38 : Kembali (2)

12 0 0
                                    

◇Steinar◇

Steinar tak pasti ini sudah hari ke berapa ia dalam sunyi. Sekelilingnya hanya gelap. Yang bisa tertangkap oleh telinganya suara tetesan air, derap sepatu bersol tebal, dan napasnya sendiri. Sesekali ia bisa merasakan guncangan yang terjadi selang beberapa menit yang membuat kepalanya terasa pusing.

Steinar kembali mengetuk-ngetukkan jemarinya pada benda terdekatnya. Menggema bunyi besi. Steinar tak pasti ia tengah dikurung di mana, di tempat seperti apa. Entahlah dia ada di darat, air, atau udara. Ia menarik napas. Berjuang keras mempertahankan kewarasannya. Tiba-tiba ia merasakan guncangan lagi. Seakan tempat ia berada tengah dikocok bagai jajanan berbumbu dalam toples yang bumbunya tak rata. Steinar rasanya ingin muntah, tetapi apa yang ingin ia muntahkan? Lidahnya hampir lupa rasanya makanan.

Samar terdengar suara orang yang saling berteriak.

"Ah! Ini tangkapan besarnya?"

Steinar merasakan tubuhnya menegang. Instingnya berkata akan ada sesuatu yang buruk. Kemudian ia mendengar seperti bunyi engsel yang berdecit karena karat. Seseorang mendekat, Steinar bisa merasakannya. Tangan besar dan kasar selanjutnya menarik kasar lengannya. Tubuhnya dilempar seperti karung beras.

"Oh, anak yang sehat. Ia tak tampak tersiksa walau seharian penuh tak diberi makan."

Steinar mengernyit dalam-dalam. Seharian? Astaga, ia merasa kalau ia dalam gelap sudah berhari-hari. Belum ia memahami situasi, penutup mata Steinar ditarik paksa. Serat kainnya sampai menyakiti kelopaknya.

"Wah, warna mata yang cantik."

Steinar mengerjap, beradaptasi dengan cahaya. Panca indranya yang lain mulai kembali berfungsi. Bau asin air laut. Suara camar dari kejauhan. Suara peluit kapal. Tangannya yang merasakan tekstur kasar jalanan pelabuhan. Ah...

Mata Steinar kembali terfokuskan pada manusia-manusia yang menatapnya.

"Anak yang langka. Bagus, tangkapan yang bagus. Kau memberi anak ini harga berapa?"

Seorang pria mungkin umurnya di antara tiga puluh sampai empat puluhan dengan mantel yang menjulur hingga lututnya tengah memandang Steinar seakan ia barang antik mahal dan langka. Di sebelahnya ada seorang pria dengan kaus tanpa lengan dan jaket melilit di pinggang tampak berpikir. Tangan besarnya yang tengah mengusap dagunya menarik perhatian Steinar. Mengingatkan ia akan sensasi tangan yang melemparnya bagai karung beras.

"Sekarung koin emas kupikir," ujar si pria bertangan lebar dengan senyuman miringnya.

Pria bermantel panjang malah tertawa. Tak terintimidasi dengan harga mahal yang lawan bicaranya ucapkan. "Bahkan aku bisa membayar lebih untuk anak ini." Tanpa berpikir panjang ia malah menyodorkan lebih dari dua karung koin emas.

"Astaga, senang berbisnis dengan Anda, Tuan Darragh." Suara tawa menggelegar setelahnya keluar dari bibir tebal si penerima uang.

"Setauku kau tak hanya mendapatkan anak ini?"

Rupanya transaksi belum selesai. Steinar masih diam mengamati situasi.

"Temannya sudah diambil pihak kerajaan. Kudengar dia anak buronan."

Steinar kembali bertanya-tanya, kira-kira siapa yang dimaksud pria yang menyeretnya? Seingatnya, ia, Jaromir, Sol, dan Moon sedang perjalanan pulang lalu mereka diculik. Siapa dari ketiga anak yang dimaksud?

"Oh, jadi anak itu benar anak buronan?" Pria bermantel panjang mengelus dagunya, seakan sedikit terkejut dengan fakta yang baru ia dengar.

"Tak ada yang menyangka kalau anak paladin brengsek itu ternyata selamat. Setahuku kabarnya mereka sudah dihabisi seluruhnya. Namun dari nama anak itu saja sudah dipastikan ia anak paladin itu dan ciri-cirinya sangat terlihat kalau ia anak paladin itu. Beruntung sekali bisa mendapatkan anak itu tanpa sengaja." Pria yang tampak sepertinya sebagai penjual Steinar menjelaskan sambil manggut-manggut.

"Dan dua anak lainnya?"

"Tiba-tiba menghilang begitu saja."

Steinar yang di sana sebagai pencuri dengar mulai memahami kalau Sol dan Moon sepertinya tidak bersamanya. Yang dimaksud anak paladin bisa jadi Jaromir. Walau itu hanya tebakan Steinar. Mendengar kata-kata 'paladin' membuat Steinar bisa sedikit menebak posisinya sekarang. Apakah ini di Gragtus?  Steinar menelan ludah. Ia mengalihkan pandangan ke laut. Bau asin yang tidak asing. Apakah ia akan baik-baik saja sekarang? Steinar tak tau. Bisa saja ia akan menjadi budak setelah ini.

"Aneh, selalu banyak keanehan jika pergi Aratah. Baik, senang berbisnis dengan anda, Tuan Darragh." Pria bermantel panjang kemudian menyalami Tuan Darragh—Steinar akan mengingatnya baik-baik—lalu menyuruh salah satu orang berbaju tunik hitam yang sedari tadi diam di sampingnya menyeret Steinar.

Tentu Steinar tak protes. Ia memilih diam ketimbang nanti akan ada masalah baru sembari ia memahami tempat di sekelilingnya. Dari pelabuhan, Steinar dibawa keluar melewati pedagang ikan yang bersorak-sorai menjajakan ikan segar yang baru semalam ditangkap. Amis. Steinar mengernyit. Rasa mualnya kembali. Hampir-hampir ia ingin pingsan.

"Berjalan yang tegak." Seseorang menyodok punggung Steinar dengan sesuatu yang keras dan dingin, senapan, tebakan Steinar yang membuatnya nyaris malah tersungkur. Belum lagi kini tangannya diikat di depan menggunakan tali dan diseret ujungnya oleh orang di depannya.

Mereka berjalan sampai menemui keramaian jalan. Sebuah mobil hitam menunggu di tepian jalan ditemani seorang berpakaian kemeja putih dengan dilengkapi jas hitam yang memiliki ekor. Steinar tak tau jenis jas apa itu. Namun, lelaki itu langsung sigap membukakan pintu mobil begitu Tuan Darragh mendekat.

Ia masuk bersama tuan kaya itu ke dalam mobil yang sama. Itu yang Steinar herankan. Ia bukannya di sini akan menjadi seorang budak?

"Mulai hari ini kau akan menjadi pelayan pribadiku, Anak Muda. Namamu sekarang Blå. Lupakan identitasmu yang lama. Sekarang, kau adalah lembaran putih baru yang akan menulis cerita tentang Blå," ujar Tuan Darragh saat mobil melaju.

Steinar untuk sementara hanya mengangguk. Walau kepalanya penuh pertanyaan. Untuk sekarang ia lebih baik memendamnya. Firasatnya berkata kalau setelah ini akan terjadi hal yang buruk. Namun entah mengapa kali ini yang ia rasakan bukan hanya sekadar hal buruk. Firasatnya berkata akan terjadi hal terburuk yang pernah ia rasakan dalam hidupnya.

.

Rumah Tuan Darragh sebesar sekolahnya dulu saat bersekolah dengan Jaromir dan Yerzhan. Steinar langsung terserang pening hanya karena melihat rumah yang begitu besar dan megah. Bukan main memang orang kaya. Namun ia mengamati segalanya dalam diam. Bahkan ia tak berani terang-terangan mendongakkan kepala untuk melihat rumah besar yang sedang ia tuju.

Anehnya, di sini tak banyak orang. Biasanya yang Steinar baca di novel-novel yang pernah ia pinjam di perpustakaan, orang kaya seperti ini punya segudang pelayan yang ada menyambutnya begitu sang tuan rumah memasuki gerbang rumah. Namun semenjak tadi yang ada hanyalah laki-laki yang menjemput mereka di pasar ikan. Ia yang dengan sigap menerima mantel yang dilepaskan Tuan Darragh. Ia juga yang sigap membukakan pintu gerbang utama. Steinar menggeleng kecil. Buat apa ia ambil pusing.

Sekarang yang harus ia khawatirkan adalah hidupnya.

Ia belum bisa tau siapa Tuan Darragh ini. Ia tak tau pula tujuan orang ini. Bisa saja kata-kata yang diucapkan orang itu saat di mobil hanyalah omong kosong. Kali ini hidupnya milik pria bernama Tuan Darragh. Ia bukan anak yang merdeka lagi.

"Ulrik, bawa Blå ke kamarnya. Beritahu segala jadwal yang harus ia lakukan mulai dari nanti siang. Lalu datanglah ke ruanganku saat senja mulai menggelap." Pesan yang dituturkan Tuan Darragh begitu mereka sudah memasuki rumah.

Laki-laki yang sedari tadi mendampingi Tuan Darragh mengangguk patuh. Dengan lembut ia menepuk pundak Steinar. "Ikuti saya," ujarnya dengan intonasi yang tertata.

Steinar mengangguk. Rumah besar dan megah. Mungkin kali ini ia akan merasakan penjara lagi dengan tampilan yang berbeda.

.

.

Author's note : 

Hai :) saya muncul lagi. Aslinya bab ini sudah tertulis cukup lama tapi lupa mau di-upload :D semoga kalian menikmatinya ^^ selamat membaca!

WanderlustWhere stories live. Discover now