16. Sahabat Gue Sakit, Gue Juga Ikut Sakit

51 29 1
                                    

Keesokan harinya gue berangkat ke sekolah sendiri lagi tanpa jemputan dari Tokichi. Gue rasa ada yang aneh. Jikalau, ya, Om Angga, lah, yang menyuruh Pak Bondo antar jemput gue, seharusnya hari ini pun juga menjemput gue, tapi ini tidak. Sebenarnya enggak masalah, gue bisa berangkat sendiri seperti biasanya. Tapi gue rasa ada yang mengganjal saja, yang kaya itu Om dan Tante atau Tokichi?

Pukul 06.15 WIB, gue sampai di sekolah. Gue berangkat awal karena gue mau. Saat gue memarkirkan motor, hp gue bergetar dan berbunyi. Mata pelajaran hari ini ada Olahraga, jadi murid bisa membawa ponsel mereka.

Dita
Ar... gue gak masuk hari ini, gue sakit. SKD, gue dititipkan ke Bagas. Tadi Nyokap gue ke rumah lu tapi lu sudah berangkat, pagi-pagi.

Gue
Sakit apa lu, Dit. Nanti gue jenguk di rumah sakit.

Dita
Tipes, Ar...gue ada di Rs. mawar melati.

Setelah membaca pesan dari Dita, rasanya gue malas untuk masuk kelas. Gue ingin bolos sekolah, gue balik badan dan, ya, gue melihat Tokichi berangkat bersama Naira. Dan gue juga melihat mobil yang biasa jemput gue. Pak Bondo menyadari kehadiran gue yang berhadapan dengan mereka. Pak Bondo menunduk dan menyapa gue dengan tersenyum. Gue membalas senyumnya, tapi gue mengabaikan tatapan Tokichi dan lari mengambil motor gue lagi. Gue tak tahu apa yang terjadi setelahnya di sekolah hari ini. Tapi, kata teman-teman di grup kelas X1 mereka bilang bahwa siang ini Naira and the gang ke kelas gue dan mencari gue. Mereka mengacak-acak bangku gue dan Dita. Mereka juga melihat Tokichi bersama kawanan cowoknya. Tapi, mereka melihat ekspresi Tokichi yang nampak murung saat tahu gue bolos sekolah. Gue saat membaca pesan grup itu tidak tahu apa yang ada di pikirannya Tokichi dan nggak mau tahu. Gue sekarang berada di rumah sakit bercanda sama Dita. Sekitar pukul 13.00 WIB, teman-teman satu kelas gue datang sebagian buat menjenguk Dita. Mereka terkejut saat tahu bahwa gue bolos hanya untuk teman gue. Yang mereka tidak tahu tentang sakit Dita, hanya gue yang tahu. Dita itu fisiknya lemah, dari SD dia sudah sering di bully dan sering sakit-sakitan. Waktu itu hanya gue yang mau menerima dan berteman dengannya. Gue tidak tahu jika dia punya Hepatitis C. Dia baru bercerita ke gue pagi ini. Ternyata tipes itu hanya omong kosong, agar guru dan teman-teman sekelas tidak tahu hal itu. Dita kuat banget dan masih bisa terbahak-bahak meskipun ada virus di tubuhnya.

Ting!

Momi
Ar, kamu di mana? Nak Anggun di rumah.

"Siapa, top?" tanya Bagas ke gue dengan memanggil nama julukan gue isotop. Bagas peduli sekali dengan gue. Gue berterimakasih sekali kepada semesta sudah mengenalkan teman seperti Bagas. Gue membalas pertanyaan Bagas sesuai dengan kebenaran, yaitu chat dari Momi gue.

"Kenapa Ibu lu? Lu di cariin?"

"Bukan. Tokichi di rumah gue, nyariin gue."

"Ih, cowok itu bunglon, Ar," decak Bagas.

"Iya...gue heran, kok, dia bisa seperti itu, ya. Sekarang sama lu besok sama Naira. Enak apa hidup kayak gitu. Gue mah ogah." Sahut teman gue yang lain, tapi sebagian terdiam tidak mendengarkan ungkapanya.

"Gue juga ogah!" Seru teman cowok sekelas yang lain.

"Maklum, tajir...." timpal Bagas.

"Yuhu.... Hahahaha!" anehnya gue juga tertawa melihat mereka tertawa. Biarpun begitu mereka baik dan mendukung gue. Memang bicaranya saja yang agak ngeselin, tapi yang membuat gue terheran adalah Dita, Siska, dan beberapa orang yang lainya lagi tidak tertawa hanya membisu. Gue mencoba mencairkan suasana sampai gue lupa membalas pesan dari Momi gue. Ada 10 panggilan tak terjawab dari Momi.

"Guys, ada yang tau info lowongan kerja buat anak sekolah nggak? Mumpung masih kelas X, nih." Gue yang sudah buntu dengan permasalahan gue, memutuskan untuk bekerja paruh waktu di sela sekolah gue. Risiko apapun gue siap terima. Gue bukan anak orang kaya, dan gue bukan anak yang manja. Cukup gue saja yang alami dan mengerti kondisi gue.

"Buat lu, top?" tanya Bagas. Gue tidak menjawabnya, karena gue tidak ingin teman-teman gue tahu kebenaranya. Gue lebih suka hidup gue yang di pandang kaya. Gue tahu ini salah, tapi gue juga ingin tetap memiliki teman. Saat gue akan menjawabnya, Siska tiba-tiba nyeletuk di pembicaraan ini. "Bapak kamu bangkrut, ya?" gue terkejut, dari mana dia tahu.

"Enggak, gue pengen mandiri saja."

"Ini pasti gara-gara pertunangan, ya," celetuk Dita dengan suara lemahnya. Suasana menjadi senyap, mereka semua terdiam setelah tebakan Dita benar. Teman-teman gue tidak ada yang berani angkat bicara setelahnya. Gue bingung cara mencairkan suasana sepi ini. Tiba-tiba saja Bagas mewek dengan wajah yang jelek.

"BANGKE! Kaki gue lu injek, Sis." Teriakan dari Bagas yang membuat ruangan kamar pasien Dita kembali nyaman. Kami tertawa bersama-sama, gue bahagia melihat tawa mereka sampai menampakan gigi-gigi mereka. Tulus sekali, tawa lepas mereka, gue harap.

"Eh, sorry...sorry." Siska merunduk, sepertinya akan membenarkan tali sepatunya. Selang beberapa detik Siska telah selesai dengan tali sepatunya, dan Bagas tiba-tiba membungkuk saat Siska akan berdiri di posisi awal. "Duak!" kepala Siska tabrakan dengan dagu Bagas.

"Wai, f*ck!" seru Bagas, meringis kesakitan sambil tertawa. Tawanya diikuti yang lain termasuk gue.

"Lu, sih, ketinggian, Gas. Sampai nggak liat Siska dibawah lu benerin tali sepatu," sahut Dita. Raka di sebelahnya hanya tertawa melihat tingkah mereka, Bagas dan Siska. Gue melihat Raka, dia membawa 2 buku di tangannya. Dia dengan kacamatanya menggoyang-goyangkan tas yang berada di tubuh depanya. Entah dia mau berbuat apa hingga seperti anak kecil begitu, pikir gue.

"Buk!"

"Lol! Perut gue, nih!" sergah Bagas.

"Hahahaha..." kami semua pun dibuat terbahak-bahak kembali. Gue rasa Bagas terkena peribahasa—sudah jatuh tertimpa tangga pula, tapi ini sudah keinjek terkena pukulan berkali-kali pula. Hahahaha.

"Hahahahah! Kasian banget, sih, lu. Udah kena injak Siska, berbenturan sama Siska, masih harus kena pukul tas si kutu buku pula. Wah, berat tuh dalamnya tas." Sindir teman-teman yang lain.

"Hahahaha.''

Dita yang sakit pun ikut terhibur dengan tingkah konyol kami. Sampai tibalah Tante Belinda—ibu Dita, beliau menyapa kami di tempat, dan berterimakasih pada kami yang telah menemani anaknya dengan suara yang serak. Gue tau sepertinya penyakitnya juga semakin parah. Dia terus batuk-batuk. Tante Belinda sudah pasti juga memiliki Hepatitis sama seperti Dita. Gue merasa harus sering-sering meluangkan waktu gue buat ke rumah sahabat gue ini daripada bermain dengan Tokichi. Gue dan yang lain pun pamit pulang kepada ibu Dita.

"Mom, aku pulang..." sapa gue di dalam rumah untuk Momi. Karena tak ada jawaban, gue lanjut masuk. Di ruang televisi gue lihat Tokichi bermain sama Gendis. Mereka melihat album foto gue waktu kecil. Gue abai, gue capek, gue melihat muka dia, gue makin capek, dan berat di punggung. Tokichi menatap gue tanpa bicara, gue juga tidak mau tahu. Gue sudah mengembalikan bukunya. Tak ada hutang lagi antara gue dan dia. Gue berjalan lesu menaiki anak tangga. 

Tori Romance || •DjadukWhere stories live. Discover now