🪔 Chapter 13 🪔

1.6K 279 309
                                    

Some content and trigger waring!
- profanity, mention of occultism, mention of disabilty, mention of snake, mention of murdering, mention of disease -

🪔

        Seperti hari yang sudah berlalu, sang fir'aun muda duduk termangu di atas ranjangnya. Di tengah kesunyian kamar, ia menatap kosong pada jendela istananya. Ia pandangi kemegahan gurun pasir di bawah matahari tenggelam. Ia amati pergerakan rakyat pada bentang sungai Nil. Rakyat yang tidak tahu menahu mengenai kondisi rajanya saat ini.

        Jika membayangkan besar dan kokohnya gurun pasir, ia merasa tidak layak menjadi fir'aun. Ia malu telah menjadi cacat.

       Kemudian ia tatap kedua kakinya yang terbalut selimut bersulam manik – manik mitra. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, jeritan dan teriakan nelangsa sudah berhenti dari bibirnya yang pucat. Kantung mata hitam menebal, pertanda jika dirinya kesulitan tidur selama hari-hari terakhir ini.

       Bagaimana ia bisa nyenyak? Rasa terbakar terus menjalari kakinya, warna hitam dari kutukan membuatnya seperti tengah dikuliti. Ia tidak menitihkan air mata, tetapi ia menjerit atas nasib yang diterimanya.

       "Dimana Nakia?" ia alihkan tatapannya pada sosok wanita yang duduk di sisi ruangan. "Kenapa dia tidak menemuiku?" Pertanyaan sama sudah terbesit sejak pasca malam kejadian yang menimpanya. Dalam kekalutan, paras manis suaminya terus terngiang. Ia membutuhkan Nakia-nya.

      Kendati setiap ia melempar tanya, maka tidak ada yang bisa memberikan jawaban. Seolah mereka tidak mau memberitahukan keberadaan Nakia-nya, termasuk Maia. Ia dibiarkan bertanya-tanya dan berspekulasi jika Nakia-nya tidak mau melihatnya yang sudah menjadi cacat ini.

       Ameenha, sosok ratu Mesir yang menggantikan Maia menemani Jeongguk, meletakkan buah – buah anggur sambil mengusap perutnya yang belum menampakkan kehamilannya. Kedua maniknya merotasi jengah, wajahnya tidak menggambarkan seseorang yang khawatir ataupun sedih mengenai kondisi sang suami. Ia berada di kamar ini hanyalah sebagai kewajiban seorang ratu. Ia dikuasai amarah atas sikap Jeongguk kepadanya selama ini.

       "Dia sedang melakukan pemujaan panjang di istananya. Tidak ada yang bisa mengganggunya." Berita beredar layaknya kicauan burung di pagi hari. Bisa terdengar hingga ke titik terpencil. Semua orang bertanya-tanya mengenai keberadaan pangeran Nakia, dan abdi setia istana Mereptah mengatakan jika sang pangeran sedang melakukan ritual bagi raja.

       "Hentikan pemujaannya dan bawa Nakia kepadaku," perintah Jeongguk secara tegas dan otoriter.

       Tentu Ameenha sukses terkejut. Ia menggeleng, "Pemujaan itu untukmu, jadi jangan mengusiknya."

       "Aku. Mau. Nakia-ku."

       Namun, Jeongguk seakan menulikan kedua rungu. Tidak ada alasan yang boleh menghalangi dirinya bertemu pangeran manisnya. Tidak peduli sekalipun pemujaan yang dibuat untuk kesembuhannya, ia hanya mau Nakia-nya saja.

      Ameenha mencelus, gigi geliginya menggerat, wajahnya memerah padam. "Ada aku disini, Tuthan," ucapnya sirat penekanan.

       Pun pria fir'aun membuang wajahnya, kembali menatap jendela dengan acuh. "Aku tidak membutuhkanmu."

      Detik itu juga Ameenda serasa ditampar kuat-kuat. Ia layaknya tengah di dorong ke jurang berisikan ratusan ular berbisa. Dibuang dan direndahkan. Kendati sering menerima perlakuan Jeongguk seperti ini, ia tidak pernah berhenti merasakan sayatan sakit hati. Akan selalu ada goresan luka baru di atas luka yang belum mengering.

🪔 Hossam Nakia 🪔 》KookMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang