9. A Stranger

326 58 6
                                    

“Siapa kalian?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Siapa kalian?”

Pagi-pagi sekali, Renjun sudah berada di kantornya. Pasca ia menemani liburan adik dan putranya Minggu lalu, pemuda itu sama sekali tak diberikan jeda untuk sejenak menarik nafas demi memeriksa seluruh laporan yang tiba-tiba menumpuk itu.

Kertas-kertas penting yang jika digadaikan mungkin akan didapatkan berjuta-juta won uang dari situ cukup membuat Renjun pusing setengah mati.

Kadang ia lupa jika dirinya sudah bukan mahasiswa lagi, yang bisa bersantai dengan ayahnya yang mengurus hampir 80% perusahaan.

Jaemin sendiri, sekretaris pribadinya pun turut bingung karena tiba-tiba ada tsunami kertas penting dan tumpukan berkas ketika ia sampai di ruangan Renjun pagi ini. Ia syok, tapi Jaemin juga yakin jika Renjun lebih syok saat mendapati setumpuk pekerjaan diatas meja itu.

Srek!! Tak!

Berkas ke-59 selesai Renjun cek, ia bersyukur sejauh ini belum ada masalah pada laporan apapun yang sejak tadi ia baca.

Dibantu Jaemin yang juga ikut membaca berkas itu, lelaki itu hanya perlu menanyakan beberapa hal yang sekiranya ganjil pada atasannya. Namun, karena respon Renjun tidak ada yang salah jadi ia langsung menyerahkan map laporan itu untuk ditandatangani setelah membaca dengan teliti.

"Huh, kapan ini akan berakhir?!" Gumam Renjun dengan nada frustasi. Hampir gila hanya karena tumpukan kertas, rasanya pemuda itu ingin membakar seluruh map-map ini sekarang karena berhasil membuat kepalanya pening bukan main.

Jaemin yang sedari tadi diam pun melirik bos nya itu, "Kau bisa berhenti dulu. Jangan dipaksakan," lelaki Na itu bangkit sebentar keluar dari ruangan.

Sedangkan Renjun, pria itu malah menidurkan kepalanya diatas meja kebesaran tuan Huang itu. Sesekali memijit pelipisnya saat dirasa kepalanya ingin pecah.

Jika Renjun mau, ia akan mengambil cuti lebih lama. Tapi nanti yang malah mengenaskan jadi Jaemin karena sebagai sekretaris yang baik tentunya ia harus bekerja untuk bos nya itu meski eksistensi Renjun tidak ada di kantor.

Ketika aroma herbal memasuki indera penciumannya, Renjun mendongak. Ternyata aroma itu berasal dari gelas yang Jaemin bawa saat ia keluar tadi. Sebatas hanya ingin meminta dua gelas teh herbal pada petugas kantor.

"Ini."

Jaemin memberikan segelas teh itu pada Renjun. Ini sudah menjadi kebiasaan dan Jaemin sudah hafal, meski lebih suka kopi tapi ia juga tahu sekarang ia lebih butuh teh dengan aroma menenangkan dibandingkan air berwarna cokelat kehitaman itu.

"Terimakasih." Renjun menerima dengan senang hati, tak lupa mengucapkan terimakasih.

Rasanya lebih tenang ketika aroma herbal itu dihirup. Lilin aroma yang Jaemin nyalakan tadi tidak berguna untuk keduanya, karena sudah terlanjur pusing dengan tumpukan map dan kertas itu.

"Oh iya, bagaimana?" Jaemin bertanya ambigu, membuat Renjun bingung. "Apanya?"

Lelaki Na itu melirik si bos, "Hubungan mu dengan Jisung."

Beberapa Minggu kebelakang, Jaemin tak mendengar keluhan apapun yang keluar dari bibir bosnya itu. Ia ingin bertanya namun, takut jika hal tersebut menyinggung Renjun. Jadi dia tetap diam sampai bosnya itu bercerita sendiri atau setidaknya ia bertanya disaat yang tepat.

"Baik. Semuanya baik, sejak hari itu. Aku cukup berterimakasih pada mu karena sudah membuat ku mengerti dengan posisi Jisung dirumah,"

"Sudah menjalin hubungan ayah dan anak?" Tanya Jaemin lagi, lagi-lagi Renjun mengangguk.

"Baguslah. Kapan-kapan aku ke rumah mu ya? Ingin melihat Jisung, jika kau masih tidak ingin dipanggil ayah atau papa olehnya, biar aku saja yang disebut begitu." Jaemin cekikikan di akhir.

Mengabaikan raut wajah Renjun yang berubah meski hanya main-main entah kenapa Renjun kesal. Mungkin karena ia sudah menganggap Jisung sebagai putranya sekarang, tidak seperti sebelumnya.

"Jika kau berani, coba saja." Pemuda Huang itu menantang, tidak tahu saja lelaki didepannya ini adalah orang yang nekat. Pikiran Jaemin itu tidak bisa ditebak bahkan oleh orangtuanya sekalipun.

"Kkkk, jangan marah jika itu terjadi ya.." Goda Jaemin lagi.

"YAK!"

Jam makan siang tiba, murid-murid mulai berhamburan keluar kelas untuk mengisi perut mereka lagi. Meski tidak seramai jam istirahat pertama tadi, tapi segerombolan anak-anak remaja ini cukup membuat petugas kantin kerepotan.

Jisung berjalan beriringan bersama Yedam dan Chenle berjalan dibelakang mereka. Lelaki itu sedang fokus dengan ponselnya dan ia sekarang tengah berjalan sembari menunduk.

Ketika Jisung dan Yedam berhenti, maka terjadilah..

Brugh..

"Shh, yakk. Jangan berhenti tiba-tiba." Gerutu Chenle pada dua anak didepannya.

Yedam dan Jisung mendelik pada pria China itu kemudian membuka ruang agar Chenle bisa melihat lebih jelas ada apa didepan sana. Antrian para murid untuk mengambil makan siang mereka, dan ketiganya hampir berada di barisan terakhir.

"Makanya, jangan bermain ponsel di keramaian seperti ini. Jika bukan kami yang kau tabrak tadi, bisa jadi kau sudah dimaki-maki." Ujar Jisung sarkas pada saudaranya itu.

Chenle meringis pelan, langsung menyimpan ponselnya dan ikut mengantri. Ia memilih mengalah dari Jisung daripada membuat keributan disini.

Yedam sendiri hanya terkekeh, mereka terlihat lucu dimatanya. Apalagi ketika Jisung mengomel, matanya pasti akan membulat dengan lucunya. Tidak lupa dengan pipi yang menggembung karena kesal.

"Kkk, kalian berdua lucu tahu." Ujar Yedam dan Jisung hanya merespon dengan helaan nafas.

Dalam waktu 15 menitan, antrian mulai memendek. Jisung, Chenle dan Yedam hampir tidak mendapatkan lauk apapun karena harus menunggu antrian ini habis. Jadi mereka sedikit lama berdiri lagi untuk menunggu beberapa lauk yang sedang dimasak.

"Ah, maaf agak lama, ya." Ujar bibi kantin tidak enak.

"Ehe, tidak apa, bi. Kami belum terlalu lapar juga." Kata Yedam mewakili kedua temannya.

Padahal perutnya sudah berbunyi sejak sebelum bel tadi, hari ini ibu Yedam tidak membuatkan bekal karena kata Yedam ia ingin sesekali merasakan masakan kantin sekolah juga tidak ingin membuat ibunya terlambat membuka kedai makan karena membuatkannya bekal.

"Haha, ya sudah. Ini ada bonus untuk kalian bertiga, terimakasih sudah menunggu."

Tempat makanan terisi dengan lauk dan nasi, mereka pun beranjak dari sana untuk mencari tempat duduk. Karena didalam terlalu pengap, Chenle pun mengusulkan untuk makan didekat jendela dekat pintu masuk kantin tadi saja agar lebih mudah keluar.

Kantin siang itu yang awalnya senggang tiba-tiba menjadi sangat padat entah mengapa. Tapi setidaknya mereka bertiga masih bisa makan siang dengan tenang, jika saja...

"Kau Park Jisung kan?" Seseorang dengan lagak premannya datang tiba-tiba menghampiri mereka bertiga.

TO BE CONTINUE
[19/05/24]

[A/N]

hayo siapa tuh?👀

dalam beberapa chapter lagi, konflik bakal muncul

jdi, stay tune LUV

anyway, tetap #FREEPALESTINE🇵🇸 OKEY

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 19 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Son Or Brother?Where stories live. Discover now