Epilog

22 4 0
                                    

.

3 bulan yang lalu...


"JEAN! WARAS JE!"

"Lu malu-maluin ANJIR!"

"Lo gak bangun-bangun, gua tinggal, sumpah"

Bagaikan angin yang berlalu, ocehan Dinar, Gino dan Arsa seperti tidak pernah terdengar oleh Jeano, hanya melintas begitu saja. Dirinya dengan tenang, tidur terlentang menatap langit-langit penuh bintang.















Di pinggir jalan.







Pastinya ada alasan mengapa ketiga sahabat Jeano mengoceh tak henti-hentinya. Mereka tidak akan peduli jika Jeano melakukannya di teras rumah atau di atap rumahnya sekali pun, tapi Jeano melakukannya di pinggir jalan. Di trotoar yang sudah jelas merupakan fasilitas umum.

"Gendong aja lah Gin, malu gue orang-orang udah pada liatin" ucap Dinar. Ia menatap sekeliling dan mendapati orang-orang yang melihat sembari berbisik-bisik.

"Ogah gue!" Dinar pun berdecak mendengar penolakan Gino. Namun bagaimana lagi, dia juga tidak dapat memaksanya.

Arsa yang sudah tidak tahan pun berjongkok untuk mengobrol dengan Jean.

"Je! Lo kenapa sih? Cepet cerita aja!" titah Arsa kesal.

"Langit ini, bisa bikin Jena liat gue gak ya?" tanya Jeano, tepatnya pada dirinya sendiri.

"ANJIR?!" Dinar yang mendengar itu, benar-benar sudah kehabisan stok sabar.

"Udah, lo mikirin Jenanya di rumah lo aja! Lo menghambat orang beraktivitas tau gak?"

Jeano menggelengkan kepalanya perlahan. "Udah PW. Posisi Wuenak" Arsa pun mendelik menanggapi jawaban Jeano. Ia kemudian memikirkan sebuah cara agar Jeano mau segera pulang.

"Gue cepuin lo yang kayak gini, biar Jena nolak lo!" ucapan Arsa itu seketika membuat Jeano bangun dari posisi tidurnya. Tak butuh waktu lama, Jean sudah berada di sebelah motornya.

Dinar, Gino dan Arsa tidak dapat berekspresi apa pun. Mereka mematung melihat Jeano yang mulai memakai helm.

"Lo pake jampe-jampe apa, Sa?" tanya Gino.

"Jampe-jampe gajah kayang" jawab Arsa asal, yang membuat Gino menatapnya.

"Pala lu jampe-jampe! Gada jampe-jampe gue!" lanjut Arsa.

"Emang udah bulol aja si Jean" Dinar menimpali, Gino dan Arsa pun menoleh.

"Bulol apaan?" tanya mereka bersamaan.

"Tanya mbah kookle"

"GOOGLE!" koreksi Gino dan Arsa bersamaan, lagi. Dinar ini memang... pintarnya sedikit miring seperti menara Pisa.

Keesokan harinya, Dinar, Gino dan Arsa makin dibuat tidak bisa berkata-kata dengan tingkah Jeano yang akhir-akhir ini mulai belok dari jalan yang lurus. Siapa sangka? Kini, di siang yang cukup panas ini, di tengah keramaian kampus, Jeano dengan santai duduk di atas pohon jambu di tengah taman kampus.

Sahabatnya? Jangan ditanya, mereka sudah memegangi kepalanya masing-masing. Pusing karena panas siang hari ini kalah dengan pusing karena Jeano.

"BAWA AJA UDAH KE RUMAH SAKIT JIWA" Dinar tidak dapat menahan rasa kesalnya. "Lama-lama gua yang sakit jiwa" lanjutnya.

"Gue kira putus dari Reyna itu paling mengerikan, tapi ternyata ditinggal Jena lebih mengerikan" ucap Arsa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lo mau turun gak Je? Kalo mau jadi monyet sana ke hutan aja!" Gino pun akhirnya mengajak Jeano berbicara.

Double J || Haechan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang