Calix bukanlah marah atau tidak senang pada Morae. Calix memiliki mata yang tajam seperti elang membuat cowok itu terkesan galak dan tidak boleh diganggu.

"Pintunya kekunci," kata Morae dengan nada pelan. Ia sendiri juga sungkan kepada Calix karena mereka tidak terlalu akrab. Namun, ia tidak ada pilihan lain selain menjelaskan situasi dimana mereka terkunci bersama di gudang tersebut.

Tanpa banyak bicara, Calix berjalan mendekat dan berusaha membuka pintu. Sekuat tenaga pun tetap tidak bisa. Sepertinya ada yang mengunci pintu itu dari luar. "Lo bawa hp?" tanya Calix.

Morae menggelengkan kepalanya. Ia sedang mengenakan pakaian olahraga yang tidak memiliki saku. Selain itu, kedua tangannya yang membawa bola basket membuatnya tidak bisa membawa benda lain lagi. Oleh karena itu, ia meninggalkan ponselnya di lapangan. Ia tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini.

Calix berusaha menghidupkan ponselnya yang mati karena kehabisan daya. Biasanya bisa dipakai selama beberapa detik setelah lama mati. "Tolong," kata Calix yang sedang menelepon Draven. Setelah itu, ponselnya pun langsung mati lagi. Semoga saja Draven mengerti dengan maksudnya.

"Lo ngapain bawa hp mati?" celetuk Morae tanpa ia sadari.

Calix tidak menjawab dan hanya menatapnya dengan sinis. Kemudian, ia pun kembali mencari sesuatu yang tak kunjung ia temukan sejak tadi. "Bisa bantu?" tanya Calix sambil menatap Morae yang masih setia berdiri di depan pintu.

"Nyari apa emang?" tanya Morae sambil berjalan mendekat.

"Jangka sorong," kata Calix.

Morae pun terdiam sejenak karena merasa bingung. "Guru siapa ngajar pakai jangka sorong? Perasaan semester ini nggak ada yang perlu alat itu deh," kata Morae.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fatum MWhere stories live. Discover now