Bab 38

2.5K 385 138
                                    

Dua minggu sebelum cuti, Ares kembali mengecek notes di ponselnya. Ia sudah mengatur jadwal untuk bertemu dengan ketiga wanita kenalannya.

Pertama-tama ia akan menemui Fayre, kemudian Edrea, dan terakhir Medina. Ares sudah berharap segera menemukan kecocokan pada kali pertama bertemu. Lebih bagus lagi, jika kedua matanya langsung cocok.

Pokoknya, cinta nggak cinta, aku harus nikah! Ares kembali menguatkan tekadnya.

Ares sudah menetapkan, salah satu dari ketiga wanita itu adalah jodohnya. Syukur-syukur jika ketertarikan itu muncul. Namun jika rasa itu tidak ada, ia tetap akan menikahi salah satu dari mereka demi melanjutkan hidupnya. Ares sudah memutuskan, ia harus melupakan Kirana dan memaksa hatinya untuk terbiasa dengan wanita lain meski rasanya sangat tidak enak. Tetapi Ares merasa lebih sanggup hidup dengan pilihan seperti itu daripada menua dengan cinta yang sia-sia.

Tapi bagaimana jika ia tidak pernah bisa mencintai istrinya? Apa ia sudah siap ilfil seumur hidup?

Ares kembali menguatkan hatinya. Siap tidak siap, ia harus siap. Demi memiliki keturunan dan demi membangun kehidupannya sendiri, Ares memilih mengorbankan hatinya. Ia bisa pura-pura cinta sambil berharap cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Kata mereka, cinta ada karena terbiasa. Mungkin, ia akan menemukan cinta sehidup sematinya dengan cara demikian. Perkataan Ais, adalah salah satu hal yang melandasi keputusannya.

"Kalau berdasarkan pengalaman saya, cinta dalam pernikahan itu bisa luntur kalo nggak dirawat. Dan yang merawat nggak bisa salah satu pihak aja, harus kedua belah pihak. Menikah itu nggak cuma butuh cinta Pak, tapi segalanya. Segala effort terbaik harus diberikan buat pernikahan. Semua akan terasa sia-sia kalo berjuang sama orang yang salah. Tapi menurut saya, cinta bisa tumbuh jika itu sama orang yang tepat. Bayangin Pak, menikah sama orang yang baik, terus menjalani sisa umur dengan berkualitas. Pasti lebih tentram, daripada menghabiskan sisa umur sama orang yang salah. Jadinya nanti kayak yang dibilang Mas Januar, seumur hidup dirasa terlalu lama. Jadi saya pilih menikah dengan orang baik itu, kalo kasusnya cuma bisa milih salah satu dari dua pilihan itu."

Jawaban Ais kala itu terasa bagai nasihat baginya. Siapa yang tidak ingin menjalani sisa umur dengan berkualitas? Ares tidak sanggup lagi menutup mata, jika hubungannya selama ini dengan Kirana sangat jauh dari hubungan yang berkualitas. Sebaliknya, hubungannya dengan Kirana carut marut dan melelahkan. Ares rasanya sudah tidak sanggup lagi bertahan lebih jauh. Kesabarannya sudah habis, ketekunannya menguap, dan kekecewaannya kian bertambah besar.

Kirana tidak pernah sampai pada sikap yang diharapkan. Wanita itu terakhir kali menghubunginya saat ia di Banyuwangi. Setelah itu, Kirana tidak pernah menghubunginya lagi. Seharusnya Kirana berjuang lebih keras untuk mendapatkan kembali hatinya. Nyatanya saat ia marah, Kirana malah menjauh dan semakin tidak peduli.

Cinta apanya? Cinta tai kucing! Ares hanya bisa memaki di dalam hati meski di ruangannya tidak ada siapa pun. Jika memang benar cinta, seharusnya Kirana tidak mudah menyerah. Seharusnya Kirana mendatangi rumahnya, lalu merubah sikap dan berubah menjadi lebih baik. Tapi hal-hal itu terasa mustahil karena Kirana tidak pernah benar-benar berjuang mendapatkannya.

Kirana hanya akan kembali jika ia sudah mulai membangun hubungan dengan wanita lain. Akan tetapi, kali ini Ares bersumpah tidak boleh kacau lagi. Mau Kirana kembali pun, ia harus tetap menikah dengan wanita lain. Ares bersumpah tidak akan memilih Kirana lagi, karena sampai kapan pun Kirana tidak akan pernah mau mewujudkan keinginannya untuk menikah.

Ares melirik sejenak ke arah layar CCTV demi mengusir suntuk dan melihat Ais yang lagi-lagi sedang menggambar alis.

Demi Tuhan, ini juga. Kamu nggambar alis apa ngaspal jalan sih? Ares segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

POINT OF VIEWWhere stories live. Discover now