Chapter 13. Ruang Bawah Tanah

64 31 15
                                    

Revisi setelah end.

Happy Reading!

          Selagi Liv dan monster itu kembali serang, melayangkan pukulan, menangkis, berlarian ke sana kemari, melompat, atau bahkan saling menghindar dan mempertahankan keselamatan diri, aku segera pergi ke pintu darurat di ujung lorong lantai dua untuk menuju tempat yang dimaksud dengan kepanikan yang besar melanda diriku. Aku dapat merasakan keringatku bercucuran. Bulu kudukku meremang di sepanjang punggungku yang tak akan pernah kupedulikan lagi kalau aku terluka di situasi seperti ini. Jantungku juga berpacu dua kali lebih cepat dari seharusnya. Bahkan, ada rasa sakit yang tak bisa kujelaskan yang seakan melilit perutku. 

            Tak ingin membuat Liv menunggu lama karena nyawanya juga adalah salah satu yang harus kuselamatkan, aku menggunakan jalan satu-satunya tercepat untuk saat ini yaitu menggunakan seutas tali panjang menyerupai akar tanaman rambat yang sengaja digantung erat di langit-langit dengan panjang lebih dari sepuluh meter ke bawah—memasuki lorong gelap gulita entah sedalam apa di bawahku—yang merupakan jalan pintas untuk menuju asrama bawah tanah Prajurit Pemanah. 

            Karena ini adalah pengalaman pertamaku, ya, pertama. Seperti yang kukatakan kalau sebelumnya aku memang tak pernah menginjakkan kaki di tempat ini karena kasta kelas atas dan kelas bawah berbeda jauh dari yang kami bayangkan. Perbedaan tingkat kelas itulah yang membuat kami tak pernah mengenal ruang bawah tanah beserta isinya. Jadi, kini sulit bagiku untuk menahan beban tubuh saat berpegangan di sekeliling akar tanaman. Lebar telapak tanganku yang tak seberapa, mau tak mau aku harus memilih untuk memeluk akar tanaman seerat mungkin ini di antara kedua tangan dan kakiku—memastikan aku tak akan jatuh terpeleset jika rengkuhanku terlepas karena takut. Aku juga merasa aneh pada diriku sendiri karena terlihat seperti bayi kera yang belum bisa bergelantungan. 

             Aku mendesah pelan. Bagaimanapun juga nyaliku langsung menciut di situasi ekstrem seperti ini, “Siapa pun itu, relakan diriku jika—”

             Sssstttt... 

            Mataku langsung melebar, menyadari ada sesuatu yang tak asing di sini. Sesuai datangnya sumber suara, aku pun mendongak. Samar-samar kulihat sesuatu yang meliuk-liuk pelan di sepanjang akar tanaman. Meski siluet aku bisa menebak kalau kali ini terlihat seperti lidah kecil yang menjulur maju-mundur, keluar masuk rongga mulut dan mendesis. 

            “Nigel? Eh—” aku menghentikan diriku. Wajahku langsung memucat saat teringat akan sesuatu.

           Siapa yang pernah bilang jika lorong ini dijaga oleh seekor anakonda hitam? Aku menelan saliva kasar, mendongak kembali dan, 

            “YA TUHAN!” aku memekik. Wajah ular yang kumaksud tepat berada di depanku. Bersamaan dengan itu, rengkuhanku terlepas dan tubuhku langsung meluncur di sepanjang akar tanaman hingga memasuki lorong gelap gulita di bawahku secepat kilat.

           Sembari mengeratkan pelukan, kedua mataku spontan tertutup rapat. Mulutku tak pernah berhenti meminta keselamatan dan pertolongan pada Tuhan, hingga pada akhirnya aku teringat sebuah mantra. 

            Slime! 

            Aku baru sadar jika di permukaan nanti tak akan ada sesuatu yang empuk dan aman untuk melindungi diriku. Demi keselamatan tulang ekor dan kaki, aku merapal sebuah mantra secepat yang kubisa. Meski aku tahu perapalan mantra yang satu ini memakan satu jam, tapi selama lidahku tak terpeleset rasanya sangat mudah bagiku untuk merapalnya. 

            Di penghujung akar, bersamaan dengan diriku yang kelar merapal mantra, terdengar suara boing! seperti bola memantul yang tak lain adalah diriku saat tubuhku memantul lembut di permukaan slime hijau buatanku.       

            Akhirnya! 

            Aku menghela napas lega. Kukira diriku tak akan bisa melewati rintangan yang satu ini dengan selamat. Tanganku mengelus dada tempat di mana jantungku berpacu bersamaan dengan derasnya darah yang berdesir di sepanjang pembuluh darahku.

           Sembari mengatur kecepatan napas, mataku menelisik setiap sudut di ruang bawah tanah ini. Aku benar-benar tercengang ketika menyadari keadaan tempat ini tidak sesuai apa yang aku bayangkan. Kupikir tempat ini sudah dibangun semodern mungkin seperti keadaan di kelas atas. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Tempat ini masih terbuat dari tanah, baik dinding maupun lantainya. Anggap saja ini seperti lorong penambangan yang masih aktif. Ada puluhan obor yang tersemat di sepanjang dinding. Meski temaram, tapi setidaknya memberi sedikit penerangan. 

            Aku beringsut turun dari matras slimeku. Begitu aku turun, slime itu langsung menghilang. Alih-alih memikirkan bagaimana cara kerja slime selepas digunakan, aku lebih memusatkan perhatianku pada dua lorong di depan yang entah mengarah ke tempat yang berbeda. Satunya ke sisi kanan, dan satunya lagi ke sisi kiri. Tak ada benda sekecil kacang tanah pun yang bisa membedakan dua lorong itu. 

            “Hmm…” tanganku spontan menyentuh dagu. Keningku mengerut dalam saat aku berusaha memutar otak. 

           Aku mengajak naluriku untuk membantu memilih jalur mana yang akan kulintasi. Dua menit ke depan, naluriku berkata aku harus mengambil jalur kanan. Aku mengangguk pada diriku sendiri. Aku merasa begitu yakin jika jalur kanan adalah jalur yang tepat untuk menuju asrama Prajurit Pemanah. Rasa penasaran juga menyeret kakiku untuk mendekat ke dinding—berniat untuk meminjam satu obor sebagai bekal penerangan. Tapi belum sempat tanganku menggapai gagang obor, ada sebuah tangan yang terulur dari belakang untuk membelai lembut kepalaku. 

✨✨✨

To be continue...

LIVORA [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang