Hello Danuja | [6]

220 56 25
                                    


Ini udah berbulan-bulan ga lanjut, jadi kalau lupa terakhir kali ceritanya gimana, baca part sebelumnya aja yaa... wkwkwk.

***

Hari itu, Danuja merasakan kesal yang luar biasa.  Hari itu menjadi hari dimana ia benar-benar menganggap Anin adalah gadis yang sangat menyebalkan dan membuatnya terus marah. Hari itu bagaimana melihat Anin lebih memilih di antar oleh teman band-nya dari pada di antar olehnya. Bukan, bukan karena kecemburuan yang Danuja rasakan. Ia malah sangat bersyukur tidak direpotkan oleh Anin.

Tapi...

Dia kesal luar biasa karena mendapat teguran orang tuanya selama satu jam. 

"Kenapa kamu membiarkan Anin ke rumah sakit sendiri?"

Danuja sudah akan menjawab bahwa gadis itu memilih di antar oleh teman-temannya. Tapi mulutnya terkatup lagi karena Papa-nya sudah membuka mulut kembali.

"Kamu sebagai pria harusnya bisa lebih berguna dikit dong, Ja. Gimana kata pak Randes dan Bu Amira sekarang ? Mereka pasti akan memandang kamu ga bertanggung jawab!"

"Kamu udah setuju menikahi Anin. Harusnya kamu bisa lebih peduli sama dia. Kamu itu calon suaminya, Danuja. Berhenti egois dan mementingkan apa yang kamu sukai. Kamu sekarang sudah punya tanggung jawab lain. Yaitu Anin. Kamu harus lebih memerhatikan dia sekarang. Kamu denger, Ja?"

Demi Tuhan... kelar dari omelan Papa-nya, telinga Danuja merah padam dan sakit. Rasanya ia benar-benar kesal luar biasa. Ketika sampai di kamarnya, Danuja bahkan meninju berulang kali bantal kasurnya untuk meredahkan amarahnya. Baru kali ini ia sangat sebal karena seorang gadis.

Menghadapi pasien yang ribet mungkin tidak seburuk ini. Tetapi Anin... demi Tuhan Danuja benar-benar kehilangan kata-katanya.

Sejak semalam Anin dirawat setelah diagnosis usus buntu yang ia terima. Paginya ia melakukan operasi dan sampai detik ini masih dirawat di rumah sakit tempat Danuja bekerja. Danuja menghela napas dalam ruang kerjanya. Ia belum menjenguk Anin karena marah, padahal ia yakin Kakung dan Yan Ti pasti mencari keberadaan Danuja.

Namun siapa peduli? Danuja bahkan enggan melihat Anin. Salah siapa sebenarnya? Danuja sudah berbaik hati menawarkan bantuan untuk mengantar, tetapi Anin tidak mau. Dia lebih memilih lelaki itu.

Lama Danuja diam di ruangannya, sampai pintu ruangan itu terbuka dan Danuja melihat ke arahnya. Duduknya otomatis ditegakkan saat melihat siapa yang masuk.

"Kakung?" Dia berdiri dan menyalim dengan sopan dan ramah. 

"Tebakan saya bener, kamu di sini." Randes tertawa pelan. 

Danuja nampak canggung sekarang. "Duduk, Kung." Danuja mempersilahkan duduk di sebuah sofa panjang dan dia sendiri duduk di sebuah sofa single.

"Sibuk ya, Ja?"

Danuja diam sejenak. Jika dia menjawab tidak, maka pasti akan sangat terlihat bahwa ia memang tidak peduli pada Anin. Tetapi jika berkata iya, dia juga pasti akan terlihat sebagai pria yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada calon istri. Hah, Danuja stres berat.

Jadi dia menjawab, "ya.. lumayan, Kung."

Randes mengangguk mendengarnya. "Sampai ga bisa jenguk Anin sebentar?"

NAH!

Apa Danuja bilang... memang pasti bahasannya akan ke sana. 

Danuja pun makin salah tingkah dengan pertanyaan itu. Ia bukan tidak bisa, bukan tidak ada waktu. Tapi dia memang tidak berniat menjenguk gadis itu sama sekali.

HELLO DANUJAWhere stories live. Discover now