Chapter 22: Tom Yum Ravioli

865 102 16
                                    

Vote dan komen yang banyak juseyooo~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote dan komen yang banyak juseyooo~~

Follow juga kalau berkenan, supaya bisa dapat update-an kalau nanti aku ada cerita baru~~~



Status baru Galendra layaknya sepoian angin segar yang memberinya semangat baru. Sebab setidaknya satu perkara telah diselesaikannya. Meski dalam memperoleh kebebasan, ia perlu melukai hati wanita yang telah memberikannya begitu banyak cinta. 

Indira. 

Wanita yang semalam menangis dan berlutut memohon kepadanya. Seolah hubungan mereka adalah nyawanya. Meski hubungan yang Indira coba pertahankan hanya berdasarkan cinta dari satu orang saja, tanpa pernah ada campur tangan sedikitpun dari Galendra. Bahkan, dengan sukarela membiarkannya mendua sesuka hati. 

Namun, apa boleh buat ketika hatinya selalu milik satu wanita. Wanita yang dulu pernah mewarnai hidupnya, bahkan di hari-hari terberat sekalipun. Wanita yang kini berada di hadapannya, memasang wajah keheranan setelah dengan ceria lelaki itu berlari sambil memanggil namanya, "Lidwina!" 

Walau belum bisa memanggil nama wanita itu dengan nama yang ia gunakan ketika mereka masih bersama, tidak membuat kupu-kupu yang berterbangan di taman bunga dalam hati Galendra berkurang. Malah mereka terus menerus berkembang biak, mengisi ruang dalam hati Galendra yang kosong. Membangkitkan kembali jiwa Galendra yang telah lama beristirahat. 

Ia merasa hidup. 

Inilah yang disebut dengan hidup. 

"Hai," kata Galendra terengah-engah, berusaha mengumpulkan nafasnya untuk menyelesaikan kalimat. "Gue, gue ..."

Membuat Lidwina mengernyitkan alisnya, "Nafas dulu, Galen. Baru ngomong." Memancing tawa Galendra dan rasa bingung Lidwina yang bertambah. "Lo kenapa, deh?"

Galendra menggelengkan kepalanya, dengan senyum lebar yang sebelumnya jarang sekali menghiasi wajahnya. Terlebih hari masih pagi, baru beberapa jam setelah bulan menyerahkan kembali tugasnya pada matahari. Saat seharusnya tingkat stres meningkat, mengingat pekerjaan yang akan ia hadapi di restoran. 

"Gue mau nagih janji lo minggu lalu," ujar Galendra antusias.

"Janji?"

"Lo janji mau bantuin gue buat develop new menu. Remember?"

Lidwina terdiam sejenak. Bukan untuk mengingat kapan ia mengiyakan ajakan Galendra. Lidwina mengingat semuanya, sekaligus menyesalinya. Keputusan yang ia buat untuk memenuhi gengsinya. Ia terdiam untuk menimbang kembali keputusannya. Ia bisa saja mengatakan bahwa ia lupa dan membatalkan janji tersebut. Namun, ketika janji sudah terucap, bukankah lebih baik kalau ia menepatinya? Lagipula ajakan Galendra masihlah dalam lingkup pekerjaan, seharusnya tidak menjadi masalah. 

Taste of You | YOUniverse #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang