🏆 Spotlight Romance of February 2025 by Romansa Indonesia
Luna benci ketika semua orang membagikan kebahagiaan dan pencapaiannya di media sosial. Jangankan menikah, mencari pekerjaan pasca pandemi COVID-19 saja sudah sulit. Lagi pula, kaum Adam tid...
| Play and listen to the multimedia for a better experience |
Living all alone kinda forgot it's been that long
Since someone's gone
I've been trying to be a little bit strong
And it is not that easy to be exactly who I was
My shit is done
Now it's time for me try to moving on
*****
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di Rabu pagi yang indah, setelah salat Idulfitri. Masih mengenakan baju koko, aku berdiam diri di kamar sambil menonton film thriller yang sudah lama banget nangkring di watchlist-ku. Tiba-tiba saja, terdengar kegaduhan di depan rumahku dan seseorang membanting pintu kamar. Aku menoleh, salah satu keponakan kembarku berteriak, "Mbah Mila sama Kakek Damar sudah datang!"
"Biasa aja kali, enggak usah banting pintu!" protesku.
Keponakan kembarku yang lain muncul dari balik pintu. "Om Elio, buruan keluar!"
Aku menggeram pelan sambil memutar bola mata. Kututup laptop, lalu turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Keanu, sang kakak, menggandeng lengan kananku. Sedangkan Keenan, sang adik, memegangi lengan kiriku. Aku menuruni tangga, lalu berjalan melewati ruang keluarga menuju gerbang depan rumah bersama dua tuyul berusia lima tahun dengan potongan rambut menyerupai mangkok. Kakak sulung dan kakak iparku sudah berada di depan gerbang.
Ibu yang sedari tadi diam di dapur berjalan tergopoh-gopoh untuk menyambut Tante Mila dan Om Damar, kemudian bertemu kami di pintu masuk. Ia lalu meneriaki Bapak yang sedang merokok di teras rumah. "Bapak! Berhenti dulu! Jangan merokok di dekat Si Kembar!"
Sambil mengeluh, Bapak mematikan rokoknya di asbak, lalu menyusul Ibu ke gerbang. Di sana, kami menyambut kedatangan Tante Mila dan Om Damar. Setelah kakek dan nenekku meninggal tiga tahun lalu, kumpul keluarga besar saat Idulfitri dialihkan ke rumahku, karena bapakku adalah putra sulung, sementara Tante Mila adalah adik bungsu. Kami bersalaman dan maaf-maafan. Gina, anak tunggal Tante Mila dan Om Damar, juga datang hari ini. Namun, ia membawa seseorang yang enggak kukenal. Cowok tinggi berusia sekitar akhir dua puluhan, rambut bergaya spike, tampan tipikal mas-mas Jawa.
Gina memperkenalkan cowok itu padaku. "El, kenalin, Mas Angga."
Aku menyalami Mas Angga meskipun sambil planga-plongo, enggak tahu siapa dia.
Keluarga besarku sudah kumpul semua, minus Teh Fira, kakak keduaku dan suaminya. Ketika kuliah, Teh Fira bertemu Mas Marshal, bule Jerman yang lagi ikut program pertukaran pelajar. Karena sering ketemu di kelas yang sama, mereka jadi saling suka. Waktu Mas Marshal log in jadi mualaf, mereka memutuskan untuk menikah dan menetap di Jerman. Karena Idulfitri kali ini mereka enggak sempat pulang ke Indonesia, keluarga besar kami menghubungi mereka lewat Skype. Meskipun ada perbedaan waktu antara Eropa dan Asia, mereka enggak keberatan.