{3}

406 62 0
                                    

Pandangannya lurus ke depan mengabaikan tatapan memuja para gadis di sekelilingnya. 

“Kei-kun!”

Seorang gadis kecil menghadang langkah Kei. Menatap malu-malu wajah rupawan Kei yang berekspresi datar, Ia menyodorkan sebuah coklat pada pemuda cilik itu.

“Kei-kun terimalah coklat ini.” pinta gadis kecil itu.

Kei memandangnya tanpa ekspresi. “Hn, aku tidak suka makanan manis.” ujarnya kemudian berlalu melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Jika bersama Sakura, Kei akan jadi sosok yang banyak bicara. Namun berbeda dengan orang lain, Ia irit bicara dan selalu memasang wajah tanpa ekspresi.

“Tck, dasar sombong. Apa yang dilihat para gadis dari anak tanpa Ayah itu.” decih bocah laki-laki yang sejak tadi menyaksikan Kei menolak coklat gadis kecil yang kini tengah menangis karena pemberiannya ditolak.

“Kawaki, istirahat nanti kita bisa bermain sebentar dengannya.” kata Ryu.

Kawaki menoleh, seringainya terbit. “Ide bagus. Aku juga pengen menghajar wajah songongnya itu. Anak yang lahir tanpa Ayah tidak sepatutnya berada di sekolah kita.” ujar Kawaki.

Kelas cukup berisik ketika Kei tiba. Langkahnya menuju mejanya yang berada di pojok. “Kau menolak coklat Ayumi ya?”

Melirik sekilas pada teman sebangkunya, Kei mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

“Hn.”

Kazuki satu-satunya yang cukup dekat dengan Kei, berdecak kesal. “Kalau bicara itu jangan terlalu pelit. Pantas saja kau tidak punya teman.” 

Tidak menanggapi, Kei tetap sibuk memperhatikan langit biru dari tempatnya duduk.

Ia jadi merindukan Ibunya yang mungkin saat ini tengah sibuk melayani pelanggan di toko kue Bibi Ino.

Andai saja Kei cepat besar, Ia yang akan bekerja cari uang agar Ibunya tak perlu merasa lelah lagi sepulang kerja.

Sayangnya Kei sekarang masih kecil, butuh beberapa tahun lagi agar Ia bisa membiayai semua kebutuhan Ibunya.

“Murid-murid, waktunya belajar! Fokuskan perhatian kalian ke papan tulis.” ujar guru berbadan gemuk.

Kei beralih menatap gurunya yang mulai berceloteh menerangkan materi Fisika, hingga tak terasa tiba waktunya istirahat sekolah.

“Mau ke kantin bareng?” tawar Kazuki.

Kei menggeleng. “Toilet.” ujarnya singkat.

Melangkah keluar kelas, Kei berjalan di sepanjang koridor sekolah dasar tersebut.

Belum sempat langkahnya mencapai toilet, seseorang menarik kerah belakang baju Kei lalu menyeretnya ke gudang belakang sekolah.

Brug.

"Mau apa kalian?" 

Kei memandang tenang dua orang bocah laki-laki seusia dengannya. Tidak ada raut takut di wajah rupawan pemuda cilik itu.

Sedikitnya Kei merasa ngilu pada punggungnya yang berbenturan dengan dinding gudang, akibat di dorong Kawaki dan Ryu.

"Kami mau kau keluar dari sekolah ini, ANAK HARAM." tekan Kawaki di akhir katanya.

ANAK HARAM? 

Kata itu lagi, Kei sudah sering mendengarnya dari Ibu-Ibu yang tinggal di sekitar rumahnya. 

Karena Ibunya melahirkan dan membesarkan Kei seorang diri, tetangganya sering menggosipkan Sakura sebagai wanita malam yang hamil hasil cinta satu malam dengan pelanggannya.

Menyebalkan!

Kei memang lahir dan dibesarkan tanpa sosok Ayah, tapi Ia yakin Ibunya wanita baik-baik bukan sosok pelacur seperti yang digosipkan tetangga disekitar rumah mereka.

"Sekolah ini bukan milikmu! Kau tidak berhak memutuskan siapa yang boleh dan tidaknya bersekolah di sini." ujar Kei bersedekap tangan.

Dagunya terangkat, menatap angkuh Kawaki dan Ryu. Meski kalah jumlah, Kei tidak akan membiarkan keduanya merasa di atas angin.

Ia harus jadi berani agar nanti juga mampu melindungi Ibunya. "Jika kalian tak ada urusan lagi, lebih baik aku pergi." ujarnya melangkahkan kakinya keluar gudang.

Sebelum mencapai pintu gudang, Kei di dorong Kawaki hingga membentur tembok.

"Tidak semudah itu kau keluar dari sini, ANAK PELACUR."

Mendengar kata PELACUR yang diucapkan Kawaki, membangkitkan amarah Kei.

Ia tak terima Ibunya dicap wanita jalang, Kei bangkit lalu memukul wajah Kawaki hingga terjadilah perkelahian antara Kei melawan Kawaki dan Ryu.

Bersambung...

Getting It BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang