Chapter 14. Ketua Penjaga Asrama

53 23 21
                                    

Revisi setelah end.

Happy Reading!

“I've never felt any girl's hair this soft before.” 

            Itulah yang dikatakan Atlas Walker—Ketua penjaga asrama bawah tanah sekaligus seorang prajurit Seribu Panah Api—ketika tangan kanannya membelai rambutku. Jelas aku tersipu. Aku yakin jika saat ini wajahku merah semerah tomat. Ini adalah pengalaman pertamaku ketika seorang laki-laki yang tak sedarah membelai rambutku. Entah atas dasar apa, tapi Atlas pernah berkata jika ia menyayangiku seperti ia menyayangi mendiang adiknya sendiri. 

            Turut berduka. Adik perempuan Atlas tewas dibunuh ayah tirinya karena murka dua tahun yang lalu. Tentang Atlas, gosip menyebar di sekolah kami dengan cepat bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Seperti yang kudengar, Atlas dikutuk oleh ayah tirinya menjadi laki-laki buruk rupa yang cacat yang layak untuk dibuang ke penampungan makhluk-makhluk aneh Creepy Beast. Tapi, ternyata gosip itu hanyalah rumor semata. Atlas tetaplah Atlas yang dulu—yang pernah membuatku tergila-gila akan kehadirannya di tahun kedua. 

            “Apa yang membawamu kemari, Sayang?” tanya Atlas. Iris mata birunya melirikku dari sisi pundak kirinya saat aku mengikutinya di belakang. 

            Oh, jangan mengira kami sudah menjalin hubungan jalur backstreet. Atlas terlalu tua untukku. Bahkan, lebih tua untuk menjadi kakak kandungku. Jangankan seorang kakak, Atlas juga bisa menjadi seorang paman dan ayah tiri bagiku. Bahkan, yang paling parah ia bisa menjadi kakek buyutku. Tapi karena Atlas terlahir dari keturunan darah murni seorang penyihir dari hasil hubungan terlarang antar manusia (Ibunya) dan Werewolf (Ayah kandungnya), fisik Atlas akan tetap terlihat seperti lelaki muda walau telah hidup ribuan tahun di dunia ini.

            Fun fact: Atlas Walker tidak mengenal takdir kematiannya.

            “Tidak ada tujuan lain selain meminta bantuanmu, At,” kataku, menatap punggung Atlas yang semakin menjauh di depan seiring ia berjalan. Aku berusaha mati-matian untuk menyesuaikan langkah kakinya yang lebar. Tubuh Atlas yang lebih tinggi dariku cenderung memiliki langkah kaki yang besar dan cepat. Kalau begini jadinya, aku lebih memilih untuk berlari. 

            “Kau meminta bantuan apa?” tanya Atlas saat melihatku baru saja sampai dan berjalan tepat di sampingnya. Entah mengapa nada bicaranya tidak seperti yang kuharapkan.

           “Bukan aku,” kataku, “tapi Liv.” 

           “Liv?” kening Atlas mengerut. Seakan hanya mendengar nama itu, ia bisa tahu wujud sang pemilik nama. 

           Aku hanya mengangguk. Kurasa menjual nama Liv di situasi genting seperti ini tak ada salahnya. Lebih baik aku mengatas namakan nama Liv agar Atlas mau mengirim pasukannya untuk membantu daripada mengatas namakan penghuni kelas atas karena aku tahu Atlas sangat membenci hal ini. 

            “Kenapa dia?” Atlas melirik ke arahku. Tapi aku tak langsung menjawab saat melihat tangan Atlas menggapai kusen pintu sebuah ruangan. Ia dengan cepat menghentakkan kusen tersebut—mendorong pintu itu terbuka dengan suara engselnya yang berderit mengilukan.    

           Selagi Atlas melangkahkan kakinya memasuki ruangan, kepalaku menyembul dari balik pintu untuk melihat apa yang ada di dalam ruangan itu. Lantas, mataku langsung melebar saat menyadari apa yang aku lihat saat ini membuat rasa obsesiku pada suatu benda meronta-ronta. 

           “INI GUDANG SENJATA!” kataku dengan mata berbinar. Tak tahu diri, aku melenggang masuk tanpa menyadari jika Atlas menggelengkan kepalanya saat melihat tingkahku yang seperti seumur hidup belum pernah melihat yang namanya gudang senjata. 

LIVORA [√]Where stories live. Discover now