Bab 65

3K 545 257
                                    

"Alhamdulillah...." Ais membanting dirinya ke atas sofa ketika baru saja sampai. Akhirnya ia sampai juga di rumah setelah pulang dengan ojol sambil bertahan dengan pertentangan batin yang tidak juga mereda. Sejenak Ais memusatkan pikiran yang sedari tadi tertuju pada Ares dan menyadari suasana rumahnya masih sepi. Sepertinya semua orang masih berada di pasar malam.

Ah, bukankah dia barusan membuka pintu sendiri? Tentu saja tidak ada orang di rumah. Ais luar biasa heran dengan pikirannya yang mendadak kacau.

Demi menenangkan diri, Ais kembali menghela napas panjang. Mencoba menurunkan ketegangan yang sedari tadi membuat otaknya kalut dan hatinya menjadi cemas melebihi biasanya. Rasanya ia bagai menghadapi akhir dari dunia.

Ya Allah, dia aku tinggal pulang. Ais masih menyesali keputusannya yang gegabah. Ais tahu Ares pasti tersinggung. Demi menghindari kemarahan Ares, ia sengaja menonaktifkan sejenak sambungan internet di ponselnya ketika sudah naik ke atas ojol yang kebetulan cepat datang.

Tadi ia panik.

Ia yakin Ares marah, kecewa, sekaligus malu saat ia menolak perasaan lelaki itu. Ia menunggu selama 15 menit dan Ares tidak juga kembali dari toilet. Sikap Ares tak ayal membuatnya berpikir, apa Ares marah?

Mendadak panik mencuat. Ia jadi mengingat bagaimana Ares yang selama ini suka sekali dielus-elus egonya. Ia tentu mendengar gunjingan rekan-rekannya tentang bagaimana persaingan terselubung di antara para team leader. Konon Rian dan Faizal, sering cemburu pada Maria dan Guntur, yang dianggap anak emas Ares. Sikap Ares yang suka dielus egonya, membuat rekan-rekannya belajar bagaimana menjadi seratus persen penjilat. Mereka akan mengatakan apa saja yang ingin didengar Ares, dan bersikap sesuai kemauan Ares.

Tapi, Ais tidak bisa bersikap demikian karena hubungannya dengan Ares berkembang lebih dari urusan pekerjaan. Ia tidak bisa melihat dirinya jadi bahan senang-senang Ares.

Ais tadi berpikir, tentu sangat canggung jika ia pulang bersama Ares yang sedang merasakan berbagai emosi negatif itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana situasi mereka di mobil nanti.

Akhirnya tanpa berpikir lagi, ia memilih langsung pulang. Ia sempat menitipkan ponsel dan dompet Ares di atas meja kepada waitress sebelum tergesa meninggalkan restoran sambil memesan ojol. Ais rasa sudah terlambat merenungkan sikapnya tadi. Ia yakin Ares pasti sangat tersinggung dengan sikapnya.

Ya Allah, kenapa jadi gini? Ais masih menyesali sikapnya. Aku bingung. Ais menatap nanar langit-langit rumahnya. Kok aku bisa nekat ya? Kenapa tadi aku nggak inget kalo dia itu dept head? Dia pasti marah banget. Senin aku pasti dimutasi.

Ais jadi membayangkan kemungkinan terburuk dalam hidupnya. Bagaimana jika ia dimutasi ke ujung Surabaya? Tadi ia merasa bisa menghadapinya, sekarang ia tidak yakin.

Aku terpaksa.

Ais kembali mengingat bagaimana reaksi Ares tadi saat ia menolak perasaan lelaki itu. Ia memang menaruh curiga terhadap motif Ares yang sesungguhnya, meski sempat ragu saat melihat Ares yang seperti akan pingsan. Mungkin jika Ares bersikap biasa saja, ia tidak akan panik dan berakhir gegabah. Namun Ares seperti tidak bisa menghadapi penolakannya dan malah sengaja berlama-lama di toilet. Ais berkesimpulan, Ares tidak ingin melihat wajahnya sehingga ide pulang duluan itu tercetus begitu saja.

Kini Ais hanya bisa membayangkan bagaimana marahnya Ares. Ini bukan soal pekerjaan, tetapi Ais tahu sikapnya mungkin sudah mengacak-acak ego lelaki itu. Ia yang staf biasa-biasa saja, menolak perasaan Ares yang merupakan petinggi di kantor. Sudah begitu, meninggalkan lelaki itu di mall. Ais nyaris lupa jika Ares juga sangat dekat dengan Marlo Sasmita dan Hanggara. Teringat kembali cerita Sodiq, jika Ares bisa mudah mengajukan mutasi ke Surabaya karena kemungkinan ada campur tangan Hanggara.

POINT OF VIEWWhere stories live. Discover now