1: Satu dekade

74 10 18
                                    

Dua jam berlalu sejak jasad ibu masuk ke dalam mesin kremasi. Selama dua jam tersebut [Name] hanya duduk dengan jarak sepuluh meter dari mesin kremasi sambil memandangi tanpa adanya niatan bertemu para pelayat.

Rasanya gadis itu masih tak menyangka jika ibu telah tiada. Padahal [Name] hanya meninggalkan ibu beberapa menit saja untuk memenuhi perintahnya, tetapi ibu justru meninggalkan [Name] untuk selamanya.

Rambut tidak tertata dengan baik, pakaian serba hitam yang dikenakan tampak kusut karena tak disetrika dan terakhir mata sembab semakin memperlihatkan betapa kacaunya gadis itu.

Setelah dua jam berlalu, beberapa staff rumah duka berdatangan dan mulai mengeluarkan ibu dari dalam mesin kremasi. Saat dimasukkan ke dalam mesin kremasi, jasad ibu masih utuh dan ketika dikeluarkan, [Name] tak melihat apapun selain tulang belulang ibu yang tersisa dari pembakaran.

Melihatnya membuat hati [Name] hancur berkeping-keping. Bahkan dia sudah tak punya tenaga lagi untuk berdiri dan melihat seluruh tulang belulang ibu.

"Jinpachi-san, mari mengumpulkan abu tulang ibu Anda."

Ketika nama depannya disebut membuat [Name] menarik napas dalam-dalam. Air mata yang jatuh segera ditepis lalu tubuh ditarik berdiri. Sempat sempoyongan, [Name] mengusap wajahnya dan berjalan pelan menghampiri ibunya.

Saat melihat ibunya hanya tersisa tulang belulang kontan membuat [Name] jatuh terduduk. Dada diremas, mengisyaratkan jika [Name] sedang menguatkan dirinya untuk mampu mengumpulkan tulang ibunya.

Ini semua karena [Name] tidak ingin orang lain melakukannya.

"Jika Anda tidak sanggup, biar kami saja yang lakukan," tawar staff perempuan pada [Name].

Gadis yang tengah kacau itu menggeleng. Dia kembali bangkit berdiri dan menarik napas dalam-dalam. Kau pasti bisa. Berkali-kali dia mengucapkan kalimat tersebut untuk menguatkan dirinya sendiri. Sebab dalam keadaan seperti ini, jika bukan dirinya yang merangkul diri sendiri, maka siapa lagi?

Tangan meraih sumpit kayu yang sudah disediakan dan setelahnya [Name] mengambil tulang belulang ibunya satu persatu.

Siapa yang sangka jika hari ini [Name] akan melakukan hal seperti ini?

Dia mungkin pernah membayangkan hal-hal seperti ini akan terjadi. Bahkan dia sudah berusaha untuk mempersiapkan dirinya agar ikhlas ketika melakukannya. Namun, [Name] tak menyangka akan melakukan hal tersebut secepat ini.

Baru semalam dia bersenda gurau dengan ibu, baru semalam dia menunjukkan cintanya, baru semalam dia bermimpi dengan ibunya, tetapi ibu justru meninggalkan [Name] begitu saja tanpa ucapkan selamat tinggal.

"Jika ibu telah tiada nanti, apa kau bisa melihat keberadaan arwah ibu?"

Nyatanya hingga detik ini [Name] tidak kunjung melihat keberadaan ibunya. Yang ia lihat hanyalah arwah-arwah lain yang berusaha berkomunikasi dengannya.

"Semasa hidupnya, ibuku adalah orang baik. Tiada hari tanpa dia menyayangiku. Apakah sekarang, dia sudah berada di surga?" tanya [Name] dengan pilu. Mata mulai panas dan dada kian sesak.

"Manusia pasti akan bertemu Tuhannya. Tugas kita yang masih hidup adalah mendoakan dan mengenang mereka."

Tangan yang tadinya hendak memindahkan tulang bagian kaki kontan terhenti. [Name] mengangkat kepalanya dan temukan seorang pria berjas hitam datang menghampirinya. Yang barusan merespon pertanyaan [Name] bukanlah para staff, melainkan pria berjas hitam tersebut.

Dengan rambut mangkok dan kacamata bulat sempurna membuat [Name] langsung mengenali siapa pria ini sekalipun sudah tak bertemu selama sebelas tahun.

"Maaf datang terlambat, [Name]," tambah pria itu.

𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋 𝐌𝐄𝐌𝐎𝐑𝐈𝐄𝐒 || Blue Lock x Reader Where stories live. Discover now